Esra (27 th), seorang perantau asal Toraja yang berprofesi sebagai tenaga pendidik harus meregang nyawa karena perbuatan orang – orang yang tidak bertanggungjawab di Tanah Papua, tepatnya di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua. Setelah menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S.1) Jurusan Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik pada kampus STIKPAR TORAJA – Rantepao pada 12 Juli 2014, pada awal bulan Agustus, iapun mengadu nasib mencari rejeki di tanah rantauan, tepatnya di Pulau Papua. Pada awal bulan Agustus 2014 dengan menumpangi KM Nggapulu, ia hijrah dari kampung halamannya menuju ke Sentani (Jayapura).
Ia tinggal beberapa minggu di sana, di tempat saudaranya, lalu kemudian pada pertengahan bulan September 2014 lanjut ke Puncak Jaya, tepatnya di distrik Mulia dengan menggunakan pesawat kecil yang jumlah penumpangnya maksimal 10 orang. Untuk sampai di Distrik Mulia ini memang hanya bisa menggunakan pesawat karena tidak ada jalur darat. Daerah yang ia tuju ternyata daerah yang terkenal sebagai daerah konflik/texas, meskipun beberapa tahun belakangan ini bisa dikatakan sudah sedikit aman. Seperti kebanyakan perantau lainnya, ia melangkahkan kaki dengan pegangan bahwa ia memiliki saudara / keluarga di tempat rantau tersebut, dan kemudian di sanalah ia akhirnya tinggal, tepatnnya di Jln. Silas Papare, Kota Lama, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua. PLTA merupakan sumber energi listrik di kampung ini, karena PLN belum ada. Begitu sampai ia langsung memasukkan lamaran kerja sebagai guru honorer pada SD Negeri DONDO BAGA, di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya yang berjarak kurang lebih 4 km dari tempat tinggalnya dengan kondisi jalan yang menurun.
Pada minggu berikutnya ia pun diterima dan langsung masuk mengajar. Di sekolah tersebut ia mengajar Pendidikan Agama Katolik kelas I s/d VI plus wali kelas II. Di sela – sela menunggu lamaran kerja diterima sambil mempersiapkan diri itulah, ia mencoba mencari pernghasilan melalui jasa ojek. Hal itu ia lakoni setiap harinya. Pada pagi hari pukul 07.00 sampai pukul 12.00 WIT siang hari, ia mengajar di sekolah, dan setelahnya itu ia menjadi tukang ojek sampai pukul 16.00 WIT. Akan tetapi jika bertepatan dengan ibadah keluarga ataupun pelayanan lain di Gereja, ia senantiasa menyediakan waktu untuk itu.
Ia memulai profesi sampingannya itu dengan menyewa sepeda motor kenalan dan membayar tarif Rp. 50.000/hari. Untungnya sepeda motor yang ia sewa tersebut mengenakan pembayaran sistem perbulan dengan jumlah hari yang dibayarkan hanya 20 hari, hari Minggu dan hari libur tidak dihitung. Ia bertahan dengan menyewa sepeda motor orang lain selama kurang lebih 6 bulan. Penghasilan dari jasa ojek inilah yang dia gunakan bertahan hidup sambil menabung sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya, pada bulan ke enam, ia pun bisa mengeluarkan sepeda motor dengan sistem kredit. Ia optimis bisa membayar angsuran kreditnya dari hasil jasa ojek yang dilakoninya. Dan memang benar, sekarang ini sepeda motor yang menemaninya mengais rejeki di rantauan orang kini menjadi hak milik seutuhnya.
Meskipun ia tinggal bersama saudaranya, tetapi ia sosok yang mandiri dan pekerja keras. Hal itu ia buktikan melalui tambahan pekerjaan sebagai peternak babi. Ia memiliki 2 ekor babi yang ia urus disela – sela kesibukannya mengajar, mengojek dan kegiatan pelayanan Gereja. Pakan ternak yang diberikan dibeli dengan hasil jasa ojek. Daun petatas (daun umbi jalar) dan ampas tahu yang ia gunakan sebagai pakan ternaknya, ia beli seharga Rp. 5000/ikatnya dan ampas tahu dengan harga Rp. 50.000/ember cat 25 kg. 1 ikat daun petetas itu untuk sekali makan sedangkan ampas tahu per 25 kg itu untuk 3-4 hari. Sebenarnya ia menanam sayur untuk pakan ternaknya tetapi karena lahan tidak begitu luas,sehingga harus dibantu dengan membeli dari pasar. Sungguh semangat kerja yang tinggi. Linggis yang dibekali dari bangku kuliah sungguh diamalkan. Ia berusaha bertahan hidup di rantau orang dengan mencari penghasilan sampingan karena jika mengharapkan pembayaran honor tidaklah mungkin, karena pembayaran honor diterimanya pertiga bulan sekali. Hal itu disebabkan oleh statusnya sebagai honorer sekolah, sehingga pembayaran disesusaikan dengan pencairan dana BOS yang diterima sekolah. Pembayaran honor yang diterimanya sebesar Rp. 1.000.000,00 perbulannya. Jika mengacu pada standar kesejahteraan, jumlah tersebut sangat kecil karena biaya hidup di daerah tersebut cukup tinggi. Dengan mencari tambahan penghasilan, menunjukkan bahwa ia pandai dan ulet mencari cela mengatasi masalah keuangannya dengan mencapkan linggisnya.
Menyangkut pelayanan di Gereja, ia pun terlibat aktif. Begitu menginjakkan kaki di lingkup stasi Santo Petrus Mulia, ia langsung menggabungkan diri dalam keanggotaan dan pelayanan Gereja. Ia termasuk salah seorang pengantar (Pelayan) termuda di stasinya, tepatnya Stasi Santo Petrus Mulia, Paroki Santo Petrus Ilaga Keuskupan Timika. Stasi Santo Petrus Mulia sendiri terdiri atas sekitar 30 KK. Baik memimpin ibadah pada hari Minggu, maupun ibadah – ibadah keluarga dan juga melatih / mendampingi PPA (Putra Putri Altar) / Misdinar, selalu ia jalankan dengan tulus dihiasi senyuman bahagia. Di saat teman – teman pengantar turun ke kota, dia tetap tinggal di tempatnya dan siap sedia melayani, apapun itu ketika ia bisa melaksanakannya maka dengan ringan tangan ia lakoni, yang mana sejak bulan 6, hampir tiap minggunya, ia mengambil bagian sebagai pemimpin ibadah hari Minggu di stasinya. Bahkan, pada hari Minggu (11/09/16), ia bersama teman – teman OMK mengadakan latihan koor untuk persiapan ibadah ekuimene pada hari Minggu depan (18/09/16).
Menurut cerita salah seorang teman almarhum, tidak seperti biasanya ia pada hari itu sangat bersemangat, menyanyi dengan suara yang penuh semangat dan menawarkan diri untuk menjadi MC pada ibadah ekumene tersebut nantinya. Ia merupakan sosok pelayan yang baik, tekun, ramah dan murah senyum. Satu hal yang nyata ia buat adalah, bahwa selama ini OMK Stasi Santo Petrus Mulia beberapa waktu vakum dari kegiatan – kegiatan. Sejak terpilih menjadi ketua OMK Stasi Sto Petrus Mulia periode 2015 / 2018 pada pertengahan bulan September 2015; meskipun kepengurusan mereka baru dilantik pada awal April 2016, ia mengajak OMK untuk mulai berbenah dan mengaktifkan kegiatan – kegiatan OMK, misalnnya terlibat aktif sebagai petugas ibadah ketika diberi tugas, doa kelompok OMK, latihan koor, dan sebagainya. Namun apa hendak dikata, Tuhan merasa tugasnya di dunia cukup sudah, jangan sampai ia tercemari lagi dengan dosa, maka Ia pun memanggilnya pulang pada Senin, 12 September 2016 pukul 18.30 WIT. Ia tidak lagi sempat menjadi MC pada ibadah ekumene Minggu depan, maupun pada minggu – minggu berikutnya.
Pagi itu, Senin 12 September 2016 bertepatan dengan hari Raya Idul Adha. Pada pukul 08.00 ia sudah keluar mengojek dengan pemkiran bahwa kesempatan emas untuk mendapatkan rejeki pada hari khusus ini karena teman – teman sesama ojek yang berasal dari Madura, mayoritas beragama Islam dan tentunya beristirahat pada hari tersebut. Penumpang banyak sedangkan penyedia jasa ojek kurang, lagi ramai, begitulah pemikirannya. Pada pukul 14.30 WT, ia pun pulang istirahat ke rumah. Setelah makan siang, ia langsung mengurus makanan ternaknya. Membeli pakan ternaknya di pasar sambil bercanda dengan orang – orang yang dijumpainya. Pakan ternak yang dibelinya langsung diolah untuk makanan ternaknya saat itu. Tidak beberapa lama, handphonenya berdering dan ia mendapatkan sebuah pesan singkat dari seseorang yang memesan jasa ojek kepadanya. Tanpa pikir panjang, ia pun bersiap – siap untuk menjemput orang yang mengiriminya sms, dan sekitar pukul 16.00 ia keluar rumah lagi.
Entah dimana dan kemana penumpang itu ia jemput dan antar sampai saat ini tidak ada seorangpun yang tahu. Entah mungkin karena jauh atau ia keasyikan mencari penumpang, sampai pukul 18. 00 ia belum pulang ke rumah. Padahal ia sendiri kadang mengingatkan orang – orang sekitarnya dan seperti kebiasaannya selama ini, cukup batas pukul 16.00 s/d 17.00 WT keluar rumah ataupun kota, di atas jam itu sudah harus pulang ke rumah. Hal itu dilakukan karena daerah yang ditempatinya kadang tidak aman disebabkan adanya kelompok – kelompok separatis yang dikenal dengan sebutan kelompok orang yang tidak dikenal, dan hal semacam itu sudah tidak asing lagi bagi mereka di daerah tersebut. Oleh karena itu jika sudah pukul 17 .00 WIT ke atas sudah tidak ada lagi aktifitas keluar rumah berkendara dan sekitar pukul 20.00 WIT penduduk sudah pada teduh di rumah masing – masing bahkan sudah istirahat malam, tidak melakukan aktifitas di luar rumah lagi. Sampai akhirnya pada sekitar pukul 18.30 terdengar bunyi tembakan.
Ternyata Esra, sang guru honor, sang pelayan Gereja, si tukang ojek yang menjadi korban tembak dari orang yang tidak dikenal. Ia mendapat tembakan 3 luka tembak, pada bagian leher, kepala bagian belakang dan punggung. Kira – kira satu jam setelah bunyi tembakan, salah seorang warga mendapati jenazah korban dalam keadaan telungkup di tanah. Motornya terparkir dengan baik kurang lebih 8 meter dari tempat jenazah ditemukan. Tempat kejadian di pinggir jalan kampung Karubate, beberapa kilometer dari kota. Sekedar gambaran, kota Mulia berada di dataran lebih tinggi, dan tempat kejadian berada di bagian bawah. Warga pun kemudian ada yang pergi ke RSUD Mulia dan melapor pada bagian loket. Setelah mendapat laporan, beberapa orang kemudian diminta melapor ke pihak kepolisian sambil yang lain sudah membawa mobil ambulance ke tempat kejadian. Jenazah pun di bawa ke rumah sakit, dengan waktu tempuh kurang lebih 10 menit. Selanjutnya di IGD, urusan diambil alih oleh tenaga medis dan kepolisian. 2 peluru berhasil dikeluarkan, tetapi yang pada bagian kepala tidak dapat dikeluarkan.
Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya turut memberikan perhatian dengan menfasilitasi rencana kepulangan jenazah ke kampunh halaman. Sehingga, keesokan harinya, sekitar pukul 12.30 WIT jenazah diterbangkan ke Sentani dari bandara Mulia menggunakan Enggang Air dengan jarak tempuh kurang lebih 1 ½ jam dan selanjutnya pada pukul 17.00 waktu setempat diterbangkan ke Makassar dari bandara Sentani menggunakan Batik Air dengan waktu tempuh kurang lebih 3 jam. Sesampainya di Makassar, perjalanan kepulangan jenazah dilanjutkan ke desa Tete Induk, Masamba Kabupaten Luwuk, Sulawesi Selatan. Di sanalah akhirnya, ia akan dimakamkan, diistirahtkan dari segala kesibukan dan kepenatan dunia yang fana ini. Selamat jalan kawan, damailah dan berbahagilah bersama Bapa di Surga.
Kami, segenap keluarga, sahabat, teman dan kenalanmu merasa sangat kehilangan. Sejujurnya kami, rekan kerjamu dalam pelayanan, masih sangat ingin bersama – sama dengan engkau, bersama – sama melaksanakan tugas pewartaan yang kita terima pada saat missio canonia dimana pun kita berada. Umat gembalaanmu di Stasi Santo Petrus Mulia, OMK dan SEKAMI pun masih membutuhkan pelayananmu. Akan tetapi di atas semuanya itu, kehendak Tuhanlah yang terjadi. Dalam iman kepercayaan kita, kematian merupakan satu – satunya jalan untuk bersatu dengan Dia yang senantiasa kita sembah. Semoga engkau kini mendapatkan hasil dari pelayananmu selama ini. Tuhan mengasihimu saudara.
Sumber :
Sdr. Melky dan Sdri. Annes (OMK Stasi Santo Petrus Mulia)
Sdri. Sherly ( teman dari distrik Mulia),
Sdr. Alex dan Marthinus Limba (Alumni STIKPAR Toraja-Rantepao)
Teman dan kenalan lainnya.