Berbincang tentang keindonesiaan dan apa yang bisa kita lakukan melalui gerakan-gerakan budaya pada tingkat masyarakat yang paling kecil ? Itulah pokok diskusi kami, anak-anak muda dan eksponen masyarakat di Gereja st. Lidwina Bedhog, Paroki Kumetiran, Yogyakarta. Sebuah diskusi yang dilaksanakan untuk mendukung kehadiran salib AYD di stasi tersebut.
Sore itu, 7 Juni 2017, sembari menanti buka puasa, anak-anak muda utusan berbagai komunitas baik Katolik, muslim, Hindu, maupun Protestan, saling berbagi pemaknaan akan semangat kebangsaan, tantangan, dan bagaimana bersama terus merajut itu semua dalam praktek hidup sehari-hari.
Stasi st. Lidwina Bedhog sendiri terletak di kawasan pinggiran kota Yogyakarta. Di wilayah stasi ini bertemu masyarakat pedesaan dengan masyarakat kelas menengah ke atas yang hadir melalui perumahan-perumahan yang banyak dijumpai di kawasan tersebut.
Tampil sebagai pemantik diskusi sore hari itu mas Yunan Helmi dari indovoice, sebuah komunitas pemusik yang gencar mengkampanyekan keindonesiaan dan keberagaman; mas Fairus dari jaringan Gusdurian Yogyakarta, dan Cyprianus Lilik Krismantoro dari Komisi Keadilan, Perdamaian, dan keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Semarang. Diskusi ini dipandu oleh mas Ranggabumi, staf pengajar di FISIP Atmajaya Yogyakarta.
Sarasehan dibuka dengansambutan Pak Herman Budi Pramono, kepala desa Trihanggo, kecamatan Gamping, Sleman. Dengan penuh semangat beliau berbagi tentang gerakan kesenian sebagai sarana merajut kerukunan di tengah masyarakat. Kepala desa yang selalu hadir memberi ucapan selamat kepada umat Katolik st. Lidwina di hari-hari besar ini menyambut dengan gembira perjumpaan sore itu, dan mendorong agar interaksi yang dibangun terus dipelihara dan terus dilakukan di lain kesempatan.
Keriuhan hidup berbangsa saat ini tidak dapat dilepaskan dari kontestasi kekuatan global. Indonesia menjadi ajang persaingan pengaruh antara kekuatan adidaya AS dan naiknya RRT sebagai kekuatan adidaya baru. Pergeseran perimbangan global ini berpengaruh pada konstelasi kepentingan dan kekuatan politik di Indonesia.
Selanjutnya, dalam upaya menemukan kembali semangat Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, perjuangan di ranah politik harus disertai pergerakan di dataran kebudayaan dan seni. Secara alami, perjuangan politik akan beradu di ranah kepentingan dan golongan, akibatnya pembumian Pancasila sangat rentan jatuh sebagai komoditas politik semata. Sebaliknya perjumpaan di ruang kebudayaan dan seni adalah interaksi di tataran makna. Bertemu dalam kolaborasi karya dan diskusi-diskusi kehidupan di dalamnya. Pencarian dan pembentukan makna bersama non politik ini membuka pintu bagi solidaritas kebangsaan yang sejati.
Mas Helmi mengkisahkan tantangan membangun Indovoice sbagai kelompok pemusik yang rajin mengkampanyekan keberagaman dan kebangsaan. Kultur komunitas seniman musik yang cenderung apolitis dan hanyut pada gaya hidup menyebabkan mereka relatif sulit untuk diajak berbicara apalagi berjuang untuk isu-isu semacam ini. Namun mampu merengkuh kelompok seniman terutama musik membuka pintu lebar untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas karena musik jauh lebih mudah diterima dan dimiliki bersama. Kerja keras ini tidak sia-sia karena melalui Indovoice mereka sekarang berkarya menciptakan lagu-lagu yang mengakmpanyekan Pancasila dan keberagaman dan mengantarkan itu semua melalui media sosial ke seluruh Indonesia.
Selanjutnya mas Fairus dari Jaringan Gusdurian berbagi pengalamannya bergerak bersama teman-teman Gusdurian menyalakan kembali semangat kebangsaan dan nilai-nilai Pancasila di Yogyakarta. Sebagai kumpulan anak-anak muda yang terinspirasi oleh ajaran dan semangat juang Gus Dur, Gusdurian berusaha terus menyalakan nilai-nilai arif seorang Gus Dur di tengah hidup berbangsa.
Diskusi selanjutnya bergulir dengan tanggapan mereka yang hadir. pendeta iriyanto, salah satu pegiat dialog lintas iman di Yogya menekankan pentingnya merajut gerakan budaya untuk keberagaman di tengah orang-orang muda. Tanggapan dan sharing menjadi semakin kaya dengan pergulatan membangun persaudaraan akar rumput yang dilakukan pemuda-pemudi di dusun-dusun di sekitar stasi tersebut. Sebagai kawasan transisi daerah yang ada dalam lingkup stasi Bedhog memang acapkali dilanda ketidakharmonisan. Namun demikian perlahan interaksi antar berbagai komunitas anak muda mulai terajut satu sama lain.
Lagu ‘Pancasila Punya Kita’ karya teman-teman Indovoice pun terlantun menutup kebersamaan sore itu. Diskusi yang bertema Muda: Dalam Seni Aku Berkarya ini pun ditutup dengan berbuka puasa bersama di serambi depan Gereja.
Malam itu, di sejuk udara sawah yang mengitari Gereja stasi Bedhog, kami bersepakat, melalui kerja budaya kami merangkai Indonesia.
CLK