“Identitas kita itu tidak fix. Terus bergerak ” ujar Dr. Baskara T. Wardaya, SJ , sejarahwan dari Universitas Sanata Dharma , Yogyakarta. Romo Baskara, demikian biasa dipanggil, mengungkapkan pendapatnya dalam Diskusi Buku “Cerita untuk Sahabat” yang diselenggarakan Sabtu, 14 Oktober 2017 di ruang bersama Ke:kini, Jakarta.
Romo Baskara melanjutkan bahwa kondisi keberagaman sudah menjadi kekhasan bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan di persilangan dunia. Persebaran bangsa Austronesia dan pertemuan dengan Melanesia, membuat banyak persamaan dalam bahasa, pakaian maupun kuliner dari Pulau Madagaskar , kepulauan Nusantara sampai Christmas Island di Pasific.
Buku Cerita untuk Sahabat adalah kumpulan 20 esai terpilih, yang ditulis oleh orang muda tentang multikultural. Esai-esai ini merupakan hasil dari Lomba Menulis Esai Multikultural yang diselenggarakan semester pertama 2017 lalu. Ada kurang lebih 200 esai , yang kemudian dipilih 20 untuk dibukukan.
Hadir dalam Diskusi Buku ini, 4 penulis yaitu Filisianus Rikartus Viktor , Yesi Hendriani, Maria Chris Lievonne dan Benediktus Tandya. Viktor mengisahkan kembali bagaimana pengalaman keluarganya ketika abangnya berpindah agama. Viktor berasal dari keluarga suku Dayak yang umumnya adalah pemeluk agama Katolik atau Protestan. Ayah Viktor adalah tokoh di kampungnya. Namun abang Viktor dalam perjalanan hidupnya memilih untuk berpindah agama. Awalnya Ayah Viktor marah dan sempat ingin melukai anaknya. Namun dicegah sang Ibu,, dengan tutur lembut kemarahan Ayah dapat reda. Lewat proses yang tak mudah, kedua orang tua Viktor merelakan salah satu anaknya berubah keyakinan.. Tercermin dari kata-kata sang Ibu kepada abang Viktor,” kamu tetap anakku. Di dalam darahmu , mengalir darah kami. Yakini dan jalankan agama yang telah kau pilih”.
Yesi mempunyai pengalaman yang tak kalah menarik. Lahir di Manado, Yesi mempunyai kedua orang tua yang berasal dari Jawa Tengah. “Walau orangtuaku Jawa, tapi aku tidak bisa berbahasa Jawa,” kata Yesi. Namun pengalaman yang berkesan bagi Yesi adalah bagaimana situasi toleran yang hidup di Manado. Setiap kali Yesi dan keluarga shalat Ied, pemuda- pemuda berkalung salib ikut membantu menjaga keamanan dan suasana.
Saat ini Yesi sedang studi di Kota Bogor, dan mendapat pengalaman yang berbeda. Ketika mencari kost, identitas Muslim menjadi faktor yang ditanyakan oleh pemilik kost. Atau pertanyaan aneh ketika orang tahu Yesi berasal dari Manado. “Orang Manado kok pakai jilbab?”
Mardiyah Chamim, Direktur Eksekutif Tempo Institute, yang hadir dalam diskusi buku ini, menduga cerita-cerita multikultural yang diungkap dalam 20 esai di buku Cerita untuk Sahabat, banyak terjadi di Indonesia. “Tetapi seringkali persoalan multikultural tidak dibicarakan terbuka, di forum resmi,” kata Mardiyah. Persoalan lain menurut Mardiyah, kemampuan masyarakat dalam berargumen. Ketika ada persoalan , tidak dibahas mendalam tetapi berhenti pada untuk tidak saling campuri atau bahas perbedaan. “Kalau sudah keluar kata pokoknya….maka tidak ada lagi dialog”tutur Mardiyah. Oleh karena itu Mardiyah mengapresiasi terbitnya buku ini, sebagai daya upaya untuk mengangkat dan membicarakan persoalan-persoalan multikultural di Indonesia.
Di akhir diskusi, peserta berdiskusi dalam kelompok dan merumuskan hal-hal baik yang pantas dilakukan orang muda untuk merawat dan merayakan keberagaman bangsa Indonesia. Diskusi ini tidak berhenti di siang itu saja, para peserta kemudian membuat jejaring komunikasi untuk mengangkat persoalan-persoalan multikultural yang mereka hadapi.
Diskusi Buku ini terselenggara atas kerjasama tiga pihak, yaitu lembaga Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) , Komisi Kepemudaan KWI dan Penerbit Obor. Hadir dalam diskusi ini , 50 orang peserta yang berasal dari berbagai latar belakang. Mulai dari siswa SMU, mahasiswa, pendidik sampai tokoh-tokoh muda dari berbagai komunitas seperti Gusdurian, NU, Muhammadiyah, OMK Paroki , dll.