Saya Tita, seorang siswi pertukaran budaya di Italia. Kali ini saya ingin berbagi tentang pengalaman dan pemikiran saya mengenai apa yang disebut ‘agama’. Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kata Italia? Barangkali pizza, Ferrari, da Vinci, Roma, dan Il Papà ( the Pope alias Paus). Italia identik dengan Kristianisme. Spesifiknya, Katolikisme. Tapi memang kenyataannya, tidak semua orang Italia adalah seorang Kristiani, atau bahkan beragama. Namun bukan itu inti pembahasannya.
Suatu hari saya sedang berbincang dengan seorang teman, lalu teman saya mengatakan, “what I find interesting tentang orang di negara Kristen is that walaupun mereka ngga ke gereja, their way of life is very Christian”. Kalimat itu membuat saya berpikir sejenak. Sejak itu saya mencoba mencari bukti atas kalimat itu.
Satu hal yang paling berkesan adalah ketika keluarga saya mengundang sahabat mereka sekeluarga untuk makan malam bersama. Ketika saya membantu menyiapkan meja, host dad saya bertanya, “kalian juga melakukan ini di Indonesia kan?” Yang dimaksud adalah meja dengan taplak kain besar, dan semua dekorasi serta peralatan makan. Lalu saya mengatakan, tidak selalu. Kami tidak melakukan fancy dinner di rumah. Lalu host parents saya bertanya lagi, seperti apa toto dahar di Indonesia. Saya juga mengatakan dengan jujur bahwa di keluarga saya di Jakarta tidak lazim mengundang makan keluarga dan teman di rumah. Lebih sering makan di luar rumah. Kemudian mereka bertanya lagi, “tapi kalian kan Katolik?”. Mendengar itu saya bingung, lalu saya tanya apa kaitannya. Orangtua host saya menjelaskan bahwa bagi mereka mengundang orang makan di rumah dan menyiapkan meja dengan kain besar serta semua ornamennya itu sangat penting, dan itulah yang dilakukan Imam di meja altar saat merayakan perayaan Ekaristi.
Ketika itu saya menyadari dua hal. Pertama, bahwa pemahaman agama itu betul-betul luas. Agama tidak selalu bicara tentang Tuhan, tapi dalam agama juga terdapat nilai kebudayaan manusia. Dalam percakapan malam itu saya menjelaskan kepada orangtua host saya mengenai apa yang disebut inkulturasi dalam Kristianisme di Indonesia. Dan menariknya, mereka belum pernah terbayang akan hal ini. Bagi mereka semua nilai agama Kristen selalu sama dengan budaya dan tradisi mereka sehari-hari. Saya jadi paham bahwa Kristianisme di tanah ini lebih dari sekedar kepercayaan, tapi merupakan bagian kuat dari sebuah budaya.
Kedua, saya mendapati bahwa akhirnya semua kembali ke yang disebut humanity. Akar dari semua yang saya lihat dan alami lagi-lagi adalah budaya, dan budaya adalah hasil paling fundamental dari kemanusiaan. Bagi saya semakin terlihat jelas bahwa manusia sebenarnya tidak punya alasan untuk saling meributkan masalah SARA. Kalau sebuah agama yang sama bisa memiliki forma (bentuk) berbeda dalam praktiknya di setiap tempat, mengapa kita tidak berpikir dengan logika yang sama untuk manusia? Semua manusia adalah sama, dengan forma budayanya yang berbeda. Dan bagi saya itu indah. Seperti kata-kata bijak di Italia, Il mondo è bello perché è vario. Secara harfiah, artinya ‘dunia ini indah karena ada perbedaan’.