Saat pekan Adven ke tiga pada Bulan Desember 2018 lalu saya mengajukan permintaan untuk melakukan retret pribadi selama satu minggu kepada Bruder Marek asal Polandia, seorang Bruder pendamping saya di Komunitas Taize. permintaan saya ini dipenuhi dan saya pun selama seminggu menyepi di “Le Puit” sebuah rumah yang disediakan bagi siapa pun yang ingin melakukan refleksi atau retret pribadi.
Saya dan beberapa kawan laki-laki yang sudah ada terlebih dahulu berada di rumah itu juga selama satu minggu pada pagi hari dikenyangkan dengan bimbingan rohani berupa membaca Kitab Suci, menulis refleksi, dan studi Kitab Suci di bawah arahan Bruder Mattew. Sedangkan pada sore hari kami dipersilahkan untuk melakukan refleksi pribadi sambil berdoa di beberapa Gereja Katolik yang berada di desa-desa sekitar Taize.
Berdekatan dengan rumah yang kami tinggal “Tilleul” ada sebuah Gereja Katolik Roma yang berdiri lebih tua dari Komunitas Taize. Gereja ini biasa digunakan oleh para permanent, para peziarah, atau siapapun yang berkunjung ke Komunitas Taize untuk berdoa, menyepi, atau merayakan Ekaristi. Karena saya biasa melihat dan memasuki Gereja itu, saya memilih untuk berkeliling di beberapa desa di Pegunungan Burgundy ini.
Berbekalkan sebuah peta usang yang dibagikan kepada kami, pada saat itu saya pun mengunjungi Gereja di Aumegny, Bray, Chazzily, Flagy, Macily, Chorteaux, Cluny Les Macon, Chormatin, Malay, dan Ougy. Dalam perjalanan menuju desa-desa tersebut saya harus melewati ranch yang sangat luas penuh dengan sapi atau domba-domba, bahkan saya harus menyusuri rel kereta api yang sangat tua, dan tidak jarang saya harus melalui rumah-rumah orang Perancis yang menetap di pegunungan Burgundy namun nyaris selalu kosong dan tertutup rapat.
Hampir semua Gereja yang saya kunjungi itu, kondisinya hampir sama. Tua, warna tembok yang kusam, dingin, serta hampir tidak pernah digunakan. Bangku dan kursi-kursi banyak yang lapuk. Tabernakel sebagai Rumah Kudus tidak ada sehingga lampu Allah tidak menyala. Arca Bunda Maria, arca Kanak-Kanak Yesus, arca Santo-Santa, maupun gambar kudus lainnya rusak parah dan kumal. Sedih memang. Namun itulah kondisi yang harus dihadapi Gereja di Eropa saat ini. Umat Kristiani di Eropa dengan perkembangan globalisasi dan ilmu pengetahuan yang semakin tidak dapat dibendung, memilih untuk meninggalkan agamanya. Efek dari itu adalah Gereja menjadi sepi dan di berbagai tempat Gereja menjadi museum atau disulap menjadi hotel.
Paus Yohanes Paulus II dalam surat Ekshortasi Apostoliknya yang berjudul Ecclesia in Europe (Gereja di Eropa) ia menuliskan juga menurunnya kehidupan rohani jemaat di Eropa (dan juga di negar-negara barat lainnya). Banyak orang hidup dalam kebingungan, tidak pasti dan tidak berpengharapan, walaupun secara jasmani tampak tidak berkekurangan. Walaupun di zaman dahulu benua Eropa dikenal dengan simbol-simbol kehadiran agama Kristen, kini simbol-simbol tersebut terancam hilang dan menjadi bekas jejak di masa lalu.
Sebabnya menurut Paus adalah adanya kemajuan sekularisme yang terus menekan dan mengancam kehidupan iman Kristiani. Sekularisme adalah suatu pandangan yang menekankan perkembangan fisik, moral, intelektual manusia sebagai titik tertinggi, terlepas dari pertimbangan religius. Dengan adanya kemajuan sekularisme ini, banyak orang mengalami kesulitan untuk menerapkan nilai-nilai Injil ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dipisahkannya nilai-nilai iman dengan kehidupan sehari- hari, maka orang mengusahakan kemajuan visi manusia terpisah dari visi Tuhan. Pandangan sekularisme menempatkan manusia di pusat realitas kehidupan, menggantikan tempat Tuhan. Manusia mulai beranggapan bahwa kebenaran-pun ditentukan oleh manusia, dan bukan oleh Tuhan. Di sini timbul ide relativisme, segalanya relatif sebab tergantung dari pandangan manusia, yang bisa berbeda antara satu orang dan lainnya. Manusia mulai lupa bahwa bukan manusia yang menciptakan Tuhan, tapi sebaliknya Tuhanlah yang menciptakan manusia. Budaya Eropa yang mengagungkan manusia sebagai pusat dunia, terpisah dari Tuhan, membuat mereka hidup seolah- olah Tuhan tidak ada. Inilah yang disebut sebagai ‘silent apostasy’/ (kesesatan total secara diam-diam).
Terhadap sikap ini Paus Yohanes Paulus II berseru, mengutip kitab Wahyu, “Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati… (Why 3:2). Gereja di Eropa diserukan untuk bangkit dan bertumbuh dalam keyakinan bahwa Tuhan melalui Roh Kudus-Nya selalu hadir dan tetap berkarya di tengah sejarah manusia, dan Tuhan membuat Gereja-Nya sebagai aliran kehidupan yang terus mengalir menjadi tanda pengharapan bagi semua orang.
Saya pun berupaya mencari sumber berdirinya Gereja-Gereja yang dibangun dengan gaya Gothic ini. Saya mencoba merangkum dari berbagai bahan bacaan dan tulisan tentang Gereja-Gereja di Burgundy ini. Semua Gereja yang berasitektur Gothic tersebut dibangun pada abad ke X dalam masa keemasan hidup bakti para Biarawan Cluny dan dibangun oleh para Biarawan Cluny sendiri.
Biara Cluny
Abad ke-10 adalah masa-masa suram sekaligus menguntungkan bagi Gereja. Masa-masa suram karena banyak penyakit dalam Gereja; korupsi yang merajalela, simoni, imam-imam yang bergundik, takhta kepausan yang bobrok, kaum bangsawan yang merasuki Gereja adalah kenyataan yang biasa pada masa itu. Tetapi menguntungkan, karena justru pada masa-masa sulit seperti ini lahirlah Biara Cluny yang membaharui Gereja. Bagaimanapun pula mendalamnya penyakit kemerosotan rohani dan moral itu menggerogoti Gereja, namun ternyata masih ada kekuatan yang dapat dipergunakan untuk merombak gambaran itu secara radikal, bahkan masih sebelum berakhirnya abad ke-11. Dan sebagaimana biara-biaralah yang menyelamatkan Eropa dalam zaman orang-orang Barbar dengan jalan berpegang teguh pada Gereja, demikian pula dalam abad ke-10 sekali lagi biara-biara menyelamatkan Gereja.
Bukanlah Kepausan, melainkan seperti disebut tadi: Biara Cluny, di Burgundy. Melalui sumber-sumber yang ada, saya mau membahas sedikit mengenai biara Cluny itu, berupa sejarah dan bagaimana ia mempengaruhi Gereja ke arah yang benar. Dapat dikatakan bahwa sejarah-biara (termasuk Cluny) pada awal Sejarah Gereja adalah pendidik dan pembudaya; mudah-mudahan juga hingga saat ini.
Pada permulaan abad X, tepatnya tahun 910 didirikan biara Cluny di kota kecil di Perancis, di pegunungan Burgundy. Biara Cluny didirikan oleh Duke William III, seorang bangsawan yang baik dari Aquitaine. Ia mengangkat Abas pertama, Berno dari Baume (910-927), dan menghadiahkan kepada Biara Cluny tanah dan uang. William III kiranya melakukan hal tak biasa ini karena dua alasan: (1) dia tidak mempunyai seorang ahli waris dan (2) yang kiranya teramat berarti bagi dirinya sendiri, yakni dia telah melakukan suatu pembunuhan sehingga begitu tertekan oleh hati nuraninya. Langkah ini adalah bagian dari pertobatannya. Namun, tanpa memperhatikan motivasi pribadinya, usaha William itu telah menggagasi pembaharuan hidup monastisisme.
Abas I, Berno dari Baume memiliki kebebasan berpolitik yang disokong situasi di luar kerajaan. Hal ini memberi Cluny fungsi politik begitu luas, terutama pihak yang bersekutu dengan biara itu. Sejak permulaannya, biara ini telah mempunyai dua keuntungan yang tak ternilai. Pertama, Biara ini tidak dalam kekuasaan Uskup setempat pun kuasa dunia lainnya, melainkan langsung di bawah kekuasaan Paus. Hal itu membawa kebebasan yang besar, lagipula sebagai biara yang masih muda belumlah mengalami keruntuhan yang hampir merupakan tradisi, yang menghalang-halangi biara yang lebih tua untuk mengadakan perombakan. Kedua, (pastilah hal ini merupakan faktor yang paling penting dalam jangka dua abad pertama) di antara para Abasnya terbilang sejumlah besar orang-orang kudus: Odo (927-942), Mascal (948-994), Odilo (994-1048), Hugo (1049-1109). Selama masa kepemimpinan mereka diterapkan Aturan Benedektin yang keras. Karena itu mereka mempunyai prestise yang kuat dan punya pengaruh besar melebihi raja yang memiliki reputasi jelek dan berkuasa kala itu. Namun, patut dicatat bahwa raja-raja itu menyukai pemimpin-pemimpin ini karena askese dan hidup rohaninya yang tinggi.
St. Odo (962-942) pertama-tama melaksanakan pembaharuan itu secara sistematis dan di bawah pimpinannya Cluny mulai mengalami kebangkitan. Kembali pada tradisi monastik awal, ia menempatkan tradisi pembaharuan hidup monastik dan juga hidup kekristenan (kasih, kesopanan dan damai). Dia juga menunjukkan dirinya sebagai seorang pembaharu yang bersemangat. Tahun 931 dia menerima previlege dari paus untuk membawahi setiap biara yang ingin mengikuti pembaharuannya. St. Odilo (994-1049) adalah sahabat para kaisar, pendidik para bapa suci, dan para Uskup. Di bawah Odilo, keunggulan hidup rohani ini semakin mengemuka dan biara-biara Benediktin lainnya ikut bersekutu di mana biara Cluny sebagai kepalanya.
Masa-masa ini boleh dikatakan masa minimnya gelar orang kudus diberikan bagi anggota Gereja. Tak ada satu pun dari keduapuluh lima paus dalam abad ini yang digelarkan kudus. Lain sekali dengan keadaan di Cluny. Tujuh dari delapan pemimpin biaranya, yang memerintah selama dua setengah abad, dihormati sebagai orang kudus. Dalam takhta St. Petrus sedikit saja dapat dikatakan manusia yang berperilaku baik dan berwatak layak. Salah satunya adalah Paus Leo IX yang memulai perubahan dengan mempersatukan tenaga-tenaga ahli yang terpencar di bawah pimpinannya. Paus Leo IX adalah yang pertama menentang simoni dan pergundikan.
Biara Cluny Dan Kebobrokan Gereja
Penyelewengan yang diberantas Cluny itu rupanya sudah mendalam dan menjadi tradisi yang biasa hingga saat itu, sehingga sulit untuk diubah. Adalah biasa bahwa para bangsawan sering menempatkan putera-puteranya sebagai uskup; uskup demikian yang tidak pantas untuk martabatnya, biasanya kawin ataupun hidup dalam pergundikan, lalu meneruskan takhta keuskupan kepada puteranya sendiri. Lowongan takhta keuskupan biasanya dijual kepada penawar yang tertinggi (semacam praktik pelelangan). Penyogokan dan kekejaman yang sangat biasa pun mewarnai zaman ini. Malahan takhta keuskupan pernah diberikan kepada seorang wanita. Kehidupan biarapun tidak kalah bobroknya; pemimpin biara yang kawin dan yang tinggal bersama keluarganya di biara. Begitulah turun–temurun. Mereka yang puas dengan kondisi ini tentu sangat menentang pembaharuan, sebagaimana pernah dialami oleh Uskup Eluin dari biara Lobbes. Ia ditentang oleh teman-temannya dan dianiaya; matanya dikeluarkan dan lidahnya dipotong.
Kekejian pun terjadi dalam takhta suci. Yohanes XII, putera dari raja Alberikus di Italia, telah diangkat menjadi Paus meskipun umurnya baru 16 tahun. Tentu ia tidak mempunyai gambaran tentang tugas kewajibannya itu. Dan memang, selama hidupnya ia hidup dengan para wanita, mempergunakan hak milik Gereja untuk kepentingannya, mentahbiskan anak-anak menjadi uskup, pesta pora di jamuan makan Lateran, dan akhirnya terbunuh pada umur ke-26.
Cluny mempunyai peran besar ketika berkotbah kepada pasukan Perang salib. Memang, Perang Salib I telah digambarkan sebelumnya oleh Cluny, dan hal itupun berbuah sehingga Paus Urbanus II menjadi biarawan Cluny.
Kasus investitur adalah hal yang paling nyata terjadi di Perancis, di mana kaisar mengangkat pausnya sendiri, tetapi ajaran-ajaran Cluny mempengaruhi juga usaha-usaha Henry II dan penggantinya, Henry III, untuk menumbangkan simoni. Hugo dari Cluny adalah contoh yang paling tinggi sebagai kekuatan dan pengaruh yang dicapai oleh Abas Cluny. Dia menjadi orang kepercayaan dalam pergantian paus dan menjadi penasehat sejumlah rumah kerajaan. Karena bimbingannya, ia membantu Kaisar Henry III dalam memberantas simoni. Dia juga menjadi penengah di tengah perselisihan yang hebat antara Henry IV dan P. Gregorius VII (Hildebrand). Hugo, hadir pada puncak perselisihan mereka, ketika Henry IV dipaksa berlutut di Canossa. Di bawah Hugo, suatu karya dimulai oleh abbas Cluny yang pada generasi berikutnya menjadi kemegahan dunia abad pertengahan. Hal itu ialah gereja dengan lima ruang tengah yang sangat besar yang mulai dibangun tahun 1088 dan diberkati pada tahun 1130.
Biara Cluny tidaklah berdiri sendiri. Lepas dari Cluny terdapat pula beberapa biara yang mulai mengadakan pembaharuan. Di Inggris misalnya, tepatnya Rhineland, dan di mana-mana terdapat biara-biara independen yang mirip dengan Cluny. Namun demikian, biara Cluny haruslah kita sebut yang pertama, karena dapat mengatur dirinya untuk menjadi pusat usaha-usaha pembaruan yang berserakan tempatnya. Apa yang dilakukan oleh biara Cluny memperlihatkan betapa mendalamnya kedambaan akan pembaharuan yang hidup di kalangan beribu-ribu biarawan dan awam. Dengan sendirinya, terdapat biara-biara yang mengundang para biarawan Cluny agar memimpin pembaharuan. Para uskup dan juga para bangsawan yang mempunyai kekuasaan atas biara-biara ataupun hendak mendirikan yang baru, lebih dahulu meminta nasehat kepada biara Cluny. Panggilan-panggilan baru, kebanyakan terdiri atas kaum muda bangsawan yang terpesona oleh semangat biara Cluny, datang mengalir dan mendirikan biara-biara baru atau memasuki yang sudah lama ada, untuk melenyapkan apa yang usang.
Lambat laun biara Cluny yang mula-mula merupakan titik terang rohani itupun mendapat pengakuan resmi sebagai pemimpin organisasi biara yang sangat besar. Kira-kira pada tahun 1100, 300-an biara monastik telah bersekutu dengan biara Cluny yang tersebar di seluruh Perancis, Inggris, Spanyol, Jerman, Polandia, dan Hungaria; satu abad kemudian jumlah itu lima kali lipat bertambah sehingga telah mencapai jumlah 1500 biara dengan 10.000 orang biarawan, yang tunduk pada kekuasaan pusat dan pengawasan Abas Umum. Para biarawati dari biara-biara sekitar setiap tahunnya juga berkumpul di Cluny. Mereka datang diwakili oleh ibu rumah-nya masing-masing. Semangat religius roh pembaharuan itu rupanya mengawali suatu abad besar pembaharuan hidup monastik secara keseluruhan.
Perkembangan yang pesat itu memberikan kesaksian akan kebutuhan reformasi dalam hidup kebiaraan. Hasil itu bukanlah tanpa perjuangan. Baik di dalam maupun di luar biara timbul banyak perlawanan yang gigih. Alasan-alasan perlawanan bervariasi antara hasrat mencari keselamatan yang pasti dan suatu keinginan untuk tidak kehilangan kebebasannya dan sekaligus ketakutan akan kehilangan kehidupan yang mewah dan gampang, tidaklah dapat menghalang-halangi suatu gerakan yang didorong oleh pengharapan jiwa yang mendalam.
Para biarawan dari Fleury dapat bertahan menutup pintu gerbangnya selama tiga hari berturut-turut karena tidak menyetujui kedatangan para penilik dari biara Cluny yang dikirimkan ke sana oleh Hertog Burgundy. Para anggota Dewan Katedral Clermont melakukan serangan bersenjata terhadap biara Saint Loup yang telah mengadakan pembaharuan, serta merusak segala-galanya di sana. Namun, bukti-bukti yang masih dapat diperdalam lagi dari sejumlah contoh lain, tak ada bedanya dari alat-alat yang dipergunakan untuk menentang gerakan pembaharuan. Paksaan, siasat, kelicikan hukum sejak permulaan telah dipakai untuk menghalang-halangi jiwa yang mulai menerobos dari Cluny masuk ke dalam umat Kristen.
Pengaruh Cluny Di Luar Biara
Sebenarnya, tujuan pembaharuan melulu pada biara-biara saja. Namun, lambat laun semangat itu merembes pula kepada kaum sekulir, para Imam, Uskup dan Paus, serta kepada umat beriman seluruhnya. Askese para biarawan dalam mempertobatkan orang memang lain daripada yang lain. Menyolok sekali kehidupan para kepala Paroki yang kawin dan memperkaya diri, sehingga mendapat kritik pedas dari umatnya. Kritik itu dapat berupa pemboikotan yang sungguh-sungguh. Lama-kelamaan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya pembaharuan, yang baik di dalam maupun di luar biara telah membawa revolusi.
Revolusi dengan kejadian-kejadian yang luar biasa pula. Satu contoh disebutkan di sini.
Di kota Milano usaha pembaharuan itu sudah dapat menguasai penduduk. Dalam hal itu seorang pertapa bernama Arialdus memiliki peran penting. Akan tetapi, dia berhadapan dengan seorang Uskup Agung yang melawan pembaharuan itu. Akhirnya, rakyat marah dan istana kepausanpun menjadi sasaran pengerusakan rakyat. Akan tetapi karena balas dendam maka tampillah seorang saudara sepupu uskup dan dua orang ini menangkap Arialdus di Lago Maggore dan membunuhnya dengan sangat kejam. Dari sini dilihat, pembaharuan Cluny telah menimbulkan pertentangan golongan, yang menyeret biara-biara, kota, bahkan kelompok-kelompok ke dalam pergolakan itu.
Akhir Biara Cluny
Aturan Venerabilis Abas Petrus (1122-1156) mencapai akhir masa keemasan abbas. Kemasyhuran Cluny justru menjadi satu penyebab kemundurannya pada akhir pertengahan abad ke-12. Kemudian, kekuatan dan semangat pembaharuannya beralih pada Kongregasi Benediktin, Ordo Citeaux di Burgundia (Cistercian), yang di bawah pimpinan Bernardus, membaharui aturan hidup Benediktin. Hal ini semakin memperlemah biara Cluny.
Pada abad ke-13 biara Cluny kehilangan kebebasannya dan berada di bawah pengaruh kerajaan Perancis yang berkuasa pada masa itu. Sebagai akibatnya, dia pun semakin kehilangan pengaruhnya. Dalam periode 1567-1570 biara Cluny dirampas oleh orang-orang Huguenot. Kesudahannya bersamaan dengan munculnya Revolusi Perancis, ketika biara itu dibubarkan tahun 1790 dan bangunan-bangunan biara dihancurkan dengan dinamit.
Biara Cluny dicoba dihidupkan kembali pada masa itu oleh kardinal Richelieu dan Mazarin. Mereka mencoba memulihkan pengaruh Cluny kembali tetapi tidak berhasil. Saat ini, hanya sedikit puing-puing biara itu yang masih tinggal. Dan bangunan utama Biara Cluny menjadi sekolah tinggi untuk insinyur muda. Namun, teladan yang pernah ditunjukkan oleh Biara Cluny kiranya menyemangati kita untuk berjuang terus dalam “menyelamatkan Gereja di setiap zamannya.” Tidak perlu sehebat Cluny, sekecil apapun tentu bermakna dan berguna – “berpikir global dan bertindak lokal”.
Mari kita berupaya untuk terus berdoa sehingga kita semua di Indonesia kuat menghadapi sekularisme dan semakin teguh dalam penghayatan iman Kristiani. Tidak hanya beragama reaktif provokatif saat Gereja dibakar, Gereja dibom atau saat terjadi pencemaran Hosti.
bersambung………..
Burgundy,13 Januari 2019
Oleh Frids WL dan Anastasia Novi Praptiningsih