Siang 3 Agustus 2019 tak akan terlupakan, terutama bagi umat Keuskupan Timika (Papua), Orang Muda Katolik (OMK) Indonesia dan para pendamping OMK. Siang itu, sebuah berita mengejutkan menyambar bak petir di siang hari yang panas: Mgr. John Philip Saklil, Uskup Keuskupan Timika, Ketua Komisi Kepemudaan (Komkep) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2009-2015meninggal dunia.
Figur yang Mengesan
Mgr. John secara fisik saja sudah sangat mengesan. Beliau memiliki ketampanan khas Papua: posturnya tinggi besar, tegap, berkulit hitam dan berambut keriting. Uskup kelahiran Kokonao (Mimika, Papua Barat) 20 Maret 1960 itu memang sekilas tampak menyeramkan. Akan tetapi, jika sudah melihat pandangan matanya yang tajam, cerdas dan jenaka, orang akan langsung merasa nyaman bersama beliau.
Mgr. John selain tegas, juga memiliki senseofhumoryang tinggi. Banyak kisah lucu dipaparkan, juga celetukan-celetukan cerdas yang mengundang tawa meriah para pendengarnya. Itulah alasan, mengapa sosok Mgr. John selalu dirindukan dalam pertemuan-pertemuan OMK atau Komkep.
Satu momentum yang mengesan adalah sore itu. Kapel Rumah Doa Guadalupe pada senja 3-6 Maret 2015 itu layaknya sebuah Indonesia kecil. Dihadiri tiga puluh lima Ketua Komisi Kepemudaan (Komkep) Keuskupan se-Indonesia (minus Ruteng dan Maumere), tampak bagaimana keanekaragaman menyemarakkan suasana. Wajah-wajah khas berbagai daerah di Indonesia, logat bicara yang beragam, menyatu dalam alunan tembang-tembang misa yang dipandu Gamsta, kelompok musik akustik OMK Paroki Pademangan, Jakarta.
Selalu ada getaran semangat saat mengikuti momentum ini. Secara rutin, tiga tahun sekali, para Ketua Komkep Keuskupan bertemu untuk men-sharing-kan situasi pastoral OMK di wilayahnya masing-masing, serta merumuskan kepedulian dan gerak bersama. Tema Rapat Pleno 2015 kali itu cukup menghentak: Dalam Sukacita Injil, Keluar dan Temukan OMK yang Hilang.
Menemukan OMK yang Hilang
Siapakah OMK yang hilang itu? Rm. Antonius Haryanto, Pr, Sekretaris Eksekutif Komkep KWI, yang menyampaikan rekoleksi pada hari pertama menjabarkan mereka sebagai:
- OMK yang mundur: mereka sudah menjumpai Yesus, tetapi mundur (inspirasi Kitab Suci (KS): Markus 10:17-27)
- OMK yang tidak kelihatan: mereka yang ada di sekitar kita, tapi tidak kita kenali (inspirasi KS: Markus 3:34)
- OMK yang tidak dikenang/tidak diingat: mereka yang telah banyak berbuat dan membawa perubahan, namun tak dikenang/diingat (inspirasi KS: Markus 7:27-28, Markus 11:47)
- OMK yang lenyap: mereka yang hilang begitu saja dan tidak dicari (inspirasi KS: Matius 18:12-14, Lukas 15: 3-7, Lukas 15: 11-32)
OMK sebagai Realitas Kehidupan
Sebagaimana biasa, Mgr. John mengisahkan cerita yang lucu untuk menyampaikan pesannya. Alkisah, pada suatu hari ketua dewan paroki meninggal, lalu seminggu kemudian pastor meninggal, dan minggu berikutnya lagi uskup meninggal. Hingga tiba waktunya mereka bertemu di surga, pastor ternyata duduk di kursi deretan belakang ketua dewan paroki, dan uskup malah duduk lebih belakangnya.
Kisah tersebut bertautan dengan bacaan injil pada hari tersebut yang mengisahkan tentang Yesus yang cukup pedas menegur kaum Farisi. Orang Farisi adalah mereka yang biasanya duduk di kursi Musa dan kapasitas untuk melanjutkan ajaran-ajaran Musa ada pada mereka. Untuk jabatan tersebut, orang lain perlu menghormati orang-orang Farisi karena merekalah yang diwarisi wewenang untuk menjadi penerus Musa. Tetapi jika orang-orang Farisi tersebut melakukan hal yang buruk, orang lain tidak perlu mengikuti keburukan mereka.
Mengenai hal itu, Mgr. John mengatakan, “Ini perigatan yang cukup pedas bagi kita: bahwa apa yang kita ajarkan bagi orang muda haruslah pula kita lakukan/kerjakan. Demikianlah proses yang harus kita terapkan, yakni tidak hanya sekadar memberi orang muda sejumlah pengetahuan, tetapi juga membantu
mereka menghayati dan bahkan memilikinya. Dengan demikian, orang muda dapat bersaksi
tentang apa yang mereka hayati. Proses itu,hendaknya, pertama-tama dimulai dari diri kita sendiri, para terwaris kursi Musa. Jangan sampai kita hanya berhenti sampai dengan tahap bicara. Pasalnya, orang muda ini tidak suka mendengar khotbah-khotbah, tidak mau digurui. Mereka lebih suka berbicara tentang apa yang mereka lakukan, dan bukannya tentang apa yang kita buat. Maka pada hari ini saya ingin menyampaikan tiga hal, mengenai bagaimana caranya menghindari (atau mengatasi) kritik pada poin ini dan bagaimana supaya kita dapat masuk ke dalam pendampingan orang muda: belajar dari orang muda, menjadi fasilitator bagi mereka dan membiarkan orang muda bersaksi.”
Secara tajam, Mgr. John Philip Saklil menandaskan fakta di lapangan. OMK di suatu daerah basis Katolik menampilkan potret kemiskinan dan keterbatasan sumber daya manusia. Dengan profil seperti itu, mereka menjadi masalah di daerahnya sendiri, juga di daerah lain ketika mereka berpindah. Sementara itu, OMK dari daerah yang relatif lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik, akan menjadi pemimpin-pemimpin di pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat. Apakah yang sudah dilakukan agar mereka nantinya menjadi pemimpin yang berintegritas dan tak korup?
“Di daerah-daerah dengan realitas sosial yang pahit (ditandai dengan adanya kemiskinan, penyalahgunaan narkoba, penetrasi budaya populer yang berdampak negatif, prostitusi, humantrafficking, dll.), realitas OMK pun menjadi suatu keprihatinan tersendiri. Apakah mereka mampu menjadi terang dan saksi-saksi Kristus? “OMK bukanlah Gereja masa depan. OMK adalah Gereja saat ini,” tandas Mgr. John. “Kita sering terjebak dengan ungkapan ‘OMK adalah Masa Depan Gereja’. Ungkapan inirentan bagi kita untuk melihat OMK sebagai objek. Padahal orang muda adalah wajah Gereja dan bangsa kita sekarang ini. Buruk dan baiknya mereka, itulah wajah gereja. Ketidakmampuan mereka mengaktualisasikan dirinya, adalah ketidakmampuan Gereja.”
Refleksi para peserta Rapat Pleno didasarkan pada ensiklik Evangelii Gaudium (EG). Marilah kita bergerak keluar, marilah kita bergerak keluar menawarkan kepada setiap orang hidup Yesus Kristus. Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. … Begitu banyak saudara-saudari kita hidup tanpa kekuatan, terang dan penghiburan yang lahir dari persahabatan dengan Yesus Kristus, tanpa komunitas iman yang mendukung mereka, tanpa makna dan tujuan hidup. Lebih daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut tetap tertutup dalam struktur-struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman, sementara di luar pintu kita orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersada kepada kita: “Kamu harus memberi mereka makan,” (Markus 6:37) (EG, 49).
Rapat Pleno ditutup dengan misa dan Mgr. John dalam homilinya mengingatkan, “Kita ini mendampingi anak-anak dalam masa yang singkat, usia 13-35 tahun. Itu hanyalah masa transit dalam hidup mereka. Hasil dari pendampingan kita akan tampak pada masa hidup mereka selanjutnya.”
Gembala yang Gigih Melindungi Dombanya
Mgr. John, sebagai uskup Keuskupan Timika, terbilang gigih menjaga dan melindungi umatnya. Menyikapi berbagai kekerasan di Papua, beliau kerap menyampaikan press releaseyang dimuat di media massa lokal maupun nasional. Satu di antaranya adalah pernyataan sikap (ditulis pada 30 Agustus 2015) atas penambakan warga sipil oleh aparat keamanan di Timika pada beberapa peristiwa berikut:
- 7-0 Desember 2014 di Enarotali (Paniai): penembakan oleh aparat gabungan (TNI dan POLRI) ke arah kerumunan warga sipil di Lapangan Karel Gobay. Kejadian ini menewaskan 3 (tiga) orang pelajar SMU dan melukai 10 (sepuluh) orang lainnya.
- 26 Juni 2015 di Ugapuga (Dogiyai) : Terjadi serangan senjata oleh aparat TNI terhadap sekelompok anak muda pada malam hari. Kejadian ini menewaskan 1 (satu) orang pemuda dan mencederai 1 (satu) orang pemuda lainnya (luka bekas tikaman sangkur di lengan kiri).
- 17 Juli 2015 di Bilogai (Intan Jaya): terjadi penyerangan yang dilakukan oleh 6 (enam) anggota Brimob terhadap seorang pemuda. Pemuda ini dianiaya, bahkan ditembak pada kakinya.
- 17 Juli 2015 di Tolikara: selain terbakarnya sebuah mushola, ada juga korban penembakan yang menewaskan 1 (satu) orang dan mencederai 9 (sembilan) orang lainnya. Pelakunya pasukan gabungan (TNI/POLRI).
- 27-28 Agustus 2015 di Koperapoka, Mimika. Anggota tentara dengan senjata api di tangan, masuk dan menodongkannya kepada warga sipil di halaman gereja. Sesudahnya menembak secara membabi buta dan menewaskan 2 (dua) orang serta mencederai 5 (lima) orang lainnya.
Menurut Mgr. John saat itu, kasus-kasus tersebut belum ada yang ditangani secara professional hingga tuntas. Selain penanganannya tidak transparan, tidak ada keseriusan dan itikad baik dari pihak pimpinannya. Dan karenanya, para pelakunya pun tak pernah ditangkap untuk diproses seturut hukum yang berlaku. Para pelakuatau oknumkekerasan kemanusiaan ini masih berkeliaran bebas dan aktif bertugas sebagai anggota TNI/POLRI. Dengan demikian, mereka juga masih terus meneror kehidupan warga sipil dengan kehadiran mereka.
Mgr. John menyampaikan sikap sebagai pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Timika, atas terjadinya tindakan penyerangan terhadap warga sipil yang dilakukan olehoknum anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas dalam wilayah Komando Daerah Militer (KODIM) 1710 Mimika. Selain itu, dicatatkan juga sejumlah tindak kekerasan lain yang ini tidak ditangani secara tuntas. Ada harapan agar pengambil kebijakan berkenan mempelopori usaha penuntasannya demi tegaknya penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Apapun alasannya, menyerang warga sipil dengan menggunakan alat negara sudahtentu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Tanpa diberi kewenangan oleh negara atau pun jika negara tidak dalam keadaan darurat, maka seorang anggota TNI/POLRI tidak berhak menggunakan peralatan perang yang dipercayakan oleh negara untuk menyerang warga sipil.
Dengan melihat dan mengalami kenyataan tersebut, Gereja Katolik Keuskupan Timika menyatakan sikap:
- Mengecam dan dan mengutuk semua bentuk tindak kekerasan terhadap kemanusiaan, terutama kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain,
- Mengecam dan mengutuk semua bentuk tindak kekerasan terhadap kemanusiaan yang menggunakan alat negara untuk menyerang dan menghilangkan nyawa warga sipil,
- Meminta dengan hormat kepada semua lembaga penegak hukum, agar segera menangkap, menahan dan memproses para pelaku kekerasan terhadap kemanusiaan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan jika unsur-unsur kejahatannya memenuhi syarat, agar pelakunya diseret ke pengadilan Hak Azasi Manusia,
- Meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, berjaga, bersabar dan memantau kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap kemanusiaan agar dapat dituntaskan dengan cara yang bermartabat, transparan, yuridis dan tanpa pandang bulu.
- Meminta semua pihak, terutama warga sipil, untuk selalu mengedepankan cara damai dalam menyelesaikan aneka persoalan dalam kehidupan bersama.
Sebaliknya, Mgr. John juga memberikan rekomendasi kepada:
- GUBERNUR PAPUA untuk berdiri kokoh membela kepentingan rakyat dengan mengevaluasi kembali penempatan anggota TNI dan POLRI yang jumlahnya melebihi warga sipil.
- PANGDAM XVII Cenderawasih sebagai patriot bangsa agar segera menangkap, menahan dan menyerahkan anggota TNI yang terlibat aksi kekerasan terhadap kemanusiaan kepada pihak penegak hukum agar diproses seturut undang-undang yang berlaku.
- KAPOLDA PAPUA sebagai ksatria penegak hukum untuk menangkap, menahan dan memproses secara hukum semua anggota POLRI yang terlibat dalam tindakan kekerasan kemanusiaan.
- Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi yang baik, benar, independen dan obyektif serta memprosesnya sebagai kasus pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia.
- Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk menghasilkan produk hukum yang menjamin kelangsungan hidup Orang Asli Papua.
- Majelis Perwakilan Rakyat Papua (MRP) untuk menjalankan fungsi perlindungan terhadap hak hidup Orang Asli Papua dengan berani dan tanpa gentar.
Pejuang Kemanusiaan Itu telah Pergi
Karena kegigihannya membela hak asasi manusia, gurauan yang terlontar di antara orang-orang yang dekat dengan Mgr. John adalah: darah Monsinyur itu ‘halal’. Memang terdengar selentingan bahwa Mgr. John menjadi ‘sasaran tembak’ karena aktivitasnya membela martabat rakyat Papua.
Kini, pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sebagai imam Keuskupan Jayapura, Mgr John ditahbiskan pada 23 Oktober 1988. Beliau ditahbiskan sebagai uskup pada 18 April 2004 dan ditunjuk menjadi uskup pertama Keuskupan Timika.
Selamat berpulang ke rumah yang kekal, Mgr. John. Jadilah pendoa bagi umat Katolik di Indonesia, agar kami mampu melanjutkan perjuangan Monsinyur selama ini dalam mendampingi OMK Indonesia dan rakyat Papua. Berangkatlah ke surga dengan membawa tanda kemenangan Kristus.
(Helena D. Justicia)
Sumber pendukung:
https://indonesia.ucanews.com/2015/08/31/uskup-timika-kecam-penembakan-aparat-tni-di-gereja/
https://nasional.tempo.co/read/696023/uskup-timika-kecam-penembakan-aparat-tnidi-gereja
https://seputarpapua.com/view/447-keuskupan-timika-kecam-penembakan-warga-sipil-di-deiyai.html
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/uskup-timika-kutuk-penembakan-warga-sipil-deiyai