Komunitas Taizé berusaha mengakomodasi segala jenjang usia untuk bisa menetap di sana. Ada berbagai jenis akomodasi yang disediakan oleh pihak komunitas dengan tarif yang cukup terjangkau bagi kebanyakan peziarah. Bahkan, di sini tersedia tempat berkemah dan parkir khusus kendaraan karavan (gratis) bagi mereka yang ingin akomodasinya lebih hemat lagi. Jika anda datang ke Taizé saat musim panas dan memboyong keluarga dengan anak-anaknya, maka Olinda pastinya bakal menjadi tempat yang cocok dan harus anda tempati bersama keluarga tercinta.
Apa itu Olinda? Olinda merupakan penginapan khusus bagi peziarah yang membawa anggota keluarganya (bapak, ibu, anak). Olinda terletak bersebelahan dengan Taizé, yakni di desa Ameugny (baca: Amuny). Jika berangkat dari Gereja Rekonsiliasi Taizé, peziarah hanya membutuhkan waktu tempuh 5 menit dengan berkendara dan kurang lebih 15 menit apabila kita berjalan kaki. Olinda hanya dibuka saat musim panas untuk mengakomodir peziarah yang berjumlah ribuan (peak season).
Saya pun mendapat jadwal untuk berkerja selama sepekan di Olinda. Tugas saya di sini adalah memfasilitasi anak-anak dengan beragam aktivitas, seperti bermain permainan yang kreatif sesuai dengan jenjang usianya. Saat anak-anak berada di Olinda, orang tua mereka dapat fokus berpartisipasi dalam kegiatan regular untuk orang dewasa, seperti: Bible Study, sharing session, etc. Bagi anak-anak, yang berusia di atas 15 tahun, harus bergabung dengan kelompok lain (young adult) di Taizé. Aktivitas di Olinda kurang lebih sama seperti di Taizé. Bedanya hanya pada lokasi mereka menginap saja. Untuk aktivitas rohani harian (doa pagi, doa siang, doa malam), semuanya tetap harus bergabung di Gereja Rekonsiliasi Taizé.
Rangakaian aktivitas di Olinda setiap hari selalu diawali dengan mengumpulkan anak-anak dan orang tuanya di tenda pertemuan. Semuanya duduk berdasarkan pengelompokan suatu negara dan/atau bahasa mereka masing-masing. Tak heran, ini mengharuskan setiap kelompok menentukan salah seorang atau beberapa orang tua menjadi penerjemah sukarela bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris. Konsekuensinya, seorang pembicara, yang ada didepan hadirin, harus berbicara pendek-pendek, supaya tidak menyulitkan para penerjemah. Kemudian, bruder mengajak semua menyanyikan salah satu lagu Komunitas Taizé. Setelahnya, kami, yang ada di depan hadirin, akan menyapa semua orang secara bergantian dengan ucapan selamat pagi dari bahasa kami sendiri. Tak terkecuali dalam bahasa Indonesia pula.
Anak-anak yang kami tangani di Olinda dikategorikan ke dalam 5 kelompok usia: usia 0-2 tahun, usia 3-5 tahun, usia 6-8 tahun, usia 9-11 tahun, usia 12-14 tahun. Waktu itu saya menjadi salah satu koodinator di kelompok usia 9-11 tahun bersama seorang teman permanent/relawan dari Jerman bernama Frenze. Saat bertugas di Olinda, kami akan dibantu peziarah lain. Biasanya,mereka yang diperbolehkan secara sukarela bergabung untuk tugas di Olinda adalah peziarah dengan durasi menetap mulai dari dua pekan sampai sebulan. Mereka pun hanya membantu tim Olinda selama setengah hari saja. Sedangkan, kami relawan (permanent), yang menetap cukup lama, harus bertugas sebagai koordinator kelompok dan bekerja di Olinda seharian.
Bertugas di Olinda memberi tantangan tersendiri. Tidak mudah untuk mengkoordinasi anak-anak kelompok usia 9-11 tahun,karena jumlah mereka yang relatif banyak dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Salah satu hambatan terbesar kami adalah saat memberi instruksi permainan yang memakan waktu agak lama. Penyebabnya tidak semua anak yang ada dalam kelompok kami, bisa berbahasa Inggris. Anak-anak yang kami temani berasal dari berbagai negara dengan ragam bahasanya masing-masing. Namun, kendala ini dapat tertangani berkat relawan dari negara lain yang bisa berbahasa asing lainnya di samping Bahasa Inggris. Sedangkan anak-anak lain, yang memang tidak punya pendamping sebangsa dan/atau sebahasa, kami gabungkan bersama anak-anak lainnya dengan mengandalkan komunikasi bahasa isyarat/tubuh.
Sebelum kami menjalankan tugas masing-masing, Minggu malam sebelumnya Bruder Jean-Patrick, yang bertanggung jawab di Olinda pekan itu, memberi kami ide untuk memperkenalkan lagu-lagu rohani di luar Komunitas Taizé. Lagu-lagu ini harus berasal dari negara lain. Aktivitas ini nantinya disisipkan pada sesi awal setiap pagi sebelum rangkaian acara di Olinda berjalan. Jadilah setiap relawan diminta memperkenalkan lagu rohani pendek yang berasal dari bahasa & negara kami masing-masing. Saya termasuk di antara lima teman lain yang diminta oleh bruder untuk memperkenalkan lagu rohani pendek Indonesia. Waktu itu, pembagiannya adalah: Senin (Jerman), Selasa (Indonesia), Rabu (Tiongkok), Kamis (Bangladesh), Jumat (Perancis) dan Sabtu (Rusia).
Awalnya, saya bingung dan panik saat diminta bruder melaksanakan tugas ini. Apalagi lagunya harus ada gerakannya pula. Kebetulan, saya ingat lagu yang sangat familiar saat masih ikut Sekami, yakni “Jalan serta Yesus”:
Jalan serta Yesus. Jalan serta-Nya setiap hari.
Jalan serta Yesus. Serta Yesus selamanya.
Saya putuskan lagu dan penggalan lirik ini saja yang akan saya bagikan. Saya pun meminta bantuan Tere untuk menuliskan lirik lagunya di karton yang cukup besar. Ditulisnya sebesar mungkin, supaya bisa dibaca hadirin dengan jelas.
Tibalah hari Selasa pagi. Setelah diawali dengan lagu Ubi Caritas dan menyapa seluruh hadirin, Bruder Jean-Patrick mengundang saya tampil di atas panggung untuk memperkenalkan lirik lagu yang sudah terpampang rapi di belakang saya. Saya memulai dengan memperkenalkan diri kemudian menjelaskan secara singkat lagu Jalan Serta Yesus. “Walking with Jesus“, ujar saya waktu itu kepada hadirin. Dalam perasaan yang berdebar-debar, saya mulai mengajak semua melafalkan kata demi kata sampai akhirnya mereka mulai mengikuti cara saya menyanyikan lagu tersebut. Mendengar mereka melafalkan kata demi kata membuat saya tertawa dalam hati. Seolah-olah ini mulai menghilangkan rasa gugup saya di hadapan mereka. Tak lupa saya sertakan sambil bernyanyi gerakan berjalan di tempat dengan tangan mengayun layaknya gerakan berjalan sungguhan. Setelah mengulanginya beberapa kali dan saya anggap mereka sudah cukup lancar menyanyikan lagu ini, saya pun mengajak mereka untuk berjalan beberapa langkah ke kiri lalu ke kanan mengikuti gerak lagu. Raut muka anak-anak terlihat ceria. Anak-anak ini sangat gesit dan ceria berjalan ke kiri dan ke kanan serta seolah-olah berlari. Mereka sangat menikmati dan berpartisipasi aktif dalam menirukan setiap gerak lagu yang saya berikan.
Segera setelahnya, semua kegiatan pun dimulai. Orang tua pergi ke kelompok kegiatan mereka masing-masing tak terkecuali anak-anaknya. Setiap hari, kami menentukan dan menyediakan berbagai jenis permainan disesuaikan dengan kelompok usia yang kami tangani, mulai dari aktivitas fisik sampai kreativitas (menggambar, menyanyi, dll). Salah satu permainan yang saya perkenalkan kepada mereka adalah “Marco Polo”. Permainannya cukup mudah. Dengan luas wilayah yang sudah ditentukan, kami memilih satu anak dan menutup matanya. Anak tersebut harus berada di tengah. Anak-anak lain akan berpencar di sekitarnya dan diam di satu titik dalam area permainan. Si anak yang ditutup matanya ini mulai berseru “Marco” dan anak-anak lainnya harus membalas seruannya “Polo”. Si anak harus terus menerus berseru “Marco” sambil berusaha mencari sumber suara salah satu temannya yang berseru “Polo”. Jika ia berhasil menangkap salah satu temannya, barulah ia berganti posisi dan posisi anak-anak lain pun harus berpindah. Mereka menikmati permainannya, tapi sesekali saya mengingatkan beberapa anak untuk tidak berpindah posisi, sebelum ada teman mereka yang tertangkap. Sepertinya mereka takut tertangkap dan tidak mau menjadi si Marco. Aktivitas di pagi hari itu kami akhiri dengan Doa Siang bersama di Gereja Rekonsiliasi Taizé.
Sorenya, kami para koordinator kelompok masih punya tugas lain di Olinda. Kami terlibat dalam seni peran dengan kisah Nabi Musa menghantarkan orang-orang Israel ke Tanah Terjanji. Pertunjukan ini berlangsung setiap sore dari Senin sampai Sabtu dengan tema/episode yang sudah ditentukan. Bersama Bruder Jean-Patrick dan seorang ibu ahli seni peran berkewarganegaraan Perancis, kami mulai latihan bersama selama kurang lebih setengah jam sebelum pertunjukan setiap harinya. Kami berperan sebagai orang-orang Israel, sedangkan pemeran utamanya adalah bruder (Musa) dan si ibu (Harun). Dialog yang harus kami hafal pun hanya sedikit saja dan lebih didominasi oleh improvisasi sendiri dari Bruder Jean-Patrick dan si ibu. Menurut si ibu, konsepnya demikian supaya anak-anak lebih menangkap ceritanya dari adengan-adegan yang dipertunjukkan. Sehingga, tugas ini umumnya cukup adaptif dan relatif mudah dipahami dalam waktu singkat. Dramanya dibuat lebih sederhana dan interaktif. Ditambah unsur naratif dan humor yang menyertakan hal-hal kontekstual zaman sekarang tanpa kehilangkan nilai biblis yang ingin disampaikan kepada anak-anak.
Waktunya pertunjukan pun dimulai, kami melakoni dialog demi dialognya. Terlihat mimik wajah anak-anak tertegun menyaksikan adegan demi adegan yang kemudian pecah dengan tawa mereka sendiri kala melihat adegan jenaka yang kami perlihatkan. Saya semakin menikmati nuansanya, apalagi saat orangtua, yang menerjemahkan dialog untuk anaknya, terlihat serius dan ekspresif mengikuti alur ceritanya. Uniknya dalam drama kami ini, para koordinator kelompok setiap episodenya berganti peran sebagai Tuhan. Alasannya sangat menyentuh dan bermakna reflektif, supaya penonton terutama anak-anak bisa melihat dan memahami gambaran atau sosok Tuhan dari berbagai rupa. Tidak terbatas pada gambaran fisik yang cenderung maskulin menurut pandangan kebanyakan orang. Ataupun sosok dengan rambut panjang yang tinggi seperti Yesus dan berkulit putih nan bercahaya?
Salah satu adegan drama yang paling berkesan dan emosional adalah saat pertunjukan hari terakhir. Drama episode terakhir ini mengisahkan perjalanan Musa yang sudah menghantarkan bangsa Israel ke Tanah Terjanji, namun pada akhirnya ia harus berpisah dan wafat. Lantunan lagu “Stand by Me” karya Ben King yang dinyanyikan pelan dan tenang semakin memperkuat kisah perpisahan tersebut. Sontak adegan-adegan tersebut membuat anak-anak yang menyaksikannya terperangah dan berkaca-kaca matanya. Lalu saya menyadari bahwa ternyata ini bukan hanya sekedar emosi perpisahan yang terbawa dari dramanya. Tapi juga hari itu (Sabtu) merupakan perjumpaan dan pekan terakhir Olinda dibuka. Selanjutnya, Olinda akan dibuka lagi saat masuk musim panas tahun depan. Banyak di antara mereka yang pulang hari itu juga (Sabtu), tapi ada juga yang memutuskan pulang hari Minggu esoknya.
Setelah drama selesai, kami disambut dengan apresiasi yang meriah dari seluruh hadirin. Tak hanya sebatas itu saja, satu per satu anak-anak mulai mendatangi saya dan rekan-rekan lainnya, sambil berebutan ingin memeluk tanda rasa terima kasih dan bentuk perpisahan mereka. Beberapa orang tua yang menyertai mereka turut berterima kasih atas dedikasi kami bagi anak-anak mereka di Olinda. Terlihat ekspresi bahagia tanda mereka juga menikmati waktu perziarahannya di Taizé selama sepekan.
Olinda menjadi saksi bisu benih-benih iman mulai ditanam, tumbuh, dan berkembang dalam setiap anak yang berziarah ke Taizé. Perhatian orang tua menjadi kunci vital pertumbuhan iman anak-anak sejak dini. Kehadiran keluarga-keluarga di Komunitas Taizé lewat tinggal di Olinda telah mencerminkan bahwa tindak-tanduk yang mereka lakukan dengan berziarah ke sana bukan semata-mata karena suatu tuntutan tertentu, melainkan ini sebuah kebutuhan (rohani) yang harus dipenuhi keluarga Kristen sejati. Makna rupa Tuhan juga dalam drama kami pun menjadi pengalaman yang senantiasa mengilhami saya melihat wujud Tuhan dalam pribadi orang-orang di sekitar saya.
by:Rendy K. Senduk
1 thought on “OLINDA”
Yusuf Suharyono
(April 1, 2020 - 21:47)Terima kasih Rendy untuk sharingmu. Inspiratif! Ternyata Taizé luas yaaa… bukan hanya nyanyian dan doa tapi ada juga Olinda. Bagus sekali dirimu bisa berbagi tentang Indonesia, paling tidak lewat nyanyian Sekami. Proficiat! Sudah turut menyemaikan benih-benih iman. Merci. 🙏