PANDEMI BUKAN BERARTI TERHENTINYA EMPATI

Banyak yang menjadi korban pandemi virus Covid-19. Hingga 7 Juni 2020, kasus terdeteksi positif mencapai jumlah 31.186, kasus meninggal 1.851 orang dan sembuh 10.498 orang. Sementara itu, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 7 juta orang.

 

Situasi tersebut merupakan yang sulit bagi semua orang. Bahkan yang tak terkena dampak langsung pun, banyak orang yang menjadi terbatas aktivitas serta aksesnya karena Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB). Tentu saja, kesulitan terbesar dialami oleh mereka yang sungguh-sungguh kesusahan untuk meneruskan hidupnya, karena ketiadaan uang dan akses pada bahan pangan.

 

Penderitaan yang Mempersatukan

Situasi pandemi Covid-19 di sejumlah negara memunculkan insting ‘survival of the fittest’.

Survival of the fittest adalah sebuah frasa dalam teori evolusi untuk menyebut mekanisme seleksi alam. Frasa itu kini lebih sering digunakan dalam konteks lain, yaitu bahwa individu yang lebih bugar (fit) lebih mungkin selamat menghadapi ujian daripada individu yang tidak bugar. Dalam konteks ini, ‘fit’ berarti ‘yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan saat itu’.

 

Tindakan yang menampilkan insting ‘survival of the fittest’ tampak dalam wujud orang-orang yang berebutan memperoleh cairan disinfektan, masker, tisu basah, juga sembako. Semua orang seolah berlomba-lomba untuk mendapatkan lebih dulu atau lebih banyak demi keselamatan atau keamanannya sendiri. Orang jadi mudah mengabaikan orang lain; berpura-pura tidak mengetahui kebutuhan atau kesusahan mereka.

 

Padahal, dalam situasi penderitaan, manusia dipanggil untuk dipersatukan. Penderitaan sejatinya mempersatukan manusia karena dalam penderitaan bersama, akan tercapai saling pemahaman. Yang terjadi saat pandemi virus covid-19 ternyata tidak selalu begitu. Kita menyaksikan bagaimana orang menimbun sembako, betapa langkanya masker dan disinfektan, serta mahalnya vitamin C.

 

Hidup yang Lepas Bebas dalam Situasi Penderitaan

Spiritualis Henri J. Nouwen menuliskan dalam renungan hariannya yang berjudul ‘Lepas Bebas’: hidup memang berharga, namun bukan milik yang harus dipertahankan.

 

Dikatakan oleh Richard Swinburne (1998), penyakit dan bencana menjadi kesempatan bagi manusia untuk menunjukkan keutamaan dan keluhuran sikap, membentuk karakter lewat pilihan-pilihan yang diambil manusia untuk memikirkan langkah-langkah masa depan lewat sains dan sebagainya.

 

Dalam penderitaan, bahkan yang paling pedih sekalipun ketika kita berteriak, “Allahku ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” panggilan untuk berbuat kasih terus diserukan kepada kita. Dan panggilan, memang akan sekuat jawaban.

 

Orang tidak hanya punya kelekatan terhadap harta, melainkan juga terhadap hidup. Dalam penderitaan, menjalani hidup yang lepas & bebas adalah juga suatu keutamaan.

Orang muda-lah, dalam situasi pandemi ini, adalah mereka yang menjadi tumpuan harapan. Ketika orang-orang tua menjadi pihak yang paling rentan dalam situasi pandemi, orang muda yang kondisi fisik dan kognitifnya relatif baik, diharapkan berperan lebih.

 

Monsinyur Pius Riana Prapdi, selaku Ketua Komisi Kepemudaan KWI menyatakan bahwa hal ini dilakukan dalam rangka mengajak Orang Muda Katolik (OMK) di seluruh Indonesia untuk menjadi pemeran utama dalam situasi saat ini hingga selesainya masa krisis pandemi, yaitu dengan menjalankan habitus baru yang mampu menghidupkan diri dan dunia sekitar.

Habitus atau budaya baru tersebut adalah hidup hemat, sehat, produktif, serta hidup untuk Tuhan dan sesama. Hidup hemat dengan tetap setia di rumah dan tetap memperhatikan penggunaan listrik, air, pulsa, memilah keinginan dan kebutuhan dalam rangka menghormati bumi sebagai rumah bersama. Hidup sehat jiwa dan raga dengan makan secara seimbang, menjaga kebersihan diri salah satunya dengan selalu cuci tangan, berolahraga di rumah, menggunakan masker jika keluar rumah, dan menciptakan waktu berharga di dalam keluarga. Hidup produktif melalui ide kreatif untuk menghasilkan sesuatu bagi sesama, misalnya dengan berkreasi di dunia teknologi seperti menciptakan aplikasi, membuat konten positif di media sosial, untuk ketahanan pangan turut membudidayakan budaya cocok tanam di rumah dengan memanfaatkan lahan yang dimiliki, sedangkan yang tinggal di kota dapat menerapkan urban farming. Kemudian, hidup untuk Tuhan dan sesama yaitu berani berkorban dan berbagi untuk sesama di sekitar, misalnya peduli dan menolong yang rentan, serta menghidupkan budaya solidaritas dan gotong royong.

“Hidup adalah anugerah, panggilan, dan perutusan. Maka, saya mengajak OMK Indonesia untuk menjadi nabi masa kini dengan melihat keprihatinan di sekitarnya, kemudian merenungkan solusi yang tepat, dan beraksi secara bijak,” kata Monsinyur Pius.

Hal ini sejalan pula dengan yang diserukan oleh Paus Fransiskus agar kita bersiap menghadapi hal-hal baru setelah krisis pandemi ini, dengan saling bergandengan tangan untuk bersama berkomitmen menjaga bumi. Harapannya dunia dapat menjadi tempat yang lebih baik daripada sebelumnya bagi kemanusian dan persaudaraan sejati. (Helena D. Justicia)

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *