Sebuah Catatan tentang Hari Perempuan

Tanggal 8 Maret yang lalu, dunia internasional merayakan Hari Perempuan Sedunia, sebuah perayaan yang berproses sejak seabad lalu, ketika dunia industri sedang berkembang dan bergolak. Tahun 1975 PBB menetapkan secara resmi tanggal ini sebagai Hari Perempuan Internasional.

Pasti di antara OMK ada yang bertanya mengapa perempuan kesannya harus diistimewakan. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kota besar, tempat perempuan tampaknya sudah dapat menjadi siapapun. Tidaklah selalu demikian kenyataannya. Di banyak wilayah dapat terlihat masih banyak pembedaan yang dialami perempuan dan laki-laki yang menyebabkan diskriminasi dan bahkan kekerasan.

Padahal sebenarnya secara kodrat laki-laki dan perempuan hanya berbeda secara fisik, bukan dalam peran. Saat ini, masyarakat masih cenderung menempatkan laki-laki di ruang publik, dan perempuan di ruang domestik (rumah dan sekitarnya). Pembagian ini diperkirakan mulai terjadi berabad-abad lalu, ketika manusia masih hidup berpindah dan berburu. Karena kondisi fisiknya, perempuan yang mengandung dan kemudian menyusui anaknya tidak dapat sebanyak laki-laki dalam melakukan perburuan dan melakukan pekerjaan di luar. Sejarah kemudian melanggengkan hal tersebut dan menjadikannya turun-temurun. Tak perlu jauh-jauh; pengekalan pembedaan juga tumbuh di lingkungan sekitar kita, melalui berbagai media yang yang cenderung menggunakan perempuan untuk menjadi iklan produk domestik mereka. Lihatlah iklan sabun cuci, makanan dan perawatan bayi/anak yang didominasi perempuan. Padahal mengasuh dan merawat anak adalah tanggungjawab bersama yang berdasarkan konsensus bersama. Sebuah percobaan pernah dilakukan, yaitu ketika seorang anak perempuan dan anak laki-laki dibesarkan tanpa pembedaan ternyata mereka dapat memiliki kekuatan dan ketrampilan yang sama.

Di wilayah konflik, seringkali tubuh perempuan menjadi ‘sandera’ untuk memenangkan pertempuran. Jika OMK ingat atau pernah membaca peristiwa Tragedi 1998 yang terjadi di Jakarta, banyak terjadi pelecehan seksual yang dilakukan terhadap perempuan etnis Cina. Hal yang sama juga terjadi di konflik Poso, Ambon, Timor Leste dan berbagai tempat lainnya. Namun hal ini tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, karena perempuan yang melaporkan, alih-alih mendapat simpati, mereka akan dipersalahkan terlebih dahulu.“Mengapa ketika itu kau keluar rumah sendirian?”, “Mengapa memakai gaun merah menyala?”, “Mengapa mau pacaran dengan dia?” Banyak ‘mengapa’ lainnya sebelum soal sebenarnya dibahas, yaitu perlindungan dan keadilan bagi semua.

Misdinar perempuan, prodiakon perempuan adalah salah satu contoh bahwa Gereja Katolik terus berupaya memperbarui diri agar terus relevan dalam menjawab tantangan hidup yang terus berubah. Untuk itu kita harus bangga dan bersyukur menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ecclesia semper reformanda; Gereja yang relevan adalah Gereja terus-menerus memperbarui dirinya.

So OMK, tunggu apa lagi, saatnya untuk bergerak dan peduli. Jadilah pelopor perubahan untuk sebuah dunia yang lebih baik. Bisa dimulai dari rumahmu ketika kau melihat bahwa setiap kerja domestik adalah berharga; berani bersikap ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan di lingkunganmu, karena ia bisa saja Kakak, Adik atau Ibumu. (MIA, Pengurus Komkep KWI)

 

 

 

 

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *