Ada yang berbeda menjelang senja 4 April 2015 di Rutan Klas I Cipinang, Jakarta Timur. Tampak sebuah bangunan sederhana, “Gereja Galilea” di sudut rutan Cipinang bersolek dalam kesahajaan. Belasan orang berseragam batik bernuansa jingga sibuk hilir mudik mengatur puluhan pengunjung yang datang.
Satu yang berbeda di antara pengunjung yang hadir, ialah hadirnya Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, yang hadir, menawarkan senyum dan sapaan hangat kepada satu demi satu umat yang telah hadir, termasuk beberapa penghuni rutan dan keluarganya. Memang secara khusus Mgr. Ignatius Suharyo mengunjungi tempat ini untuk merayakan Perayaan Ekaristi Malam Paskah bersama beberapa penghuni rutan Cipinang, keluarga, dan umat yang tergabung dalam Forum Pelayanan Penjara, salah satu komunitas kategorial di Keuskupan Agung Jakarta. Sukacita Paskah seolah telah hadir menyemarakkan Gereja Galilea, dan gedung gereja pun akhirnya tak mampu menampung hadirnya umat yang hendak merayakan Malam Paskah bersama Sang Gembala.
Paskah: Makna Rohani Kebangkitan Kita
Dalam tradisi liturgi Gereja Katolik, Perayaan Ekaristi Malam Paskah dimulai dengan Upacara Cahaya yang melambangkan hadirnya Kristus, Sang Cahaya sejati menghalau kegelapan. Demikian pula yang dilakukan di Rutan Cipinang pada senja ini. Gelap dan temaram lamat-lamat diusir hadirnya cahaya-cahaya lilin umat yang dinyalakan dari Lilin Paskah diiringi tiga kali seruan “Cahaya Kristus” dan dipuncaki oleh Exultet, atau Pujian Paskah yang dilantunkan dengan anggun oleh Uskup Agung Jakarta. Cuaca dan alam melalui mendung, hujan dan petir yang terus menggelegar di awal Ekaristi turut membantu umat merasakan dan menghayati peralihan “gelap” menjadi “terang” di Malam Paskah, meski Perayaan Ekaristi dimulai pada pkl. 1500 WIB
Di awal homilinya, seraya mengucapkan Selamat Paskah, Mgr. Ignatius Suharyo juga mengundang semua yang hadir untuk menghayati Kebangkitan Kristus yang dirayakan dalam Paskah ini sebagai kebangkitan kita masing-masing. Mgr. Ignatius Suharyo juga menyampaikan kegembiraannya dapat merayakan Malam Paskah di Rutan Cipinang, bukan di Katedral Jakarta. Kehadirannya, bersama umat yang lain, menurut beliau menjadi bentuk belarasa kepada para saudara yang sedang menjalani masa tahanan di Rutan Cipinang. “Kita bersama hadir untuk merasakan beban keluarga yang ditinggalkan, untuk saling menguatkan dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik”, tambah beliau. Mgr. Ignatius Suharyo juga mengapresiasi panitia yang mempersiapkan perayaan Malam Paskah dengan rapi nan apik.
Paskah, menurut Mgr. Ignatius Suharyo, seyogyanya punya makna rohani yang mendalam bagi umat Katolik, bukan selebrasi semata. Untuk menghayati makna rohani yang mendalam, beliau mengajukan opsi kepada umat untuk ikut terlibat menjadi “pemain” dalam bacaan-bacaan yang direnungkan pada Ekaristi Malam Paskah, seperti Kisah Penciptaan, Kisah Eksodus Bangsa Israel dari Mesir dan menyeberangi Laut Merah, serta penantian anugerah hati baru yang menjadi hakikat Paskah sebagaimana diwartakan Nabi Yehezkiel. “Mari terlibat dalam bacaan dan refleksi Paskah, jangan jadi ‘penonton’ saja”, ajak beliau.
Di akhir homilinya, Mgr. Ignatius Suharyo menawarkan keteladanan figur Beata Maria Theresia dari Salib, yang bernama asli Edith Stein, seorang Jerman keturunan Yahudi yang menjadi “Manusia Paskah”. Edith Stein kecil mengalami penderitaan hidup yang demikian berat, sehingga ia di usia 14 tahun menulis dalam buku hariannya “Saya tidak percaya lagi pada Allah. Saya tidak mau berdoa lagi”, padahal ia dilahirkan dari keluarga saleh.
Waktu pun berlalu. Ketika dewasa dan menjadi ahli filsafat, Edith Stein melayat seorang rekannya yang baru saja ditinggal wafat suaminya. Pada peristiwa ini, Edith Stein merasakan suasana yang begitu mengherankan bagi dirinya, bahkan ia kemudian membubuhkan catatan penting pada buku hariannya demikian, “Saya melihat ketabahan ilahi pada dirinya…” Personalisasi ketabahan ilahi yang dilihat Edith Stein itu kemudian mendorongnya untuk berdoa lagi, lalu dibaptis menjadi Katolik, kemudian masuk biara kontemplatif.
Pada masa Perang Dunia II, Edith Stein yang telah menjadi seorang biarawti diungsikan bersama para biarawati ke Belanda. Tetapi, ketika pasukan Jerman menguasai Belanda, ia, yang adalah seorang Yahudi ditangkap dan kemudian dimasukkan ke dalam kamp penyiksaan. Dalam kamp penyiksaan, dan melihat demikian kejamnya penyiksaan kepada orang-orang Yahudi, Edith Stein kembali menulis kesaksian penting pada buku hariannya, “Saya melihat Kristus pada mereka yang menderita, dan karenanya saya mempersembahkan diri saya bagi mereka”.
Demikianlah, Beata Maria Theresia dari Salib telah menjadi Manusia Paskah, sosok yang mengalami Paskah sehingga mampu menanggung derita dan salib hidup dalam peziarahan. Ia yang tidak bersalah harus menanggung derita, tetapi ia memiliki kekuatan menghadapi penderitaannya karena telah mengalami Paskah. “Kekejaman memang tetap ada, demikian pula ketidakadilan, tetapi ketika seseorang Kristiani mengalami Paskah, maka ia akan dapat menanggung penderitaan dan salib hidupnya. Manusia Paskah akan mampu menjalani peziarahan imannya, dan saling meneguhkan dalam peziarahan hidup”, tutup Mgr. Ignatius Suharyo.
Willem L. Turpijn