Jeans dan Mantilla

Perempuan muda itu masih mengenakan blus sederhana dan celana jeans ke misa, namun beberapa minggu terakhir ini ada yang berbeda. Ia juga mengenakan mantilla, kerudung misa dari bahan renda. Begitu mendapat tempat duduk di dalam gereja, ia memakai mantilla-nya.

Di gereja itu, hanya dia seoranglah yang mengenakan mantilla. Beberapa orang memandang ke arahnya. Gerak liturginya tak bercela. Dengan mantilla, perempuan itu tampak makin khusyuk dalam doa. Apakah penampilan diri kita saat misa akan memberikan pengaruh, atau perbedaan tertentu, bagi diri kita maupun orang lain? Adakah makna tersendiri di balik pakaian yang kita kenakan, atau gerak liturgis yang kita lakukan?

Allah dalam Badan dan Alam Kita
Sebagian dari kita mungkin suka menonton pertunjukan seni, apakah itu tari-tarian, teater, atau pertunjukan musik. Kita seringkali memberikan penilaian seperti ‘penghayatan yang mendalam’, ‘permainan yang total’, ‘ekspresi yang hidup’ dan sejenisnya, terhadap para penampil.

Terhadap penilaian semacam itu, psikolog M.A.W. Brouwer mengembangkan gagasan tentang ‘badan’ dan ‘alam’.  Agar dapat menari dengan baik, seorang penari perlu menyituasikan badannya sesuai dengan ‘alam’ tariannya. Begitu pula halnya dengan pemain teater dan pemain musik. Jika pikiran si penari dipenuhi hal selain tariannya, misalnya peristiwa kecelakaan lalu lintas yang dilihatnya dalam perjalanan ke gedung seni, bisa jadi ia tak mampu menari dengan baik karena gagal memasuki ‘alam’ tariannya. Seorang perangkai bunga yang kekasihnya baru saja wafat dapat menghasilkan perubahan gaya rangkaian; jarak antarbunga menjadi sangat rapat sebagai ekspresi duka, kehilangan, dan menutup diri.

Keterkaitan antara ‘badan’ dan ‘alam’ ini pun kita alami saat misa. Ada tata gerak yang perlu dilakukan seperti berlutut, membuat tanda salib, bahkan duduk. Tata gerak, jika tak dipahami maknanya, akan tinggal sebagai aturan semata. Kita pun melakukannya hanya karena ‘seharusnya begitu’, mungkin malah sekadar ikut-ikutan atau latah saja. Demikian pula busana yang kita kenakan. Busana casual, busana resmi, busana santai, dapat menyituasikan alam tertentu. Itulah alasan di balik pemilihan kostum teater atau penari.

Menghadiri Perayaan Ekaristi adalah menciptakan suatu ‘alam’ bersama Allah. Allah sendirilah yang mengundang kita untuk mengikuti perjamuan-Nya. Memasuki ‘alam’ bersama Allah, berarti menyituasikan ‘badan’ agar selaras dengan ‘alam’ itu. Karena itulah, setiap gerakan dalam Perayaan Ekaristi mempunyai makna. Berlutut menandakan kerendahan hati. Duduk mengekpresikan kesediaan untuk mendengar dan merenungkan sabda Tuhan. Membungkukkan badan adalah tanda penghormatan yang dalam. Pakaian sederhana mengungkapkan kerendahan hati di hadapan Allah. Mantilla mengekspresikan kepatuhan terhadap kehendak Allah.

Apapun gerak tubuh kita, atau pakaian yang kita kenakan dalam Perayaan Ekaristi, sejatinya mengarahkan seluruh diri kepada Allah. Kita berlutut, tapi apakah dengan kerendahan hati? Kita duduk, namun apakah siap dan bersedia mendangarkan sabda Allah? Kita membungkuk, apakah karena sungguh menghormati Allah? Kita berpakain, apakah untuk dengan sadar menampilkan diri di hadapan Allah? Disposisi batin-lah, yang membuat orang kendati tak paham Tata Perayaan Ekaristi atau aturan liturgi, dapat menampilkan dirinya secara teologis. Badan menjadi ungkapan cinta kepada Allah.

Seolah penari, dalam sepekan, kita diajak untuk selama satu setengah jam ‘menari’ di hadapan Allah. Inilah kesempatan yang paling intim antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya. Apakah kita sungguh mau menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya? (Helena D. Justicia)

Foto: http://holysmack.com/2014/08/21/how-women-in-veils-inspire-males-like-me/

Post Author: admin5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *