Mensyukuri Indonesia

Alkisah, 75.000 tahun yang silam, terjadi ledakan gunung api besar di bumi. Ledakan itu mengawali zaman es yang terakhir. Lima puluh ribu tahun sesudahnya, kembali terjadi ledakan gunung berapi, yang menghancurkan segalanya. Suku Indian Washo telah meramalkan bencana kedua itu: Sebuah gempa bumi mahadahsyat yang menyebabkan gunung-gunung membara. Lidah-lidah api menjulur ke angkasa. Bintang-gemintang berjatuhan bagai batu meleleh. Banjir mendera, dan manusia-manusia mencoba menyelamatkan diri dengan membangun menara yang tinggi.

Diyakini, surga yang ada di bumi pun turut hancur bersama bencana itu. Plato, seorang filsuf, menggambarkan surga yang hilang itu berada di daerah tropis: berlimpah sumber daya alam seperti timah, tembaga, seng, emas, perak, beraneka buah-buahan, padi, rempah-rempah, gajah raksasa, hutan dengan beragam jenis pohon, sungai, danau, dan saluran irigasi.

Melalui berbagai penelitian di masa kini, seorang profesor dari Brasil, Prof. Arysio Santos, mendapati temuan yang mengejutkan: Indonesia adalah surga yang hilang itu.

Indonesia sebagai Surga yang Hilang

Kisah mengenai bencana alam, surga yang hilang dan kemudian ditemukan kembali itu dikemukakan oleh Prof. Santos dalam bukunya yang berjudul Atlantis, The Lost Continent Finally Found. Terlepas dari temuan yang kontroversial itu, anggapan bahwa Indonesia adalah sebuah surga yang hilang tak pelak membuat kita terpekur.

Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri dari 17.850 pulau dengan luas keseluruhan mencapai 2 juta kilometer persegi. Kondisi geografis pulau-pulau itu juga beraneka ragam. Kondisi geografis meliputi iklim, jenis tanah, tata air, serta keragaman tumbuhan maupun hewannya. Ada daerah yang berupa dataran, rawa-rawa atau penuh aliran sungai. Karena itulah, ada daerah yang berkembang menjadi lahan pertanian, sumber bahan tambang, atauladang dan perkebunan.

Pulau-pulau di Indonesia itu dihuni oleh sekitar 300 suku bangsa, yang mempunyai bahasa, adat istiadat, agama, kepercayaan dan teknologi yang berbeda. Suku-suku bangsa itu juga terdiri dari sejumlah ras yang berbeda. Papua Melanesoid yang tinggal di Papua, berciri fisik rambut keriting, bibir tebal dan kulit hitam. Ras Mongoloid tinggal di sebagian besar wilayah Indonesia, berciri fisik rambut ikal atau lurus, muka agak bulat, kulit berwarna putih hingga sawo matang. Ras Weddoid berjumlah sedikit seperti orang Kubu, Sakai, Mentawai, Enggano dan Tomuna, berciri fisik rambut berombak, perawakan kecil, dan kulit sawo matang.

Berbagai keanekaragaman yang dimiliki oleh Indonesia itu, memudahkan anggapan bahwa Indonesia memanglah sebuah surga. Dengan berbagai kekayaan alam dan sumber daya manusia, di atas kertas, Indonesia seharusnya menjadi sebuah bangsa dan negara yang besar. Realitasnya, apakah demikian?

Indonesia dan Sejarah yang Berdarah

Kendati dibuai oleh kekayaan alam dan sumber daya manusia, tak dapat dipungkiri bahwa di sisi lain, sejarah Indonesia diwarnai oleh pertikaian, perang, perebutan kekuasaan, bahkan pembunuhan besar-besaran. Sejarah membuktikan dua sisi mata uang yang dimiliki oleh keanekaragaman.

Tak hanya ketika Indonesia masih merupakan kerajaan-kerajaan, bahkan hingga saat ini riwayat konflik dan kekerasan masih terus ditorehkan. Konflik dan kekerasan bahkan mewujud bentuk-bentuk baru seperti perusakan lingkungan demi kepentingan bisnis (pembabatan hutan, pembukaan lahan sawit, kerja sama pertambangan yang tidak adil, pengusiran suku-suku asli, perdagangan satwa langka), perdagangan manusia (human trafficking), kekerasan dalam rumah tangga akibat beban hidup yang berat, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, tindak kriminalitas, produksi makanan yang membahayakan, dan aneka kejahatan lainnya.

Media-media massa mengungkapkan bahwa para pemimpin di pusat maupun daerah, yang diharapkan dapat membawa rakyat kepada kesejahteraan bersama dan keadaban publik, satu per satu masuk penjara. Kita seolah tak lagi berdaya untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik, kini maupun untuk masa yang akan datang. Di titik ini, Indonesia terasa sebagai surga yang benar-benar hilang; tidak ada lagi kehidupan sebagaimana surga yang (dalam bayangan kita) sejahtera dan membahagiakan. Malahan, bisa jadi Indonesia lebih terasa seperti ‘neraka’ alih-alih surga.

Panggilan untuk Mewujudkan ‘Surga Indonesia’

Sebelum Yesus lahir, tanah Palestina pun serasa ‘neraka’. Rakyat hidup sebagai jajahan Romawi dengan berbagai aturan yang memberatkan seperti pajak dan pemisahan kelompok-kelompok masyarakat. Kondisi diperberat dengan aturan-aturan tambahan yang dibuat oleh para ahli agama. Banyak orang dijauhi dan diasingkan hanya karena dianggap dikutuk oleh Tuhan. Tak heran jika rakyat saat itu sangat mendambakan datangnya Mesias, Sang Juru Selamat, yang akan membebaskan mereka dari penderitaan. Apakah kita saat ini pun merasakan penderitaan yang sama, dan merindukan pembebasan?

Sebagai orang beriman Katolik, kita percaya pada Allah penguasa alam semesta, Yesus Sang Mesias yang menunjukkan arah hidup, dan Roh Kudus yang dicurahkan untuk membimbing manusia dalam peziarahan hidupnya. Sesungguhnya, sejak manusia diciptakan, kerinduan akan Allah telah ditanamkan dalam-dalam di hatinya (Katekismus Gereja Katolik/KGK, 27). Karena itulah, pada kesejatiannya yang paling dalam, manusia senantiasa mencari Allah dengan menggunakan terang akal budinya.

Terang akal budi itulah yang menjadi suram ketika dosa mengotori manusia. Kita mengenal tujuh dosa pokok: kesombongan, iri hati, hawa nafsu, kemarahan, keserakahan, kecemburuan, dan kemalasan (KGK, 1866-1867). Yesus sendiri berkata kepada kita, “Kamu adalah garam dunia. Tetapi jika garam telah kehilangan rasanya, bagaimana ia dapat menjadi asin lagi? Ia tidak berguna lagi, dan akan dibuang serta diinjak-injak orang,” (lih. Matius 5:13).

Menjadi garam yang tak asin lagi, itulah gambaran kita yang tak lagi mau bekerja sama dengan Allah untuk mengembalikan Indonesia menjadi surga. Surga, dalam pengertian iman, dapat dikatakan Kerajaan Allah. Mengembalikan Indonesia menjadi surga berarti memperjuangkan agar situasi Kerajaan Allah sungguh dirasakan. Situasi Kerajaan Allah itu mewujud dalam hubungan-hubungan yang benar antara Allah dan manusia, antara manusia dan manusia, serta antara manusia dan seluruh ciptaan.

Paus Fransiskus, melalui ensiklik Laudato Si yang dirilis pada Juni 2015, menyerukan hal yang sama. Sudah saatnya bagi kita semua untuk meneladani Santo Fransiskus Asisi, yang menganggap seluruh ciptaan Allah sebagai saudara. Dengan begitu, tak akan lagi terjadi eksploitasi manusia atas alam, juga atas manusia lainnya. Secara tajam Paus Fransiskus mengingatkan, bahwa seringkali yang menjadi korban dari kejahatan manusia adalah mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel; orang-orang yang menjadi buah hati Gereja dan yang kepada mereka Sabda Bahagia Yesus menyapa.

Panggilan kita adalah memulihkan Indonesia, mengembalikannya kepada martabat ciptaan Allah yang mulia. Jikalau garam tak lagi asin, dengan cara apakah garam itu diasinkan? Bagaimana jika garam dikembalikan ke asalnya semula, yakni lautan? Ia akan melebur dan dibentuk kembali. Kita pun diajak kembali ke ‘lautan’ cinta Allah yang tak terbatas. Hanya dengan menimba cinta dari sumbernya yang sejati, kita dapat dipulihkan lagi.

Apabila garam yang tawar itu telah diasinkan, tugasnya adalah memberikan rasa bagi apapun yang disentuhnya. Kita diajak untuk memberikan ‘rasa’ kehadiran kita bagi Indonesia, di manapun kita berada. Garam di dalam masakan senantiasa melebur, maka kita diajak untuk melebur di dalam interaksi dan aktivitas sehari-hari. Tak perlu tampak, tak perlu menonjol; bukankah kita bekerja untuk Allah yang tersembunyi? Kehadiran kita, kendati tak menonjol, diharapkan mampu memberikan ‘rasa’ tersendiri.

Mari kita tanggapi ajakan itu. Mensyukuri Indonesia, khususnya di ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70 tahun pada 2015 ini, ditandai dengan kepedulian pada perjalanan bangsa dan negara kita. Kita sungguh mau menyatukan diri dengan gerakan itu. Semoga Tuhan memberkati. (Helena D. Justicia, dimuat di Warta Andreas edisi Juli-Agustus 2015)

Foto: http://aksimagazine-m2m.blogspot.com/2015/02/lomba-pasus-at-sman-9.html

Post Author: admin5

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *