Ketika Hidup Makin Jauh dari Pelajaran Sekolah
(Sebuah Catatan tentang Hari Doa Sedunia untuk Kepedulian pada Ciptaan)
Saat kita duduk di bangku Sekolah Dasar, buku-buku pelajaran penuh dengan ajaran tentang kebijakan hidup. Apakah ranahnya ilmu pengetahuan alam (IPA), pengetahuan sosial (IPS), ataupun agama, ada kearifan yang dititipkan di sana.
Dalam IPA kita belajar tentang pengelolaan lingkungan hidup secara bijak; bahwa hutan tak boleh ditebangi karena akan mengakibatkan tanah longsor, bahwa sungai tak boleh dicemari oleh sampah, dan banyak lagi lainnya. Dalam IPS kita belajar tentang nilai, norma, etika hidup bermasyarakat. Melalui pelajaran agama kita belajar tentang kehendak Allah dan keselamatan manusia.
Jika semua materi pelajaran itu sungguh diserap ke dalam diri si pembelajar, mengapa realitas bumi kita saat ini justru sangat memprihatinkan karena kerusakan lingkungan hidup, korupsi, kekerasan dan intoleransi?
Pada Mulanya adalah Ketidakadilan
Injil Yohanes dibuka dengan kalimat: pada mulanya adalah Sabda. Sabda itu adalah Allah (lih. Yoh 1:1). Injil Yohanes itu mengamini Kitab Kejadian tentang penciptaan dunia dan isinya: Allah menjadikan kesemuanya itu baik adanya (lih. Kej 1:31). Kedua kitab itu mengantar kita ke masa sekarang, menggoreskan pertanyaan: masihkah bumi ini sebaik saat ia diciptakan?
Jawabannya tentu saja tidak, sebab kita telah mengetahui bahkan mengalami sendiri, aneka peristiwa yang menegaskan bahwa bumi ini berjalan di luar jalur yang dikehendaki oleh sang pencipta. Bumi tak lagi baik adanya, namun ‘rusak adanya’. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi penolong bagi satu dan yang lainnya. Kini, manusia dengan martabat mulia citra Allah menjadi komoditas dalam rupa budak, pekerja informal yang tak punya perlindungan hukum, atau korban human trafficking. Manusia yang diserahi tanggung jawab atas bumi, bukannya merawat malahan mengeksloitasi, memaksa bumi untuk memberikan respon berupa bencana: global warming, tanah longsor, banjir dan sebagainya.
Ketika sesama ciptaan tak lagi setara namun saling mengekploitasi, terjadilah ketidakadilan. Menurut Komisi Internasional untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (2001), keadilan mencakup sejumlah aspek: (a) keseimbangan hak-hak/hubungan-hubungan, (b) kebutuhan, hak dan kewajiban setiap orang dalam masyarakat, (c) keutamaan watak manusia, (d) hubungan yang konstruktif dan membebaskan, serta (d) cara Allah berada dan bertindak. Mengupayakan keadilan, berarti mengupayakan kesemua aspek itu terwujud dalam hidup keseharian.
Pertobatan
Mulai 1 September 2015, Paus Fransiskus menetapkan tanggal itu sebagai Hari Doa Sedunia untuk Kepedulian pada Ciptaan. Kita dipanggil untuk kembali jadi pembelajar. Kita diajak untuk merawat bumi dan menghargai martabat seluruh ciptaan. Setelah hari itu, apakah bumi akan menjadi lebih baik? Kita lihat saja, apakah kita sendiri terlebih dulu mampu bertobat dan memperbaiki diri. (Helena D. Justicia)