BERSYUKUR ATAS SEGALA BERKAT TUHAN

Catatan pengalaman hidup dan Iman di desa Taizé, Burgundy Prancis sebagai volunteer

16 Juni 2016 – 14 september 2016.
Sebagai suatu kegiatan tahunan atas kerjasama KWI dan komunitas Taizé, pada musim panas (antara bulan juni sampai akhir agustus) dikirim 2 perwakilan anak muda Katolik Indonesia melalui KWI. Tahun 2016 ini, kesempatan besar itu datang kepada saya. Dimulai ketika seorang pendamping OMK tingkat paroki membagikan pengumuman dan tanpa pikir panjang saya langsung menawarkan diri sebagai calon peserta. Pada masa penantian pengumuman peserta selalu terselip dalam setiap doa agar kesempatan menjadi volunteer di Taizé dapat terwujud.
Akhirnya mimpi sewaktu kuliah dapat terwujud, segala persiapan dapat dilakukan tanpa menemui kendala yang berarti. Dengan dipenuhi tanda tanya yang memenuhi kepala, pada tanggal 16 juni 2016 saya dan seorang volunteer dari keuskupan Pontianak (bernama Agus) berangkat dari Bandara Soetta menuju bandara Saint-Exupéry aéroport Lyon. Selama perjalanan kurang lebih 14 jam tersebut, untuk mengisi waktu luang, saya menikmati entertaiment system dengan menonton film. Film yang saya tonton adalah The Martian dan The Revenant. Kedua film tersebut memiliki cerita yang hampir sama yakni bagaimana seseorang bertahan hidup sendiri di lingkungan yang baru untuk beberapa waktu, sama halnya dengan apa yang akan saya jalani, hidup di negara lain untuk waktu yang tidak sebentar. Ditambah data dan info dari volunteer sebelumnya yang saya rasa masih kurang sehingga pikiran saya dipenuhi tanda tanya. Dari film yang saya lihat juga saya anggap bahwa Tuhan menguatkan saya untuk tetap yakin atas tugas yang diberikan kepada saya.

gambar11

Gambar 1. Saint-Exupéry aéroport Lyon

 

 

Keesokan harinya tanggal 17 Juni 2016, kami tiba di prancis. Kami dijemput oleh seorang permanent (sebutan bagi voluntir yang tinggal lebih dari 1 bulan, maka otomatis kami juga disebut permanent). Di waktu yang bersamaan kami juga bertemu 2 permanent baru asal Republik Dominika. Dengan kemapuan bahasa yang terbatas, ditambah mereka tidak mampu berbahasa inggris akhirnya kami mengetahui nama mereka yakni Daniel dan Randy. Penjemput kami (yang bernama Marick dan dia sudah masuk komunitas bruder pertengahan Juli 2016) akhirnya menjadi penerjemah kami karena dia mampu berbahasa inggris dan spanyol dengan baik.
Setelah kami tiba di Taizé, saya dan Agus tinggal di tempat berbeda. Agus tinggal di tempat khusus untuk permanent perempuan bernama N’Toumi yang terletak di utara gereja Rekonsiliasi dan saya tinggal di sebelah timur di bangunan yang bernama Tilleul. Di bangunan tersebut, saya dan sekitar kurang lebih 30 permanent laki-laki lain yang berasal dari berbagai negara tinggal disana. Sebagai permanent kami diminta untuk menjalani semua kegiatan yang diberikan kepada kami, dan kami juga memiliki satu bruder kontak yang berperan sebagai pendamping kami baik spiritual maupun hal pribadi kami.

gambar33

Gambar 2. Kamar tidur di Tilleul

 

 

Datang sebagai permanent baru cukup sulit untuk beradaptasi karena kendala bahasa dan budaya. Namun hal tersebut dipermudah dengan teman-teman yang membantu ditiap tugas dan kesulitan, ragam permainan juga menjadi sarana untuk saling mengenal dan makanan khas yang dibawa seperti mie instan dan makanan ringan yang menambah hangatnya suasana ketika berkumpul di waktu senggang. Dari pengalaman tersebut saya menyadari bahwa Tuhan tidak meninggalkan saya dan menemani saya melalui perantaraan teman-teman baru yang mau menolong saya melewati hari-hari, dan disaat itu saya bersyukur atas berkat Tuhan melalui teman-teman yang hadir disetiap kesempatan di Taizé.

4455

Gambar 3, 4 . Bersama teman-teman dalam berbagai kesempatan

Permanent
Menjadi volunteer untuk waktu yang lama, secara tidak langsung kami yang tinggal di Taizé mendapat panggilan (atau gelar) permanent, permanent tinggal di tempat yang dekat dengan komunitas (Bruderan). Dilihat dari durasi tinggal, tempat tinggal permanent laki-laki juga terpisah. Tilleul tempat untuk permanen yang tinggal selama kurang lebih 3 bulan dan Petite Morada untuk mereka yang tinggal lebih dari 3 bulan atau ingin membaktikan dirinya kepada komunitas bruder sebelum menjadi Bruder. Selain berdoa 3x sehari, seorang permanent juga memiliki daily activities yang memungkinkan Taizé untuk menyambut ribuan anak muda untuk berziarah dari seluruh dunia setiap tahunnya.

77Gambar 5. Jadwal harian permanent dan daftar daily activities

 

 

Setiap sabtu, seorang permanent mendapatkan selembar kertas kecil berisi tugas untuk satu minggu kedepan (senin sampai sabtu) dan hari minggu. Terkadang setiap permanent mendapatkan tugas yang sama untuk 2 minggu berturut-turut. Banyak jenis tugas/pekerjaan yang ada di Taizé seperti membersihkan dan mencuci, memperbaiki dan meletakan ke tempat sebelumnya dan juga mengatur dan bertanggung jawab atas tempat tinggal seperti Tilleul dan petite Modara. Selama 87 hari tinggal sebagai permanent, sayapun diberi beberapa tugas.
Minggu pertama saya menjadi permanent, tugas yang saya miliki adalah kerja di Gereja dan Bible Introduction. Setiap permanent baru diharuskan mengikuti belajar Alkitab tersebut dengan orang-orang yang tinggal di Taizé selama seminggu (orang biasa menyebutnya Field People). Sebagai orang yang jarang mengikuti sharing Alkitab, saya menemui kesulitan ketika mengikuti kegiatan tersebut, hal tersebut dipersulit dengan penggunaan bahasa inggris saya yang masih terbatas, namun sesekali saya mencoba untuk berbicara ketimbang menjadi pendengar. Ditengah kesulitan tersebut, saya mencoba mengambil hal positif dengan tetap mencoba bersyukur atas karunia Tuhan boleh mendalami sabda Tuhan melalui pembelajaran Alkitab tersebut, bersyukur Tuhan masih mengingatkan saya untuk mau membuka alkitab.

foto9

Gambar 6. Tempat para Bruder di Gereja Rekonsiliasi

 

Selain Bible Introduction tugas yang diberikan kepada saya di perziarahan ini adalah kerja di Gereja. Kerja di Gereja merupakan favorit bagi hampir semua permanent karena tidak terlalu berat dan dapat dekat dengan Tuhan (bukan berarti pekerjaan lain jauh dari Tuhan). Tugas di Gereja meliputi membersihkan area dalam Gereja, mengganti lilin yang hampir habis, menyusun lembaran doa dan bacaan, menyusun buku lagu dan menyusun bangku di tempat Bruder (Istilah sederhananya, kami menjadi Koster Gereja). Untuk menyusun bangku doa para Bruder, kami, para permanent yang bekerja di Gereja, menggunakan peta khusus yang diberikan oleh bruder yang bertanggung jawab di Gereja.
Selain tugas mingguan, selama hampir seluruh masa tinggal saya di Taizé, saya juga diberi tanggung jawab untuk membawa dan mengatur permanent yang membawa blessed bread (setiap doa pagi, dibagikan hosti untuk semua peziarah, bagi mereka yang tidak menerima hosti, dapat mengambil roti yang sudah diberkati/Blessed bread di tempat yang sudah ditentukan). Dengan cara tersebut, komunitas Taizé juga menerima mereka yang tidak mengimani Tuhan tetapi mau mengenal Tuhan, bleesed bread dapat menjadi tanda kekeluargaan layaknya tamu yang datang dijamu oleh tuan rumah. Tugas tersebut menumbuhkan iman saya terutama rasa hormat dan solidaritas terhadap ajaran Kristen dari Denominasi lain. Selain tugas-tugas tersebut, beberapa permanent yang bekerja di gereja juga bertanggung jawab di beberapa sudut gereja, mereka bertugas untuk mengingatkan umat untuk tetap tenang dan bersikap hormat dan santun selama ibadat doa di dalam gereja.

Tugas saya selanjutnya bekerja di area Big Kitchen yang terdiri dari Economat, Distribution, big dan small washing up. Economat merupakan gudang bahan makanan untuk orang yang berziarah di Taizé. Tugasnya adalah mendistribusikan bahan makanan ke dapur untuk diolah dan mendistribusikan bahan makanan dari chiller utama untuk selanjutnya didistribusikan oleh tim distribution. Oleh tim distribution, makanan yang sudah di olah dibagikan kepada para peziarah pada waktu jam makan, setelah selesai, giliran tim dari small dan big washing up bertugas membersihkan alat makan dan alat masak. Alur tersebut telah berjalan bertahun-tahun dan tetap berlangsung sampai saat ini.

 

Ketika bekerja di tempat tersebut, makanan yang disediakan merupakan makanan yang sama dengan field people yakni makanan sederhana yang kurang cocok dengan lidah saya. Tetapi saya tetap bersyukur masih bisa makan pada saat itu mengingat banyak orang yang tidak bisa makan di belahan bumi lain termasuk di Indonesia, meskipun rasa menjadi hambatan untuk makan, tetapi mencoba bersyukur dapat mengisi energi untuk melakukan setiap aktivitas yang ada.
Masih terdapat beberapa tugas yang saya lakukan selama perziarahan saya di Taizé, seperti membersihkan toilet (Point 5), menjadi penanggung jawab listrik dan perbaikan-perbaikan seperti tenda, bangku dan lain-lain di Cadole, bercocok tanam di Solidarity Garden, menjaga keheningan pengunjung di Source Garden pembimbing anak-anak kecil dan remaja di animator for Olinda dan animator for 15-16 years old. Selain itu terdapat juga beberapa tugas dan kegiatan lain luar Taizé seperti Towards New Solidarity, Forum dan Reflexion.
Selain tugas yang diberikan untuk seminggu, ada juga tugas khusus seperti memimpin sharing yang di adakan di Tilleul setiap hari rabu. Biasanya sharing di pimpin oleh seorang Bruder atau menonton film koleksi Bruder, namun pada beberapa kesempatan, 2 orang permanen ditunjuk untuk memimpin sharing. Saya bersama Carlo dari Filipina mendapatkan kesempatan memimpin sharing. Kembali saya bersyukur dapat membagi cerita dengan teman-teman dari berbagai negara mengenai hidup sebagai minoritas di Indonesia. Rasa syukur kembali muncul ketika respon teman-teman merasa senang atas sharing yang kami pimpin.

foto7

 Indonesian Workshop dalam asian workshop
Selain beberapa tugas mingguan, terdapat juga workshop dari beberapa benua yang mengahurskan perwakilan dari negara-negara di benua tersebut mempresentasikan kebudayaan khas negaranya maupun permasalahan anak muda yang muncul di negara tersebut. Dari workshop tersebut, dapat terlihat berbagai macam kekayaan kebudayaan yang ada di dunia ini yang juga merupakan karunia Tuhan, yang sebagai anak muda, kita patut mensyukuri dan menghargainya.

Silence Week
Silence atau keheningan menjadi salah satu ciri dari komunitas Taizé. Bagi peziarah yang ingin memiliki waktu untuk memfokuskan diri mendengar suara Tuhan dalam keheningan, terdapat waktu untuk mereka lewati di sebuah rumah terpisah atau biasa di sebut le puits. Bagi para permanen, waktu silence di manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mendengar dan mensyukuri karya ciptaan Tuhan dengan aktivitas pribadi.
Selama melewati silence week, saya benar-benar merasakan karunia Tuhan melalui kejadian-kejadian yang terjadi. Waktu sendiri saya manfaatkan untuk berjalan keluar area desa Taizé dan mengunjungi gereja-gereja di desa sekitar Taizé. For Your Info, selama silence week, para permanent dibebaskan dari tugas mingguan dan digantikan dengan Bible Introduction di pagi hari, meeting dengan contact brother dan waktu untuk berziarah fisik dan batin dalam keheningan sepanjang hari, dengan tetap melaksanakan doa harian 3 kali sehari (pagi, siang dan malam).
Pengalaman di Taizé membawa saya kepada tahun 2008 ketika saya memilih Jurusan Bahasa Prancis sebagai tempat saya menghabiskan waktu mengenyam pendidikan tinggi. Ketika itu saya masih belum menemukan jawaban mengapa saya mengambil jurusan yang tidak setenar jurusan lain seperti ekonomi maupun bahasa asing lain seperti Inggris. Jawaban itu di jawab oleh Tuhan ketika saya melewati hari-hari di taizé untuk berkomunikasi dengan warga sekitar terutama saat silence week yang menuntut semua permanent untuk melewati ziarah batin dengan berjalan keluar sendirian. Keuntungan yang saya miliki di banding teman-teman permanent lain yang berasal dari luar Prancis. Keuntungan tersebut juga saya syukuri karena mampu membantu teman-teman yang hanya bisa berbahasa prancis untuk berkomunikasi dengan teman-teman yang lain.
Dengan bermodalkan foto dari peta yang di buat oleh permanent terdahulu, Hari pertama saya mengunjungi gereja Massily yang berjarak sekitar 45 menit berjalan kaki dan menikmati keindahan alam Burgogne.
Hari ke 2 saya berjalan kaki cukup jauh hingga ke daerah bernama Malay. Perjalanan ke Malay memiliki banyak pengalaman yang membekas, dimulai dengan bible introduction di pagi hari setelah sarapan yang membahas tentang alam dan sekitarnya, dari kegiatan tersebut saya di motivasi untuk berjalan lebih jauh menikmati karya ciptaan Tuhan terutama bangunan gereja di Prancis. Perjalanan saya mulai siang hari setelah pertemuan dengan bruder kontak, cuaca panas tidak menyurutkan langkah saya menjelajahi desa-desa di sekitar Taizé. Di mulai dari desa Chazelle lalu ke Cormatin. Saya jadikan gereja di desa tersebut sebagai tempat istirahat karena sejuknya bangunan gereja dapat menyegarkan badan dari teriknya matahari. Setelah berdoa dan beristirahat, saya melanjutkan perjalanan ke Malay. Beberapa teman permanent yang sudah melewati silence week sebelum saya mengatakan bahwa Malay dan Cortembert merupakan tempat yang lumayan jauh untuk dikunjungi dengan berjalan kaki. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah saya berjalan menuju Malay dari Cormatin.
Saat hampir tiba di gereja Malay, kejadian tak terduga saya alami, ternyata saya masuk halaman rumah orang yang tidak tertutup pagar. Ketika ada seorang ibu bertanya kepada saya barulah saya sadar ternyata saya salah jalan, dari kejadian tersebut saya bersyukur karena mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan ibu tersebut sehingga saya dapat melanjutkan perjalanan menuju gereja dan berdoa di sana. Setelah selesai, saya melanjutkan perjalanan kembali ke Taizé kurang lebih 75 menit perjalanan dari Malay melalui Voie Verte.
Hari ke 3 saya lewati lagi dengan berjalan kaki sendirian di prancis untuk mengunjungi gereja-gereja di luar Taizé. Kali ini Bray dan Cortambert menjadi destinasi saya. Jauh, kata pertama yang saya dapat simpulkan dari kedua tempat tersebut, ditambah cuaca musim panas di prancis yang membuat tenaga terkuras, terutama Cortambert sampai ketika pulang saya mencoba untuk menumpang kendaraan yang lewat hingga Massily (yang seharusnya tidak boleh dilakukan pada saat silence). Dari coba-coba tersebut akhirnya satu mobil mengijinkan saya untuk menumpang, pertama kalinya saya mencoba dan berhasil, pengalaman yang kembali saya syukuri dan saya yakini atas campur tangan Tuhan karena saya dapat berkomunikasi untuk menumpang sehingga saya bisa sampai le puits sebelum waktu makan malam.
Hari-hari selanjutnya saya gunakan untuk ziarah batin dalam keheningan di sekitar taizé, the source dan di le puits, hari terakhir saya gunakan untuk beristirahat dan berdoa di gereja Rekonsiliasi. Saat silence pun saya manfaatkan dengan membaca untuk mengisi waktu tanpa berbicara dengan teman-teman, terutama membaca kitab suci.

Selama 87 hari tinggal dan menjalani kehidupan di Taizé, banyak hal yang saya pelajari terutama tentang rasa syukur atas perbedaan dan persahabatan yang ada di Taizé yang kasih dan kehangatan dari teman-teman benar-benar saya rasakan. Suka dan duka mewarnai perjalanan hidup, namun ketika kita mencoba untuk terus bersyukur atas karunia Tuhan, bahkan sekecil apapun karunia tersebut, jangan pernah lupa untuk selalu bersyukur, karena dengan bersyukur, hidup akan lebih indah untuk dijalani dan dimaknai. Mencoba untuk terbuka terhadap segala kemungkinan yang ada dengan berpegang kepada Tuhan dan percaya bahwa segala hal yang terjadi pada diri kita merupakan karya penyelamatan Yesus yang sungguh menjadi hal yang baik untuk kita semua. Amin

foto11

Gambar 35. Foto bersama sebelum meninggalkan Taizé dengan permanent yang masih melanjutkan peziarahan.

Yohanes Dimas

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *