“Hahaha tobatnya berawal dari Toilet!!”. Demikian canda teman-teman di ruangan pertemuan ketika menanggapi kisah seorang teman tentang masa pertobatan yang kemarin dimulai.
Ceritanya, ada seorang teman pastor muda yang mulai agak bosan dengan kuliah model seminar (dosennya bicara tanpa henti setiap hari), dan ia juga kesulitan bahasa Italia. Pastor yang sedang belajar di Vatikan ini, akhirnya memutuskan kabur dari kuliah sore itu, demi menghirup udara segar di seputar Vatikan. Senja itu mulai ramai karena persis hari Rabu Abu dan jalan-jalan masih dipenuhi dengan hiasan sisa festival musik dan karnaval semalam. Oya, kebetulan tradisi di Roma yang kental kultur kekatolikannya, orang selalu berpesta menjelang Rabu Abu.
Kok ada pesta ? iya, singkatnya, merupakan pesta syukuran, dan mempersiapkan diri memasuki masa tobat melalui doa, penyesalan, pemberian sedekah, dan mengingkari diri. Karnaval biasanya diisi dengan pawai dan nyanyi-nyanyi, atau kembang api. Jika di Barcelona boneka raksasa diarak keliling kota diiringi kembang api, maka di beberapa kota di Italia, jalanan dipenuhi dengan anak-anak muda yang bertopeng sambil berpawai. Semua orang berlomba-lomba berdandan aneh di hari-hari pesta ini. Hiburan yang menarik jelang masa pertobatan :). Rasanya wajar jika orang yang sedang beraktifitas ingin segera kabur untuk menonton acara ini.
Sambil berjalan, sang pastor ini bergumul tentang model pertobatan apa yang harus dilakukan. Berhenti merokok? kurangi makan? stop shopping? pantang ke bioskop ?… rasanya semua hal telah dia lakukan. Pemberian diri menjadi pastor saja sudah … Eh, pergumulannya terhenti ketika dia melihat antrian panjang di samping kanan Basilika Santo Petrus. Tepat di depan toilet umum. Dia pun mampir kesana. Setelah selesai berurusan didalam, di hadapan pintu keluar dia berpapasan dengan seorang teman kuliahnya, yang juga sedang bolos kuliah. Bedanya, si pastor masih dalam berpakaian rapi ala anak sekolahan, sedangkan temannya ini sedang memegang sapu dan alat pembersih toilet. Mereka berdua saling melempar senyuman.
“Itu Kim? atau mirip?…mengapa dia bolos (seperti aku..haha)?, mengapa dia kerja di sini?”, pikirnya dalam hati sambil mengingat-ingat teman sekelasnya Kim, asal Korea, yang duduk persis di bangku depan.
“Kau pasti sedang memikirkan saya!! ..haha”, teriak Kim persis di depan wajah si pastor.
Lalu mereka berdua tertawa dan mengalirlah percakapan ini…
Pastor : “Kawan, apa yang kau lakukan di sini?”
Kim : “Seperti yang kau lihat, saya membersihkan toilet”
Pastor : “Tapi mengapa disini? kau bisa bersihkan di rumahmu saja”.
Kim : “iya benar, saya bersihkan hanya 2x seminggu disini. Ini wujud tobat saya, dan saya harap berguna. Kalau di rumah bisa kapan saja.
Pastor : “Tapi kawan, banyak orang mengenalmu, kamu tidak malu ?”
Kim : “Tidak apa-apa, yang mengenalku hanya kamu dan teman lain. Mereka tidak tahu saya siapa. Saya menikmati pekerjaan ini, minimal untuk satu bulan ini.
Pastor : “Tapi sampai kapan?”
Kim : “Sampai paskah saja, tapi kalau memungkinkan saya bisa datang setiap Sabtu. Saya senang melakukannya”
Pastor : “Wah, nekat sekali kau…pilihan tobat yang aneh…”
Lalu Kim mulai berkisah, masa prapaskahnya dulu selalu biasa-biasa saja. Kadang diisi dengan pantang makan nasi untuk seluruh penghuni rumah. Tapi, nasi kan makanan mewah di daerah dingin ini, keluhnya. Akhirnya dia memilih mengikuti aturan di rumahnya. Belum lagi pantang sambal, hal yang tak terpisahkan dari hidupnya. Saya juga melihat, pantang dan puasa yang dijalani, minimal yang saya jalani, seharusnya mencerminkan hubungan saya dengan Tuhan. Sebaliknya, sekarang menjadi konsumsi publik. Apa-apa dijadikan status di medsos. Si pastor hanya ketawa menanggapi cerita temannya ini sambil bergumam, “iya ya..saya juga pernah melakukannya”. Kim lalu melanjutkan, “oya, kemarin saya baca status anak teman saya di fesbuk. -rabu abu=hari ini mama kurangi masak karena papa pantang beri uang belanja lebih. mama senang karena bisa diet, kami menderita”. Beberapa orang disekitar kami pun ikut ketawa mendengar cerita Kim ini.
Kim lanjut berceritera, jadi bukan karena apa-apa. saya hanya ingin masa tobat saya bernilai lebih. Untukku dan Tuhanku. Yang saya bayangkan simpel, tobat itu sederhana kawan. Berbuat sesuatu untuk Tuhan dan orang lain dalam diam, dan jika boleh bersifat tetap dan terus-menerus. Apa artinya tobat kita kalau hanya berlangsung 40 hari? kayaknya mesti berdampak dalam hidup kita seterusnya. Wah, benar juga pemikirannya. Tobat itu tidak perlu panggung medsos, selfie dengan abu di jidat, atau berubah 180 derajat dengan berbicara tentang ayat-ayat suci. Iya kan kawan ?.. tobat itu bertindak, dan kalau bisa bagi banyak orang.
Pastor : “But why on this way?. di toilet lagi?”
Kim mulai diam sejenak. “Toilet itu seperti kita. Awalnya bersih ketika dibangun, dan akhirnya kotor karena terus digunakan. Tetapi jika tidak kita merawatnya maka akan tetap kotor dan dihindari. Jiwa kita pun harus dipelihara dan dibersihkan setiap saat, dan mungkin kita perlu bantuan orang lain untuk membantu kita dalam proses ini”.
“Iya..dimulai dari toilet ini. Kawan ini toilet umum, siapa saja datang ke sini dengan harapan permasalahan perut terselesaikan. tuntutan mereka kadang berlebihan: mau toilet yang bersih, nyaman, udara segar. Terkadang mereka acuh dan membuang sampah sembarangan. Mereka lupa bahwa ada manusia yang terabaikan yang setiap hari dengan tangan, mengurus sampah mereka.
Saya mau menjadi bagian dari mereka ini, dan setidak-tidaknya sudah 3 tahun saya membersihkan toilet umum di sini, dan … – dan baru kali ini orang mengenal saya, yaitu kau, pastor!. haha.”. “Oya?? sudah tiga tahun ???…”, tanggap si pastor tidak percaya. “Ya, benar”, jawabnya tenang. Kisah kami terputus karena beberapa petugas kebersihan mulai datang untuk mengontrol ruang-ruang toilet.
Petugas : Suster, maaf saya mengganggu. cukup acara ceritanya ya. Nanti bisa disambung lagi. Tolong bersihkan Toilet No. 1 dan 3 ya…?. Terima kasih.
Kim : ya, tentu saja.
Giliran si pastor yang tertegun.
Umat yang antri mulai memandang ke arah Kim. ada beberapa yang berbisik. “Wah,…dia seorang suster ….!”.
Pastor : “Kau luar biasa kawan, ci vediamo domani! (sampai jumpa besok ya)”.
Kim : “Sip kawan. Oya, jangan bilang teman-teman ya. Ciao!!!”
Sang Pastor memutuskan melanjutkan perjalanan ke biaranya. Dia bersyukur ada udara segar yang memenuhi rongga dada-nya, dan tentu kisah prapaskah Sr. Kim.
Ah, Kim…hal inspiratif bukan saja ada di meja diskusi. Tapi bisa berawal dari sebuah kloset yang kotor. Sama seperti hidup bernilai lebih ketika kita mampu mensyukuri segala hal, termasuk yang terburuk sekalipun.
Tetap semangat dalam hidupmu, terima kasih telah berbagi hidup bagi orang lain.
Martin Selitubun, Pr