Memahami dan Berkarya Positif di Ranah Media Sosial

 

medan03Ruang kerja Komisi Komunikasi Sosial – Keuskupan Agung Medan, pada Sabtu (7/10/2017) pagi, yang hening dan dingin berkat mesin pengatur hawa, diusik oleh ketukan nan pelan. Satu suara halus: “Shalom!” menyusul kemudian.

Aku beranjak dari meja rapat Redaksi Menjemaat, melongok si empunya suara. “Astaga! Inikah orangnya?” Begitu lah rasa gusar dan gemas berkelindan di otakku.

“Mmm…. mbak Dite ya?”

“Iya, mas. Kok mukanya kaget gitu?” cetus si mahluk mungil ini. Ya, amat kontras dari foto parasnya saat memperkenalkan diri dalam grup aplikasi bincang daring, Whatsapp, dengan pipi yang tambun dan leher kokoh. Faktanya, di hadapanku dia seperti warga liliput dalam kisah negeri dongeng. Aku berani bertaruh, dia bahkan bisa menyelinap masuk ke dalam tas ransel kerjaku.

Sejak ditambahkan sebagai salah satu penghuni panitia persiapan ‘Forum Dialog dan Literasi Media 2017 untuk Keuskupan Agung Medan’, Dite memperkenalkan diri sebagai fasilitator terlaksananya kegiatan yang digalang dari kerjasama Kementerian Kominfo RI dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Dalam pengakuannya, dia juga menambahkan jati diri berasal dari Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Jakarta.

“Nah, kebetulan ini. Saya mau tanya kenapa dari FMKI Sumut ndak ada mengirim utusan dalam kegiatan ini, mbak Dite?” tanyaku sembari melirik jam dinding. Mewakili rasa gemas atas salah satu persoalan yang belum jua tuntas sebelum acara mulai — yakni mengenai ‘peserta’. Sementara waktu menuju pelaksanaan acara hanya tersisa tiga jam saja.

“Iya. Dalam chat dengan Romo Alex, katanya usia yang di Medan sudah di atas 40 tahun. Melewati batas syarat dari penyelenggara, mas. Padahal di Jakarta, banyak yang culun-culun seperti saya,” katanya sembari cekikikan.

“Wah. Di Medan, (suhu nya) panas ya. Pantesan orang-orangnya suka marah-marah,” Dite kembali berucap dengan enteng.

Aku melirik dia dengan senewen. Kewarasan panitia pelaksana di Medan telah diuji selama persiapan acara ini, tetapi gadis alumnus Universitas Brawijaya ini terlihat sangat tenang. Aku menduga, dia lebih banyak belajar ilmu meditasi daripada politik yang menjadi jurusan kuliahnya.

Setelah membahas beberapa pokok kebutuhan acara, kami lalu menuju Aula Hall B – Catholic Center KAM, guna menemui Ketua Komisi Kepemudaan KAM, RP. Alexander Silaen OFM Cap dan staf pegawainya, Novenita Marpaung.

Kami telah telat 10 menit lebih. Sementara, Pater Alex dan Nove telah duduk nyaman di atas kursi Chitose di dalam aula. “Wah, gede ya ruangannya,” celetuk Dite. Pater dan Nove tampak heran. Seolah meminta penjelasan mengapa aku bawa seorang anak ‘remaja’ ke dalam ruangan dan waktu rapat sudah saatnya dimulai.

“Pater. Kenalkan ini ibu Dite,” ujarku untuk ‘menjawab’ kerlingan matanya yang kebingungan itu. Namun, sontak dia tersurut dua langkah.

“Ah. Yang benar saja!” jawabnya lekas. Aku cuma nyengir. Sementara Dite tanpa wajah bersalah ikutan cekikik, lalu menyalami Pater Alex dan Nove.

“Bah. Yang kukiranya sudah …. ,” Pater Alex tak melanjutkan ucapannya. Mungkin mengingat waktu yang sangat mepet untuk persiapan acara.

Diskusi pun segera dimulai dengan hadirin peserta bertambah satu per satu. Mulai dari Lanti Sinaga, yang mengiri peran Master of Ceremony (MC). Kemudian, Fernando — yang tercatat sebagai peserta, ternyata telah diminta dari KWI untuk menjadi salah satu narasumber.

Beberapa menit sebelum kegiatan dimulai, penanggungjawab Dokumentasi, Jansudin Saragih menghampiri kami. “Oh iya, bang. Aku ada usulan sepertinya teknis untuk pemberian kunci bagi peserta baiknya diberi saat mereka registrasi ulang. Ngga usah sampai jam empat sore, baru dikasih. Bagaimana menurut, abang?”

Aku melirik Dite. “Ya sudah, mas. Panitia di Medan, boleh buat teknis sendiri. Yang penting, ndak mengganggu pelaksanaan acara nanti,” katanya sembari bersidekap tangan karena menggigil diterpa pendingan ruangan.

“Baik, Shem (sapaan Jansudin). Aku mohon bantuan kam, bantu adik-adik di meja registrasi ya. Biar kami mengurusin ke persiapan dalam hall,” pintaku. Jansudin mengangguk, dan bergegas memberi komando di tempat pendaftaran.

Segalanya tampak beres, hingga Pater Alex berkata,”Nah. Sekarang kita belum mendapat konfirmasi dari Dirigen Lagu Indonesia Raya dan pemain musik keyboard.” Sementara, Jansudin juga turut menyeletuk,”Oh iya. Di hall ini juga belum ada bendera Merah Putih.” Kami pun kembali panik. Dengan segala improvisasi, maka pada pukul 12 siang lewat sepeminum teh, lagu kebangsaan Indonesia pun berkumandang. Acara mulai mengalir. Akhirnya! Panitia persiapan seminar plus workshop menarik nafas lega.

***

medan01

 

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari di Catholic Center – Keuskupan Agung Medan ini, bermula dari ‘penyakit lupa’. Proposal Forum Diskusi Publik dan Literasi Media, yang dikirim sebagai lampiran dalam surat Komsos KWI (Nomor: 47/KOMSOSKWI/IX2017), memaparkan berbagai data penelitian menunjukkan bangsa Indonesia sedang menghadapi rongrongan terhadap konsensus berbangsa dan bernegara.

Sebagai misal, penelitian sosial progress index 2015 misalnya, menempatkan Indonesia di peringkat ke 123 dari 134 negara untuk variabel toleransi dan inklusivitas. Di kawasan Asia, Indonesia ada di bawah Malaysia (81), Thailand (99), dan Filipina (47). Dalam Fragile State Index 2015, Indonesia juga mendapat nilai buruk di variabel kekerasan antar kelompok, dimana indikator melingkupi diskriminasi, kekerasan antar etnik, kekerasan atas nama agama, kekerasan sektarian, dan kekerasan komunal. Indonesia mendapat nilai 7.3 (dari 10) yang berarti indeks kerukunan dan keberagaman semakin buruk.

Temuan senada juga diperoleh The Wahid Institute dari 2009-2015 memperlihatkan semakin maraknya kekerasan berbasis agama atau intoleransi, dari 121 menjadi 190 peristiwa kekerasan.

Sementara sejumlah data lain memperlihatkan semakin meningkatnya fenomena radikalisme, intoleransi, keinginan menegakkan negara Islam dan khilafah. Dalam survei terhadap pengurus (takmir) masjid di Jakarta terungkap 26 % responden mendukung jihad melawan non muslim/barat/sekuler; 14 % merasa wajib memerangi pemerintahan yang tidak menerapkan syariah; 32 % merasa wajib memperjuangkan khilafah dan 45 % berkeinginan menegakkan negara Islam. Sementara di kalangan muda diketahui paham radikalisme dan intoleransi telah bersemai.

Penelitian terhadap siswa SMU di Jakarta dan Bandung memperlihatkan dari keseluruhan responden 35.7 % merupakan intoleran pasif, 2.4 % intoleran aktif, dan 0.3 % berpotensi menjadi teroris.

Sedangkan di kalangan mahasiswa UIN di Jakarta dan Yogyakarta, survei memperlihatkan 26.7 % setuju tentang jihad menggunakan kekerasan, 28.4% tidak setuju jihad menggunakan kekerasan dan 4.9% tidak punya sikap.

Sedangkan penelitian yang dilakukan LIPI memperlihatkan fenomena yang tidak kalah mengejutkan, perguruan tinggi telah menjadi persemaian radikalisme. Sebanyak 86 % mahasiswa dari lima perguruan tinggi ternama di pulau jawa menolak ideologi Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam.

Selain dihadapkan pada ancaman radikalisme, intoleransi dan keinginan menegakkan negara Islam dan khilafah, masyarakat di Indonesia secara bersamaan tengah menghadapi gempuran propaganda melalui media sosial yang bertujuan mempengaruhi opini secara massif, dalam waktu singkat, berbiaya murah dan sulit dilacak. Data Kementerian Politik dan Keamanan RI memperlihatkan diantaranya propaganda informasi yang berupa berita tersebut merupakan berita bohong yang disengaja yakni sebanyak 90.30%; bersifat menghasut 21.60%; serta tidak akurat 59%. Informasi hoax yang disebarkan melalui media sosial tersebut terjadi hampir setiap hari 44.30 %.

Oleh kalangan radikal, diseminasi berita melalui media sosial itu juga dipergunakan baik untuk
memobilisasi/meradikalisasi pendukungnya, melatih (tutorial) aksi terror, merekrut anggota, menyebarkan terror hingga mengatur tindakan terror.

Perintis kegiatan forum ini menyampaikan, pemerintah menilai perlu ada sebuah gerakan untuk membumikan nilai-nilai Indonesia yang BerNKRI dan berasaskan Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mutlak.

“Dengan menyadari betapa massif nya ancaman yang dihadapi oleh negara yang dilakukan pendukung radikalisme maupun terorisme terlebih melalui media sosial, yang hingga kini belum bisa ditangani dengan baik oleh pemerintah, kami berinisiatif melakukan pelatihan yang melibatkan warga masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif menyelamatkan NKRI dari radikalisme dan terorisme melalui penggalangan opini di media social.” Demikian tercantum dalam proposalnya sebagai alinea penutup.

***

Pembina Misdinar Paroki St. Paulus – Pasar Merah di Medan, Kristinus Munthe terlonjak kaget, saat kukirim undangan forum ini via WA. “Serem baca proposalnya. Tujuannya sampai menyiapkan cyber troops [pelatihan dan pemberdayaan kapasitas bermedia sosial] segala ya,” kata Frater OMI emeritus tersebut.

Namun, dia turut antusias atas kegiatan ini. Terutama sekali karena memang pendanaannya didukung oleh pemerintah. “Tahu kan prinsip saya bahwa dana pembinaan kaum muda tidak boleh terbuang percuma,” sambungnya dalam perbincangan kami di WA.

Perihal isu literasi media memang tengah menjadi perhatian utama. Romo Kamilus Pantus, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI, sendiri tak menampik bahwa terkuaknya bisnis ujaran kebencian menjadi dasar pelaksanaan forum yang dilangsungkan di tujuh kota. “Selain di Medan, sebelumnya telah dilangsungkan di Jakarta dan Malang. Setelah di sini (Medan), kita akan gelar di Bandung, Manado, Kupang dan Semarang,” kata Imam Projo dari Keuskupan Weetabula.

Romo Kamilus mengimbuhkan, tujuh kota yang disebut tadi adalah dalam ranah kerjasama Pemerintah (melalui Kementerian Kominfo RI) dengan KWI. “Selain dengan kita (KWI), Pemerintah juga menggelar Forum Diskusi ini dengan perwakilan keagamaan lain. “Hanya saja, khusus di KWI, kita telah meminta agar kegiatan tidak hanya diisi satu hari dengan seminar saja. Tetapi, diselingi dengan workshop. Kalau tidak ada praktik, percuma saja.”

Dia mengakui, kegiatan ini memang di luar dari rancangan program KWI tahun 2017. Sehingga, wajar, bila agenda kerjanya pun menjadi cukup semrawut. Dan berimbas pada kesehatannya. “Setelah dari Ruteng untuk program pelatihan jurnalistik (26-28/9/2017), saya merasa demam. Namun, saya terus lanjut turut tim Forum Diskusi dan Literasi di Malang (30/9/2017 – 1/10/2017). Saat pulang ke Jakarta, kesehatan saya pun ambruk. Sehingga harus diopname,” terangnya.

Romo Kamilus mengatakan, sebelum ke Jakarta, dokter telah memberinya tiga ampul suntik. “Masing-masing beda warna,” ucapnya. Aku yang mendengar penuturannya cuma bergidik. “Nanti saya kasih materi hanya pengantar saja. Sesi utama akan dibawakan Profesor Eko Indrajit.”

Ketika estafet presentasi, Prof. Eko Indrajit sendiri memang berhasil membawakan materi yang menarik bagi 100 peserta — mayoritas kalangan Orang Muda Katolik (OMK) dari Kevikepan Medan Hayam Wuruk dan Medan Katedral. Selain mereka, ada juga dari kalangan ormas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan beberapa komunitas seperti Sant’Egidio. Sementara dari lembaga pendidikan Katolik yang mengirim utusannya adalah: Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar, Sekolah Tinggi Pastoral Delitua, dan SMK Grafika Bina Media.

Pewarta dari Komsos KWI, Kevin Sanly Putra dengan gamblang menuliskan meriahnya materi yang disampaikan Prof. Eko Indrajit dalam berita di media online resmi Komsos KWI, Mirifica.net (http://www.mirifica.net/2017/10/07/forum-dialog-literasi-media-medan-dibuka-aliran-tawa). Selain menuliskan berita-berita straight news forum ini ke laman Mirifica, Kevin juga membuat cuplikan dokumentasi video seluruh kegiatan forum ini (https://www.youtube.com/watch?v=1WMQ0QbLDio).

Pada hari pertama (Sabtu), seusai materi dari Prof. Eko Indrajit, berturut-turut ada lima pemateri yang turut memberi ilham bagi kalangan muda Katolik di KAM. Yakni, Brigjend Pol. Martinus Hokum selaku Direktur Penegakan Hukum Kedeputian 2 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Hendrasmo selaku Staf Ahli di Kementerian Kominfo RI,Margareta Astaman — selaku Praktisi Sosial Media, dan pasangan pemateri Bayu Wardhana dan Hendri Fernando Pasaribu.

***

Ruangan Hall B Catholic Center KAM, pada Minggu (8/10/2017), tidak seriuh pada hari sebelumnya. Beberapa wajah lesu, meski telah mandi, terpekur menatapi lantai granit. Tak lama, mereka bugar kembali setelah menyantap sarapan berupa nasi goreng dan ‘temannya’ telur dadar berbentuk segitiga phytagoras.

Ternyata, banyak dari peserta yang begadang untuk merampungkan tantangan dari Bayu dan Fernando, yakni membuat meme (dibaca: mim) dan video pendek untuk dimuat di Instagram, Youtube dan Facebook.

“Semalam sampai jam berapa, hayo,” tanya Kevin, saat memulai sesi pertama. Gumaman suara tak jelas berhamburan. Namun ada juga yang jelas, mengucapkan pada jam tiga pagi baru bisa istirahat. “Ah, masih kalah sama Jakarta dan Malang. Kita kemarin sampai jam lima pagi lho. Hehehe.”

Meskipun telah menggarap dua karya tersebut hingga malam, tanpa sedetik pun mendengar lagu Roma Irama “Begadang Jangan Begadang”, ternyata tidak semua kelompok telah merampungkannya.

Bayu dan Fernando mempersilakan bagi kelompok yang telah menyelesaikan karyanya untuk memberikan presentasi. Keduanya juga memberi masukan dan koreksi atas karya-karya yang telah dihasilkan peserta. Guna memudahkan pelacakan dan kesatuan tema, seluruh kelompok dimintakan membuat tagar #ayopositivemedan

Seusai sesi presentasi, kegiatan forum ditutup dengan Ekaristi secara khidmat yang dipandu Pater Kamilus, Pater Alex dan Pater Dedi Ladjar. Dalam kata penutup dan ucapan terima kasih, Pater Alex mengapresiasi kegiatan ini dan telah menggagas agar dapat dilanjutkan tahun 2018 ke tingkat kevikepan lainnya di Keuskupan Agung Medan. Setelahnya terjadi foto bersama, jabat tangan dan adu pipi. Saat saling berpamitan dengan Pater Kamilus, aku tertegun saat dia berucap pelan: “Sebelum pulang ke Jakarta, saya juga mau cari BPK.”

***

Ketika mendapati lema ‘media sosial’ dalam forum ini, aku teringat kembali pada buku “The Shallow” karya Nicholas Carr. Carr sendiri mengaku terilhami pada buku legendaris “Understanding Media” yang ditulis mendiang Marshall McLuhan. Dan mantra McLuhan yang hingga kini dibahas dari buku tersebut adalah: “Medium is the massage”.

Haidir Bagir, Dosen Universitas Paramadina, dalam tulisannya di Tempo (ed. 26 Februari 2016), mengutip contoh yang dimaksudkan McLuhan, sebagai berikut: “Untuk menekankan poinnya, McLuhan memberikan contoh yang menarik, yakni lampu bohlam. Jika dilihat sebagai suatu medium, betapapun tanpa kesan (dalam bentuk apa pun) — dengan kata lain, medium kosong — kita dapati bahwa pengaruhnya dalam mengubah cara orang hidup sebelum dan setelah ditemukannya bohlam berubah luar biasa. Bohlam memungkinkan orang beraktivitas bebas pada malam hari, setelah mengalami kendala oleh kegelapan. Produktivitas manusia meningkat, orang tidur lebih malam, keluarga dan komunitas bisa punya waktu bercengkerama lebih banyak, dengan segala implikasinya.”

Agoez Perdana, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) kota Medan, pernah bilang bahwa media sosial adalah megafon. Perangkat yang menyebarkan berbagai pesan ke banyak insan pengguna media sosial tersebut. Maka, menurut Haidar, wajar bila masyarakat yang belum melek ber-media sosial menjadi sasaran empuk misinformasi dan disinformasi.

Ada baik juga mengutip pendapat A.M. Lilik Agung — dalam tulisan Kolom di majalah HIDUP edidi 6 Maret 2016 — persoalan literasi media sosial menjadi pelik karena masyarakat Indonesia yang meloncat dari budaya tutur bermigrasi ke budaya digital tanpa sempat melewati budaya membaca. Sehingga seringkali meminggirkan etika dan kewarasan pola fikir.

Berkenaan dengan kondisi tersebut lah, maka Margareta Astaman tanpa letih menekankan pada peserta Forum Diskusi dan Literasi Media di Medan untuk cermat memverifikasi setiap informasi yang tengah dibaca. “Pastikan terlebih dahulu, apakah memang benar informasi teks dan foto di berita tersebut benar-benar valid dan relevan. Jangan-jangan itu adalah informasi yang direkayasa agar memancing reaksi spontan kita. Lalu, kita pun tanpa sadar ikut-ikutan menyebarkan teman-teman medsos lainnya.”

Lebih jauh, menurut Nicholas Carr, berbagai layanan yang tersaji di Internet (sebagai wadah media sosial) sebenarnya telah melemahkan kecerdasan otak para penggunanya. “Bahkan, McLuhan pun tak bisa meramalkan pesta apa yang telah dipersiapkan Internet di depan kita: berbagai suguhan, tiap suguhan baru lebih nikmat dari sebelumnya, hingga kita tak sempat bernafas karena terus menggigit. …. . Layar komputer memporakporandakan keraguan kita dengan kebaikan dan keasyikannya. Mereka begitu melayani kita sehingga tidak lah sopan memandangnya sebagai tuan kita juga. []

 

[Oleh Ananta Bangun]
Pustaka

Nicholas Carr. The Shallow. Penerbit Mizan. Juli 2011.
A.M. Lilik Utama. HIDUP. ed. 6 Maret 2016
Haidar Bagir. Tempo. Ed. 28 Februari 2016

Mirifica.net
Geosiar.com

Post Author: omknet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *