(Kisah perjalanan Teresa Yovela yang bisa dipanggil Vela atau Veve mengikuti Outstanding Youth for the World 2018 di Australia)
GA712 | Pukul 9 (Waktu Sydney, GMT+11) | Jumat 16 Maret 2018
Ayat alkitab favoritku adalah dari Yeremia 29:11. Ayat ini pula lah yang kuucapkan berulang-ulang ketika terbangun di pesawat pagi hari ini. “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Tuhan selalu memiliki rencana untuk kita, setiap langkah yang kita pilih, setiap kebahagiaan dan persoalan yang kita hadapi adalah bagian dari rencana Tuhan. Aku berada di pesawat ini, saat ini, karena Tuhan memiliki rencana untukku dan untuk kita semua. Itulah yang kutanamkan pada diriku di awal perjalanan ini.
Teringat di benakku ketika pertama kali di telepon oleh Romo Hary, sekitar 48 jam yang lalu. Saat itu aku sedang berada di kosanku Depok, karena aku berkuliah di Universitas Indonesia. Aku terbangun lebih pagi dari biasanya karena listrikku mati. Kupikir daripada tidur lagi, lebih baik belajar saja untuk Ujian Tengah Semester yang akan diadakan jam 8 pagi. Tiba-tiba Romo Hary menelepon, yaitu tepat pukul 6.59. “Veve”, panggilnya. “Iya Romo?” “Umur kamu berapa?” Aku menjawab “19, Mo. Kenapa memangnya?” Hal selanjutnya aku tidak pernah duga, tidak pernah pikirkan, tidak pernah tahu dapat terjadi. Romo Hary memberitahu bahwa beliau membutuhkan dua OMK untuk dikirim ke Australia bersama Pak Presiden. Jujur, saat itu aku masih mengantuk. Jadilah saat ditanya bisa atau tidak, jawaban pertama yang keluar adalah “Yah, saya ada UTS mo hari Jumatnya” Haduh, apa coba yang aku pikirkan saat itu?! Romo Hary bertanya apa ada kandidat lain untuk diberangkatkan, aku pun menjawab teman saya. Setelah tutup telepon, aku menelepon mama, dan barulah aku sadar kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Dengan tangan bergetar (benar-benar bergetar), aku mengirim WA ke Romo Hary, minta waktu untuk izin ke departemen di kuliah.
Memang berkat Tuhan itu terkadang harus dibarengi dengan perjuangan. Meminta izin ke departemen tidak semudah yang kukira. Aku disuruh kesana kemari, meminta surat. Semuanya dimudahkan oleh Tuhan. Pukul 12 siang, aku sudah mendapat kepastian boleh ikut rombongan ke Australia.
Waktu rasanya berjalan dengan cepat. Aku menghabiskan sore itu mengerjakan semua tugas-tugas untuk UTS dan packing jarak jauh (baca: dipacking-in oleh papa mama, sambil aku menyebut apa saja yang harus kubawa dari telepon, karena tidak sempat pulang ke rumah lagi). Malam sebelum tidur, Romo Hary menelepon untuk mempersiapkan acara besok, terutama berdiskusi tentang Indonesia dan keragaman. Beliau juga memperkenalkan aku pada Ito lewat WA. Aku gugup habis-habisan, karena baru sadar akan tugas besar yang kudapat. Aku mewakili pemuda-pemudi Katolik dalam kegiatan dialog antar umat beragama, di Sydney, Australia bersama Kementrian Luar Negeri. Aku terus bertanya-tanya, kenapa aku Tuhan? Apa yang pernah kuperbuat sehingga aku pantas untuk tugas ini? Apakah aku sanggup menyampaikan aspirasi umat Katolik kepada teman-teman dari agama lain?
Keesokan harinya, aku sampai di Kementrian Luar Negeri pukul 2 siang. Teman-teman sekelompok menyambutku dengan hangat sewaktu kami bekenalan. Ada Ni Putu Indah, seorang Hindu yang adalah seorang penari dari Bali. Ada Bli I Putu Hendra, Ketua Forum Generasi Muda Lintas Agama (Forgimala) Provinsi Bali. Lalu ada Kak Jesslyn Metta dari HIKMAHBUDHI (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia), Kak Steven dari Gema Budhi (Generasi Muda Budha Indonesia), Kak Frans dari Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) dan Kak Ruth dari Persekututan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Aku sendiri dikirim dari Komisi Kepemudaan KWI bersama Benediktus Tandya Pinasthika, atau Ito yang adalah siswa SMA Kolese Kanisius Jakarta.
Tidak pakai berlama-lama dan berjaim-jaim, kami langsung klop. “Berisiknya seperti sudah kenal lama” kalau kata mama. Pembicaraan kami mulai dari kaget bisa terpilih, bingung packing, norak saat menerima Paspor Dinas, hingga saling becanda dan menertawakan. Kami mendapat briefing dari Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, yaitu Bapak Cecep Herawan dan juga Sekretarisnya, Bapak Al Busyra Basnur. Nama acara ini adalah Outstanding Youth for the World 2018, yang tahun ini dibawakan dengan tema Interfaith Dialogue. Beliau mengatakan bahwa tujuan diadakannya program ini adalah untuk memperkenalkan keberagamaan Indonesia dari segi keagamaan dan toleransi yang kami miliki ke Australia. Sebagai generasi milenial, kami diharapkan dapat memperkenalkan keberagaman tersebut tidak hanya saat bertemu dan berdialog dengan pemuda-pemudi Australia, tetapi juga melalui media sosial dan vlog.
Akhirnya kami berangkat ke Australia, ditemani Pak Wahono (Pak Wahoy, panggilannya) dari Kementrian Luar Negeri, dengan Paspor Dinas (yang sangat membanggakan) di tangan, dengan segala kegugupan dan kebingungan, juga dengan perasaan senang karena bisa menjadi bagian dalam perjalanan luar biasa ini.
MERITON SUITES WORLD TOWER | Pukul 19.30 | Jumat, 16 Maret 2018
Tidak bisa dipungkiri, kami memang norak.
Setibanya kami di Bandar Udara Sydney Kingsford-Smith, kami langsung pergi menemui rombongan para Santri yang sudah berangkat terlebih dahulu. Jumlah mereka 10 orang, dan rata-rata lebih muda dari kami. Senang sekali bisa bertemu dengan mereka, para santri dari berbagai pondok pesantren, mulai dari Lombok, Tasikmalaya, Kudus, Yogyakarta, dan lain-lain. Mereka masih sangat muda, tetapi begitu bersemangat mendalami agamanya. Semuanya sangat berprestasi dan merupakan siswa-siswi teladan di daerahnya masing-masing. Kami juga bertemu dengan Pak Azis Nurwahyudi, Direktorat Diplomasi Publik dan Ibu Darmia dari bagian Diplomasi Publik juga. Sambil menunggu yang laki-laki menjalankan Sholat Jumat, kami menunggu di McDonalds dan mendapat es krim gratis!
Selanjutnya, kami pergi ke Art Gallery of New South Wales dan Royal Botanical Garden. Cuaca panas terik, kira-kira 34 derajat celsius, tetapi Kota Sydney terlihat begitu mempesona bagi kami, sehingga kami sibuk foto-foto. Pak Azis pun menegur kami. Pasalnya, kami saat itu akan segera bertemu dengan Paspampres untuk persiapan bertemu dengan Presiden Joko Widodo besok. Kami kaget dan menjadi gugup. Para Paspampres terlihat sangat besar dan tegas. Kami diminta untuk berbaris dan berjalan mengikuti arahan. Kami lelah, kepanasan dan juga kebingungan. Tetapi justru karena situasi inilah kami jadi semakin akrab. Ito dan saya mulai mengambil foto diam-diam, begitu juga teman-teman yang lain, sambil tertawa kecil dan berlari-larian. Pak Aziz galak, tetapi juga lucu. Kadang beliau bersikap tegas, kadang beliau melontarkan becandaan. Kami jadi bingung mau tertawa atau tetap memasang tampang serius.
Check in ke kamar di lantai 68, kami (terutama aku dan teman-teman yang perempuan) norak sekali. Dari kamar hotel, kami dapat melihat pemandangan kota Sydney dengan nyala lampunya yang begitu indah. Kami berpelukan dan bersyukur atas berkat yang tidak henti-hentinya ini. Akhirnya bertemu dengan kamar mandi setelah seharian lebih tidak mandi. Jam 20.30 kami harus bertemu dengan Pak Azis dan rombongan lagi untuk membahas acara besok.
MERITON SUITES WORLD TOWER | Pukul 23.40 | Sabtu, 17 Maret 2018
Alarm berbunyi jam 4.45 pagi. Pelan-pelan kubuka mata, memaksakan diri untuk keluar dari tempat tidur dan masuk kamar mandi. Mau ketemu Pak Jokowi, harus mandi! Pukul 5.30 kami berangkat menuju Royal Botanical Gardens lagi, masing-masing mengenakan jaket Bomber ala Pak Jokowi dan topi warna senada. Saat kami sampai, langit masih gelap. Kami di briefing kembali sebentar, lalu diberi waktu foto-foto bebas. Sebuah moment mengharukan pun terjadi. Teman-teman dari Bali, yaitu Indah dan Bli Putu mengajak kami semua untuk membuat video ucapan Selamat Hari Raya Suci Nyepi. Aku tidak pernah punya teman yang beragama Hindu sebelumnya. Begitu pula dengan sebagian besar teman-teman yang berada disini. Aku bahkan tidak pernah mengucapkan Selamat Menyepi pada siapapun sebelumnya. Tapi hari ini kami mengucapkannya bersama-sama.
“Om Swastiastu, Selamat Hari Raya Suci Nyepi Tahun Saka 1940 untuk umat Hindu dimanapun berada. Om Shanti Shanti Shanti Om” kata kami dalam video yang kami post di media sosial. Sebuah kebahagiaan tersendiri dapat berkumpul disini, betul-betul menjadi agen toleransi seperti yang diharapkan oleh Kementrian Luar Negeri.
Pak Jokowi datang tidak lama setelah itu. Beliau turun dari mobil bersama Ibu Iriana. Kami berlarian untuk menyambut kedatangan Presiden kesayangan kami tersebut. Pak Jokowi dan Ibu Iriana menanyakan nama dan asal daerah kami satu per satu. Mataku berkaca-kaca, seperti tak percaya sedang bertemu Pak Presiden betulan. Saat kami mulai berjalan bersama, Silpa memegang tanganku erat-erat. “Kak, itu Pak Presiden. Kita ketemu Pak Presiden!” bisiknya pelan sambil berjalan di belakang Pak Presiden. Pembicaraan dimulai oleh Harun, seorang Santri asal Lombok yang baru pertama kali ke Jakarta, ke luar negeri, naik pesawat, dan sangat berprestasi. Lalu kami bergiliran memberikan pertanyaan dan berdiri di samping Pak Jokowi dan Ibu Iriana. Silpa dan aku mendapat barisan ketiga.
Di tengah-tengah perjalanan, Pak Jokowi tiba-tiba berbelok menuju sebuah bangku taman di bawah pohon besar yang rindang. Bangku itu agak tua dan tidak sebersih bangku-bangku lainnya. Sebetulnya kami diminta mengarahkan Pak Jokowi menuju bangku yang sudah ditentukan, dimana teman-teman dari pers dan media sudah menunggu. Kak Afifa pun mencoba mengajak Pak Jokowi untuk berpindah bangku. Kami semua saling lihat-lihatan karena bingung. Tetapi Pak Jokowi dengan santainya menyentuh bangku itu. “Mau lihat saja, siapa tahu ini mabel punya saya” katanya sambil tertawa kecil lalu duduk. Tawa kami pecah dan suasana menjadi jauh lebih santai. Dari kejauhan, teman-teman dari media berlarian menuju tempat kami duduk. Pak Jokowi ditanyai mengenai kesukaannya pada musik Rock oleh Amaros, teman kami. Beliau bercerita tentang musik Rock yang liriknya penuh makna.
Ketika berjalan kembali, giliranku menanyakan sesuatu. Aku gugup setengah mati. Aku bertanya “Pak Jokowi, menurut bapak, apa sih yang bisa kami lakukan sebagai generasi muda yang aktif dibidang keagamaan, terutama dalam menghadapi situasi saat ini?” Sudah gugup-gugup, Pak Jokowi malah menanyakan balik kepadaku, “Memangnya sekarang ini kenapa?” Otakku memutar, mencari-cari jawaban yang bagus. Dari belakang Kak Ruth, Kak Jeje, Kak Steven sudah mengingatkan untuk menjawab dengan hati-hati dan tidak menggunakan kosa kata negatif. Aku lupa jawabanku persisnya bagaimana. Tetapi seingatku, aku menjawab bahwa saat ini banyak terjadi pertikaian masalah agama di dunia maya. Pak Jokowi tersenyum sambil menjawab dengan santai “Ah, itu mah di media sosial saja. Aslinya ini kita hidup damai-damai saja” kira-kira seperti itulah jawaban yang beliau berikan. Pak Jokowi pun memberi nasehat pada kami mengenai toleransi, kewajiban untuk menjaga perdamaian, bahwa keberagamaan adalah aset terbesar yang kami miliki sebagai Bangsa Indonesia. Beliau menyebut kami Agen Toleransi, Agen Perdamaian. Ketika kupikir lagi, mungkin betul. Kita ini generasi muda yang masih terus berkembang. Kita harus banyak belajar, saling memahami satu sama lain, supaya dapat menyebarkan nilai-nilai toleransi kepada orang tua, kakak, adik, saudara-saudari dan teman-teman kami, karena beberapa tahun dari sekarang, kami akan menjadi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Nilai-nilai baik akan jauh lebih efisien apabila ditanamkan dari saat masih muda.
Saat berjalan kembali ke gerbang, kami serombongan sudah bertanya semua, sehingga yang berdiri di baris depan harus memutar otak, bertanya agar tidak garing. Seorang dari kami pun bertanya tentang bagaimana Pak Jokowi dan Ibu Iriana bertemu. Rupanya Ibu Iriana merupakan sahabat dari adiknya Pak Jokowi. Katanya juga Pak Jokowi yang naksir dan mengejar Ibu Iriana duluan.
Selepas acara olahraga pagi, kami bergegas ke Four Seasons Hotel untuk briefing dan berganti pakaian menjadi batik. Disitu kami bertemu dengan pelajar-pelajar dari Sydney dan Melbourne yang beragama Muslim. Kami sarapan bersama sebelum berangkat ke ICC untuk menemui Pak Presiden dan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull. Awalnya sulit untuk memulai pembicaraan, terutama karena teman-teman dari Australia tinggi-tinggi, sedangkan aku pendek. Tetapi lama kelamaan jadi menyenangkan juga, karena mereka sangat ramah dan bersemangat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Kami menunggui Pak Presiden dan PM keluar dari ruang rapat sambil mengobrol. Jujur, bangga sekali rasanya ketika mendengar Mr Turnbull memuji Pak Jokowi sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh dalam perdamaian dunia. Tidak lama kemudian, kami berbaris dan bersalaman dengan Presiden Joko Widodo, PM Australia Malcolm Turnbull, juga Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia Julie Bishop, dan Menteri Perdangangan Indonesia Enggartiasta Lukita. Kami pun berfoto bersama.
Sebuah insiden lucu terjadi sehabis foto bersama. Aku yang berdiri dekat Presiden sedang menunggu giliran bersalaman dengan Mr Turnbull, ketika salah satu tangan Paspampres Australia mengenai tangan kananku. Aku spontan menyalaminya. Padahal maksudnya adalah agar aku bergeser supaya tidak terlalu dekat dengan Mr Turbull. Sepertinya banyak orang yang melihat termasuk teman-teman dan Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Australia, Mrs Julie Bishop. Beliau tertawa dan menghampiriku. “You’re really cute dear, I like you a lot” katanya sambil mengajakku cipika cipiki. Semua teman-temanku tertawa, sementara aku tertunduk malu tapi senang juga karena cipika cipiki dengan Mrs Bishop.
Acara dilanjutkan dengan makan siang bersama di Four Seasons Hotel. Kami duduk bersama dengan beberapa teman dari Australia. Sepanjang makan kami saling menertawakan dan mengobrol. Kami juga sharing mengenai kehidupan sebagai minoritas di Indonesia dan mereka yang adalah minoritas di Australia. Kami sharing mengenai bagaimana masyarakat Indonesia yang beragam memperlakukan satu sama lainnya.
Di sore hari, kami jalan-jalan ke Paddy’s Market dan bersantai menunggu matahari terbenam di seberang Opera House dan Harbour Bridge. Rasa kasihan dan haru bercampur dalam diriku ketika mendengar bahwa dengan uang jajan yang diberi, banyak teman-teman dari daerah yang belanja sangat banyak barang, untuk memberi oleh-oleh kepada keluarga besarnya dan juga orang sekampung. Untuk ibu dan bapak guru, kakak-kakak, teman-teman, begitu lengkap dan tulus.
DI BUS MENUJU MERITON WORLD TOWER | 19.30 | Minggu, 18 Maret 2018
Semalam aku dan Ito berencana untuk pergi ke gereja pukul 7 pagi. Tapi apa daya kami kelelahan malah telat bangun. Pagi itu kami harus menemui Pak Azis dan teman-teman yang lain pada pukul 8 pagi untuk evaluasi. Kami meminta izin untuk pergi ke St Mary’s Cathedral untuk mengikuti misa pada pukul 9. Sambil menunggu, Pak Azis bercerita tentang pengalamannya mengikuti misa. Beliau berdiri, berlutut dan duduk mengikuti umat yang lain, sesuai dengan arahan teman-temannya. Kak Ruth dan Kak Frans yang beragama Kristen Protestan memutuskan untuk bergabung dengan aku dan Ito untuk mengikuti misa ke Katedral. Kami berjalan kaki (setengah berlari) selama kurang lebih 15 menit.
Gereja di Sydney ternyata sepi, tidak seperti bayanganku yang mengira tidak akan kebagian duduk karena sampai pas-pasan. Sebagian besar umat yang datang sudah lanjut usia dan adalah orang Asia, bahkan para misdinarnya pun orang dewasa. Hal ini membuatku bertanya-tanya, kemanakah pemuda-pemudinya? Yang bernyanyi juga bukanlah koor seperti di Indonesia, tetapi hanya satu orang. Aku teringat saat berdialog dengan teman-teman Australia kemarin, Amal, seorang teman kami bercerita bahwa di Australia toleransi tidak hanya terjadi antar umat beragama, namun juga dengan umat yang tidak menjalankan agama sekalipun. Apa mungkin masyarakat Australia pelan-pelan sudah mulai meninggalkan agama?
Selesai misa kami foto-foto sebentar, lalu berlari kembali ke hotel. Kali ini lari betulan, karena jam 10.30 rombongan akan menuju Government House, Sydney atau tempat tinggal Gubernur New South Wales, His Excellency General The Honourable David Hurley AC DSC (Ret’d).
Rumah Pak Gubernur sangat besar dan dipenuhi dengan barang-barang antik. Setiap gubernur yang menjabat memiliki seleranya sendiri dalam pemilihan furnitur rumah. Kami mengikuti house tour dan memasuki ruangan-ruangan satu persatu. Desain rumahnya mirip dengan tipe-tipe bangunan di Inggris, karena memang dahulu Australia dikuasai oleh Inggris.
Kami lalu mendatangi Al Hijrah Mosque, Tempe, dimana kami disambut oleh para santri dan imam. Mereka menceritakan tentang kebiasaan umat muslim di Australia dan bagaimana mereka menjalankan kewajiban beragama tapi tetap patuh pada peraturan yang ada. Aku sangat terkesan dengan pertemuan ini. Mereka bercerita bahkan sebagai minoritas, mereka diperlakukan sama dan adil seperti umat agama lain. Di Australia ada peraturan mengenai polusi suara. Karena peraturan inilah mereka tidak diizinkan untuk menggunakan speaker besar saat Adzan, hanya boleh disekitar masjid saja. Tetapi gereja juga diperlakukan dengan sama. Gereja hanya boleh mendentangkan bell saat misa mau dimulai. Mendengarkan cerita umat muslim sebagai minoritas tentunya memperluas pemikiran kami semua. Sebagai contoh, umat muslim di Australia merayakan Idul Adha dengan menyembelih kurban di perternakan. Peraturan ini diberlakukan untuk menjaga kebersihan kota dan mencegah penyakit. Karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa kami akan ke Masjid, aku, Indah dan Kak Ruth hanya mengenakan rok selutut dengan batik. Kami dipinjamkan kain untuk dipakai selama beracara di dalam Masjid.
Selanjutnya, kami pergi ke Wild Life Sydney Zoo dan Madame Tussaud. Disana kami melihat banyak binatang, termasuk Koala dan Kangaroo. Senang rasanya memperhatikan teman-teman Santri dari daerah begitu bergembira bisa pergi ke kebun binatang. Banyak dari mereka yang terlihat begitu girang, asyik berfoto sambil menebak-nebak nama hewan. Berasal dari daerah, mereka tentu tidak memiliki fasilitas sebanyak di kota. Tidak memiliki pengalaman sebanyak anak kota. Tetapi mereka mampu berprestasi dalam berbagai bidang, termasuk pidato dalam bahasa inggris, bahasa arab, storytelling, dan lain-lain.
Matahari begitu menyengat. Hari ini cuaca di Sydney mencapai 40 derajat celsius. Indonesia saja hampir tidak pernah sepanas ini. Kami berjalan-jalan di daerah The Rocks, Sydney Old Town, dimana terdapat arsitektur buatan Inggris saat dahulu menguasai Australia. Mengingat besok akan pulang, banyak dari kami yang mulai sedih. Kami pun makan malam bersama terakhir di restoran Pancake. Anak-anak Santri makan dengan lahap. Mereka begitu menikmati es krim, dan makanan yang belum pernah mereka coba sebelumnya. Disini pula kami berkesempatan berdiskusi sedikit dengan teman-teman Santri. Mereka bercerita tentang seperti apa kehidupan di Pondok, apa saja larangan-larangan dalam Islam, dan juga mengenai ajaran-ajaran yang serupa dengan yang diajarkan di agama lain. Kami banyak mempelajari hal baru. Aku merasa dialog ini sangat bermanfaat, terutama bila dilakukan dengan maksimal, dengan persiapan yang matang, dan membahas topik yang baik. Dalam berdialog, kami saling belajar, saling membuka diri terhadap pengetahuan baru, sekalipun ada yang berbeda dengan ajaran keagamaan kami sendiri.
GA713 | 16.00 (WIB) | Senin, 19 Maret 2018
Perjalanan pulang ke Jakarta terasa lama dan melelahkan. Ito dan aku tadinya berencana akan mengerjakan tulisan. Tetapi kami malah tertidur sampai dua jam terakhir. Tadi pagi kami sempat mengunjungi rumah dinas Konsulat Jenderal RI di Sydney. Ketika disambut di depan pintu, kami serombongan begitu mengantuk, sampai-sampai banyak yang tertidur di sofa Pak Konjen. Konsulat Jenderal yang sedang menjabat saat ini adalah Bapak Heru Subolo. Beliau dan istrinya menyambut kami dengan hangat. Kami makan nasi goreng dengan daging kambing Australia. Pak Konjen menitipkan salam kepada rekan-rekan Kemenlu di Indonesia, juga memotivasi kami untuk bercita-cita kuliah di luar negeri. Beliau juga meminta kami agar pulang ke Indonesia setelah lulus kuliah di luar negeri supaya dapat berbakti pada negara.
Rangkaian acara Outstanding Youth for the World 2018 memang sudah berakhir, tetapi tugas kami masih panjang. Sebagai agen toleransi dan agen perdamaian (ciyeee), kami harus menjadi penggerak toleransi beragama dalam masyarakat, harus meluruskan apabila terjadi kesalahpahaman antar agama, harus menjadi contoh yang baik dalam persahabatan dengan teman-teman dari agama lain. Aku dan Ito juga sangat berterima kasih kepada Komisi Kepemudaan KWI yang sudah menugaskan kami untuk program ini. Terima kasih kepada RD Antonius Haryanto, Romo Hary yang kami sayangi, atas kepercayaannya kepada kami. Kami yakin Tuhanlah yang memilih, Ia memiliki rencana pada hidup kami masing-masing. Maka, kami siap bekerja untuk masa depan, siap bekerja untuk perdamaian antar umat beragama dan siap bekerja untuk Indonesia.
Vela