Tak berbeda jauh dengan Bung Karno, Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di seluruh dunia pun juga menganggap penting peran kaum muda untuk kemajuan dunia ini.
“Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia”begitulah kurang lebih pendapat sang proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.
Mengguncang dunia berarti dapat merubah dunia ini dengan cara luarbiasa kepada arah yang lebih baik. Sri Paus, kala membuka acara pertemuan Pra-Sinode di Vatikan belum lama ini juga turut mengajak kita sebagai pemuda-pemudi untuk “mengguncang” dunia melalui tindakan-tindakan positif; salah satunya adalah bersuara mengutarakan pendapat kita yang bisa membangun kehidupan masyarakat yang beragam rupanya.
Bersuara, bukan sekedar bersuara lalu hilang bersama hembusan angin. Bersuara, bukan saja sekedar menulis dengan indah lalu mempublikasi, melainkan suara, pendapat, opini dan mimpi yang harus juga diejawantah melalui tindakan nyata.
Dari 19 hingga 24 Maret 2018 yang lalu ratusan pemuda-pemudi perwakilan berbagai negara dan berbagai agama serta kepercayaan, bahkan wakil-wakil atheist pun dari 5 benua berkumpul dalam sebuah forum diskusi yang diagendakan untuk membahas beragam topik dengan tema “young people, the faith and vocational discernment” (kaum muda, iman dan permenungan panggilan).
Ditekankan dalam meeting tersebut bahwa kaum muda sebagai agen perubahan seyogyanya memiliki kepekaan yang lebih terhadap berbagai permasalahan dalam kehidupan ini, baik di lingkungan yang paling kecil hingga yang paling luas. Sebagai agen perubahan, kaum muda memiliki ciri khas serta karakter diri yang baik dan dapat menjadi teladan. Sebagai kaum muda, tak ada salahnya kita harus mencontoh Nabi Musa, Isa (Yesus) serta Muhammad yang benar-benar menjadi suri tauladan untuk para pengikut mereka.
Perkembangan teknologi modern tak jarang membawa dampak negatif terhadap kehidupan moral dan tingkah laku kaum muda, tetapi apabila kita bijak dalam menerima, mengolah dan menggunakannya, maka dampak positif justru yang akan mentransformasi diri kita dan masyarakat sekitar kita.
Saya, perempuan muda asal perbatasan Kabupaten Wonogiri dan DIY serta Jawa Timur tidak pernah bermimpi di dalam hidup saya kalau suatu hari bisa meninggalkan jejak perjalanan di Takhta Suci Vatikan, tempat tinggal sang Bapa Suci. Peristiwa ini bermula dari jasa teknologi komunikasi, khususnya teknologi media social WhatsApp yang menghantar saya kepada Jaringan GusdurianSemarang. Oleh karena keaktifan sayadi jejaring inilah saya kemudian direkomendasikan untuk menjadi perwakilan agama non-Katolik dari Indonesia untuk mengikuti Pre-Synodal Meeting di Vatikan, Roma, Italia, bulan Maret kemarin.
Yang ingin saya garis bawahi secara khusus dari kegiatan ini adalah pembahasan mengenai hubungan kaum muda dengan Yesus Kristus (ISA AS) dan dengan Gereja. Pertanyaan tersebut pastilah akan mendapat jawaban yang lebih memuaskan ketika jawaban itu berasal dari saudara-saudariku kaum muda Nasrani, tetapi Gereja Katolik malah memberikan juga ruang untuk saya sebagai seorang Muslimah untuk bersuara dan memberikan pandangan serta masukan.
Bagaimana mungkin saya sebagai seorang Muslimah berpendapat tentang Isa Putera Maryam sang Bunda suci, dan bagaimana pula saya bisa menilai dan berpendapat tentang relasi kaum muda Katolik dengan gerejanya? Pastilah saya memiliki pendapat yang berbeda dengan saudara-saudari saya kaum muda Katolik. Pikiran dan pertanyaan-pertanyaan di atas saya bawa dari Indonesia, tetap menghantui saya selama perjalanan dari Jakarta hingga Roma. Dan benarlah demikian, bahwa selama meeting, banyak pendapat dan pemahaman saya sebagai seorang Muslimah berbeda dengan apa yang diyakini dan diutarakan oleh peserta-peserta Nasrani dari berbagai agama dan denominasi.
Ada satu hal yang membuat saya sungguh terharu. Suatu hari di saat meeting, saya berkata berkata kepada salah seorang Romo peserta meeting bahwa saya memiliki pemahaman berbeda terkait prosesi jalan salib. Kebetulan bulan Maret adalah bulan Puasa umat Nasrani dengan tradisi prosesi jalan salib. Romo tadi menjawab kepada saya: “Tidak apa-apa. Semua orang boleh punya perspektifnya masing-masing. Yang penting di sini adalah saling menghargai dan tidak membenci apa yang berbeda”.
Saya merasa sangat terharu dengan jawaban polos seperti itu dan langsung mengatakan kepada Romo itu, kalau saya sangat terkesan dengan jawabannya. Saya lebih merasa terkesan lagi ketika saya tahu bahwa pendapat saya dihargai meskipun berbeda, bahkan saudara-saudara saya Nasrani tersebut tidak merasa terganggu atau disakiti oleh karena pendapat saya yang barangkali menyentuh sisi-sisi sensitivitas keagamaan mereka, apalagi menyangkut kisah sengsara dan wafat Isa Almasih, Yesus Kristus, yang sangat mereka cintai dan mereka imani.
Hal lain yang juga membuat saya lebih tersentuh adalah ketika panitia mengatakan bahwa saya boleh memilih tempat di mana saja yang saya rasa bersih dan layak untuk beribadah. Malah saya diberikan kebebasan untuk bisa menggunakan tempat ibadah mereka, kalau saya mau dan saya butuh. Bagi saya pribadi, berdoa bisa di mana saja, kapan saja dan dengan siapa saja, karena Tuhan sang Pemilik alam semesta ini dan Maha segala-galanya lebih memahami segala cara dan bahasa yang digunakan oleh manusia.
Saya pernah membaca berita di salah satu website dan saya menggaris bawahi pendapat yang tertera di sana, bahwa “semakin kita mempelajari agama lain, maka kita juga akan semakin mencintai agama kita sendiri”dan itu pulalah yang terjadi dengan diri saya. Sepulang dari Vatikan, saya justru semakin mencintai agama saya sendiri, agama Islam, dan kini saya memiliki keingintahuan yang lebih tentang agama-agama selain agama yang saya anuti sejak lahir ini.
Bagi saya, tidak ada salahnya mengetahui berbagai hal tentang apa yang orang lain yakini karena dari situ saya belajar untuk lebih memahami agama dan kepercayaan orang lain. Dan semakin saya memahami mereka, musnah pulalah berbagai alasan untuk membenci mereka.
Kembali kepada Bapak Proklamator yang pernah berkata “Jas Merah, Jangan Lupa Sama Sejarah”. Relevansi kata-kata di atas adalah bahwa ketika saya mulai belajar bagaimana agama-agama muncul, saya pun sudah tak punya alasan lagi untuk mengotak-ngotakan atau bahkan menyalahkan pihak-pihak lain yang berbeda dengan saya. Saya justru mulai meyakini bahwa agama adalah jalan kebenaran yang dilewati dengan cara berbeda-beda, masing-masing sesuai keyakinan sendiri, seperti ada pepatah kuno mengatakan: “Banyak Jalan Menuju Roma”. Dari sekian banyak cara dan jalan yang ditempuh untuk sampai ke kota Roma, saya memutuskan untuk menggunakan jalan Pre-synodal meeting. Begitu pula ada banyak cara serta jalan yang menghantar manusia menuju Kebenaran Mutlak, yakni Sang Khalik dan Pemilik alam ini. Agama adalah jalan! Banyak jalan menuju kepada-Nya, dan biarkanlah masing-masing menempuh jalannya sendiri yang dianggap jalan terbaik, terindah dan termulus. Itu keyakinan mereka, itu hak mereka. Mengapa manusia saling menghakimi di dunia ini, padahal Hakim tertinggi adalah Tuhan sendiri?
Toleransi bagi saya tidak cukup hanya sekedar ramah terhadap mereka yang berbeda, padahal di balik itu masih menyalah-nyalahkan atau menganggap bahwa yang berbeda itu tidak layak masuk Surga. Toleransi harus bergerak lebih jauh dari itu. Artinya menerima mereka yang berbeda sebagai saudara dan saudari dan menghilangkan seluruh kecurigaan buruk yang ada di dalam benak. Bukankah segala sesuatu di atas bumi ini adalah semata-mata kehendak Tuhan? Jika demikian faktanya, berarti segala keberagaman juga hadir bersama umat manusia karena Tuhan menginginkannya demikian. Oleh karena itu marilah kita RAYAKAN KEBERAGAMAN INI SEBAGAI WUJUD SYUKUR AKAN KARUNIA TUHAN dan selalu berpikir baik serta positip terhadap seluruh umatNya.
Mengingat kembali perjalanan saya hingga menjadi bagian dari Pre-Synodal Meeting for Young People 2018 di atas, saya tidak berhenti bersyukur. Saya terus berdoa, semoga Tuhanlah membalas semua mereka yang sudah berbaik hati dan membantu hingga saya boleh mengalami suatu yang luarbiasa dan sangat memperkaya di dalam perjalan hidup saya. Izinkan saya, pada kesempatan ini, mengucapkan terima kasih kepada Paus Fransiskus dan Takhta Suci yang menjadi pelopor kegiatan ini. Terima kasih banyak atas penerimaan hangat terhadap saya. Saya percaya bahwa berkat dan kasih sayang Allah akan senantiasa tercurah ke atasmu.
Terima kasih saya kepada Romo Aloys Budi Purnomo di Semarang yang sudah merekomendasikan saya, dan juga kepada Padre Markus Solo di Vatikan yang berperan besar dan banyak sekali saya repotkan ketika saya berada di sana. Sungguh tiada yang lain selain doa dan ucapan terima kasih yang tulus ikhlas dari diri saya yang bisa saya berikan. Allah-lah yang mampu membalas kebaikan Romo yang penuh kasih.
Juga ucapan terima kasih saya kepada Paguyuban Usahawan Katolik Professional (PUKAT) yang turut memberikan bantuan kepada saya demi suksesnya kegiatan Pre-synodal Meeting di Vatikan. Sekali lagi hanya Allah-lah yang berkuasa membalasnya.
Akhirnya kepada sahabat saya, Julio Belnanda Harianja, terima kasih ya sahabat karena sudah mengajak saya bergabung di Jaringan Gusdurian. Kalau saja dulu kamu tidak mengajak saya bergabung ke sana, belum tentulah saya bisa sampai ke Vatikan. Upahmu besar di Sorga Jul.
Sesungguhnya perbedaan dan mempelajari perbedaan itu indah.
Cobalah sendiri!
Dewi Kartika