Sharing pengalaman dalam pertemuan Uskup dan pimpinan tarekat religious Regio Sumatera dalam Pertemuan dengan fokus orang muda.
Bimbingan dan konsentrasi untuk melihat aspirasi Orang Muda telah menjadi agenda besar Sinode para Uskup. Berbagai rangkaian kegiatan untuk mempersiapkan Sinode telah dilakukan, diantaranya Pra-Sinode yang telah berlangsung 22-25 Maret lalu di Vatican. Setiap negara mengirimkan perwakilan orang mudanya dari berbagai latar belakang keyakinan/agama. Indonesia pun telah mengirimkan perwakilannya dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Gusdurian.
Sebelumnya Komisi Kepemudaan KWI sudah membuat survey orang muda yang hasilnya kami bagikan di Pertemuan Pra-Sinode tersebut. Diskusi dan berbagai dialog yang telah dilakukan di Vatican itu akhirnya menghasilkan kerangka berpikir orang muda yang dibagi kedalam 3 topik: Tantangan & Peluang Orang Muda; Iman, Panggilan dan Diskresi Panggilan serta Pendampingan Orang Muda; Karya Pastoral dan Pemimpin Gereja. Ketiga topik tersebut merupakan bentuk visi dan misi orang muda pada dunia global dan gereja, dan tentunya bukan menjadi dokumen yg akan digunakan sebagai rujukan teologis. Kegiatan nyata untuk mewartakan hasil pra-sinode tersebut akhirnya dimulai dalam pertemuan para Uskup regio Sumatera dan Pimpinan tarekat Religius region Sumatera (9-12/04)
Ini merupakan hal istimewa bagiku, karena ini adalah moment pertama saya mewakili suara orang muda di hadapan para uskup. Rasa takut dan tidak percaya diri awalnya, karena sosok uskup bagiku adalah sosok yang sangat dihormati sebagai pemuka agama. Dalam setahun biasanya saya hanya dapat bertemu para uskup saat misa acara besar keagamaan, dan mendegar suaranya di podium ketika mereka berkhotbah. Selain itu yang saya tahu adalah dengan bersalaman dan mencium cincinnya adalah berkat, sehingga wajar sekali jika selesai misa harus mengantri panjang untuk bisa bersalaman dengan mereka. Pengalaman pertama itu memang menantang, dan memberikan banyak spekulasi dari negatif sampai positif. Tapi semua itu terjawab ketika moment dialog dimulai. Betapa tersentuhnya hatiku saat melihat sosok yang biasanya berdiri dipodium itu sungguh hangat. Kesan galak ataupun kaku sama sekali tidak terlihat, mereka justru membawa suasana pertemuan menjadi moment penuh suka cita. Moment berdialog pun dibuat dengan diskusi 2 arah, sebagai perwakilan orang muda kita menjadi narasumber yang duduk dikursi pembicara, sedangkan para uskup duduk dibangku penonton dan mendengarkan. Karakter uskup ini membawa inpirasi semangat melayani bagiku, karena untuk berkarya itu tidak mengenal umur atau kedudukan penting, intinya adalah menjadi orang dapat melayani dengan jujur, rendah hati, dan bertanggung jawab.
Dalam dialog tersebut saya menyampaikan realita yang saya lihat dan alami sebagai orang muda dan tentunya disinergikan dengan hasil kerangka berpikir pra-sinode. Secara garis besar saya melihat perlu ada beberapa aktivitas yang dikembangkan Gereja untuk orang muda. Hal ini terkait metode yang dilakukan untuk mengenal kondisi orang muda membutuhkan pendekatan berbeda, terutama karena perubahan jaman yang mengakibatkan pergeseran pola pikir dan kebiasan kami sebagai orang muda. Kami adalah sosok penerus bangsa yang lahir di era digitalisasi, kami lebih suka berkreasi di wadah yang bebas, dinamis, dan terbuka, begitulah kiranya yang kami harapkan terhadap gereja juga.
Kami berharap Gereja bukan lagi hanya sebuah bangunan, tetapi dapat mengembangkan identitas sejatinya sebagai perkumpulan orang yang mewartakan kabar baik. Kami berharap untuk dapat melihat gereja lebih dekat dengan kami melalui berbagai cara yang kreatif tetapi juga dapat memberikan pedoman arah hidup yang baik. Gereja harus dapat menjadi gembala yang mencari anak dombanya yang hilang. Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyak diantara kami yang lambat laun meninggalkan gereja, kami melihat hal itu terjadi karena tidak adanya rasa kepemilikan kami terhadap gereja dan isinya, situasi & kondisi jaman sekarang membuat kami krisis identitas, minder, dan takut melangkah.
Kami membutuhkan sosok yang dapat mendengarkan, dan membimbing kami, sosok yang percaya dan memberikan kami ruang untuk berkreasi dan bisa mengambil keputusan. Banyak sekali variabel yang membuat kami jauh dari gereja, kami melihat gereja sebagai sesuatu yang sakral dan tidak bisa berteman dengan kami. Kami takut untuk bertindak, dan terkadang kami tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada akses yang dapat mendekatkan kami terhadap nilai kristiani, meskipun ada, kami rasa bahasanya terlalu kompleks sehingga sulit untuk kami pahami. Diantara kami bahkan sudah tidak peduli karena mereka merasa bukan siapa-siapa sehingga tidak perlu berbuat apa-apa. Kami berharap gereja dapat bertindak, melakukan perubahan tanpa menghilangkan nilai-nilai kristiani.
We Talk Together
Bella