Spiritualitas Mendengarkan : Refleksi Dari Taize, Perancis
Spiritualitas mendengarkan yang dihayati para Bruder Taize sangat nyata dan terjadi secara tulus. Dalam suatu perjumpaan saat engkau akan menceritakan sesuatu atau sekedar bertanya hal yang remeh temeh, para Bruder dalam kesahajaannya akan menatap padamu dengan penuh perhatian. Ketika dirimu sudah selesai berkata maka Bruder akan tersenyum lalu dengan lembut menjawab.
Hal ini terjadi pula pada Bruder Aloys, seorang Bruder yang ditunjuk langsung oleh Bruder Roger untuk menjadi penggantinya dan menjadi pemimpin komunitas Taize. Dengan kelembutan seorang ayah, saat saya menyatakan keraguan serta kebingungan dalam menentukan panggilan hidup saya, Bruder Aloys hanya tersenyum sampai saya menyelesaikan cerita saya. Tanpa ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya untuk menyela perkataan saya.
Lalu dalam kasihnya Bruder Aloys menjawab satu persatu keraguan saya. Dengan perlahan Bruder Aloys menjelaskan sampai jawaban tersebut memuaskan diri saya. Sungguh suatu praktik “sendengkan telingamu, dan dengarkan” yang tanpa dibuat-buat.
Di Komunitas Taize ada semacam tradisi untuk mengundang orang muda untuk menikmati santap siang bersama dengan para Bruder. Saya pun mendapat undangan yang penuh sukacita tersebut. Sebab, selain dapat menikmati santap siang dan mencecap kenikmatan anggur Burgundy yang terkenal itu, orang muda yang diundang dapat bertemu langsung dengan Bruder Aloys setelah santap siang.
Usai ibadat tengah hari, secara khusus saya dan beberapa teman dari berbagai negara diundang untuk makan siang bersama para Bruder di ruang komunitas. Saat itu saya merasakan kenikmatan yang lebih dari sekedar makanan yang ada di meja tersebut.
Saya duduk berhadapan dengan Bruder Aloys. Tak henti-hentinya saya menatap wajah orang tua itu yang sudah puluhan tahun menjadi Biarawan Taize yang gemanya sampai di seluruh dunia. Saya pernah membaca buku tentang Bruder Roger pendiri Taize yang berkharisma itu. namun kali ini sungguh lain. Saat saya datang ke Taize, saya berhadapan langsung dengan pengganti Bruder Roger ini.
Tatapan kasih, serta sikap mendengarkan sebagai pribadi yang menjadi panutan menaungi diri saya. Saya merasa kagum sebab Bruder Aloys saat berhadapan dengan lawan bicaranya senantiasa tersenyum dan hanya diam mendengarkan. Seolah-olah Bruder Aloys membiarkan setiap beban hidup orang lain yang keluar lewat kalimat demi kalimat masuk ke dalam relung hatinya.
Bruder Aloys lewat cara mendengarkan yang penuh cinta dan senyum yang teduh membuat orang yang datang padanya melupakan beban hidupnya. Saya yakin, setiap orang yang kembali ke rumahnya setelah bertemu Bruder Aloys, para Bruder Taize, dan merasakan indahnya doa di Taize akan memiliki semangat baru dalam menjalankan hidupnya yang penuh kompleksitas.
Spirit mendengarkan tanpa mencela, menyela, ataupun menertawakan pembicaraan orang lain adalah amunisi cinta yang diajarkan Bruder Aloys, dan para Bruder Taize, kepada saya secara khusus dan kepada seluruh orang muda yang datang dari berbagai belahan dunia.
Saya pun merasa prihatin dengan situasi saat ini. Ada seorang Pastor yang saya kenal di sebuah Paroki. Jangankan berkunjung ke rumah umat yang miskin, mendengarkan umat yang datang sekedar berkeluh kesah di pastoran seolah tidak punya waktu. Dilayani pun setengah-setengah. Mendengarkan sambil tangannya memegang HP. Matanya pun tidak dipakai untuk menatap siapa pun yang berbicara di hadapannya. Sambil mendengarkan umat namun tidak memberikan perhatian sebagai seorang gembala. Makanya jangan heran banyak umat atau OMK saat ini meninggalkan ruang pengakuan. Jika di halaman pastoran tidak punya waktu mendengarkan, bagaimana dapat menyelamatkan jiwa-jiwa yang nyaris hilang.
Atau hal lain. Suami tidak mendengarkan istri. Istri tidak mendengarkan suami. Orang tua tidak mau mendengarkan anak dalam menceritakan curahan hatinya. Penyebab terbesar adalah waktu untuk memperhatikan HP lebih banyak daripada mendengarkan curahan hati orang lain.
Sehingga perselingkuhan terjadi dalam rumah tangga. Anak-anak kehilangan orang tua, sehingga hidup berakhir tragis. Umat Allah juga makin enggan ke Gereja sebab Pastornya hanya mau mendengarkan sekelompok atau seorang tertentu. Mendengarkan dan memberi perhatian terhadap sesuatu yang dibicarakan bersama dalam satu perjumpaan dirasa membuang waktu.
Saya pun ingin melatih diri saya untuk menjadi pendengar yang baik. Menjadi pendengar bagi orang lain membutuhkan komitmen dan kesabaran serta ketulusan. Mendengarkan tanpa menyela serta mencela maksud pembicaraan orang lain akan membuat orang lain merasa nyaman dan beban hidupnya akan punah. Jika dalam satu komunikasi semua orang ingin berbicara tanpa ada satu yang mendengarkan maka dapat dibayangkan terjadinya pertumpahan darah.
Allah sungguh hebat dalam menciptakan manusia. Diberikan dua telinga dan satu mulut. Maksudnya dengan dua telinga yang dimiliki haruslah lebih banyak digunakan untuk mendengarkan. Mendengarkan secara total dan penuh perhatian. Bukan mendengarkan secara setengah-setengah. Mendengarkan disini adalah mendengarkan orang lain berbicara saat berkomunikasi. Saat seseorang datang dengan letupan emosi akibat dilecehkan atau tidak dipedulikan. Mendengarkan juga terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita tanpa harus banyak berpikir yang kemudian pengaruh inteligensi ditonjolkan. Mendengarkan banyak dan berbicara bila diperlukan. Jangan berbicara banyak dan mendengarkan bila diperlukan.
Maka marilah kita saling mendengarkan seperti Yesus yang menjadi pendengar yang baik bagi orang lain. Kita membantu menyelamatkan hidup seseorang yang merana dan beban batin yang menyiksa hanya lewat mendengarkan. Tetapi sebelum itu, dengarkanlah suaramu sendiri di dalam hatimu. Apa yang ia bicarakan dan apa yang ia ingin engkau lakukan.
Dari bukit Taize, Perancis, Pekan Kedua Advent 2018
Oleh Frids WL dan Anastasia Novi Praptiningsih