Pertemuan internasional orang muda Eropa yang diadakan oleh Komunitas Taize di Kota Madrid mulai dari tanggal 26 Januari 2018 melibatkan lebih dari lima belas ribu orang-orang muda yang datang dari seluruh Benua Eropa menyisakan banyak kisah menarik. Pertemuan tersebut mengambil tema tentang kemurahan hati atau keramahan, sesuai dengan proposal yang ditulis oleh Bruder Aloys pemimpin Komunitas Taize, Perancis. Kisah-kisah tersebut tidak akan selesai jika dibicarakan. Namun lewat tulisan kecil dan sederhana ini saya hendak mengatakan seperti Bruder Aloys dari Taize sampaikan, “Jangan lupakan keramahan”.
Pada tanggal 25 Desember 2018 sekitar jam 3 sore waktu Spanyol kami tiba di Kota Madrid setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu hampir 18 jam dari Taize, Perancis. Kami diterima oleh para Bruder Taize, Suster-Suster, dan sekelompok orang muda di Colegio Santa Maria Imaculada, Madrid. Setelah minum teh atau kopi hangat kami dipersilahkan untuk makan siang lalu mengikuti pertemuan singkat membahas persiapan-persiapan teknis untuk kegiatan besar yang akan diadakan ini.
Orang-orang muda, salah satunya saya yang berasal dari benua lain (Asia dan Afrika) dibagi ke rumah-rumah umat untuk melakukan live in. Saya bersama Richard dari Swaziland (Afrika Selatan) mendapat kesempatan untuk tinggal bersama Mama Cristina Manuel seorang wanita tua di Abrantes yang lokasinya lumayan jauh dari pusat Kota Madrid. Mama Cristina ini usianya sekitar enam puluhan dan tidak memiliki anak kandung sebab dia tidak menikah. Mama Cristina mengadopsi seorang anak laki-laki yang diasuhnya sejak berusia 3 tahun yang berasal dari Chad (Afrika). Anak laki-laki itu bernama Donald Manuel dan memiliki keterbelakangan mental. Mama Cristina seperti orang Spanyol pada umumnya tidak dapat berbicara Bahasa Inggris dan tinggal di sebuah apartemen.
Mengenai hal ini saya sudah diberitahukan oleh Suster Isabel. Dalam hati saya sungguh menolak keadaan ini. Saya protes dan kecewa. Mengapa saya tidak diberikan kesempatan untuk tinggal dengan keluarga yang anggota keluarganya baik keadaan fisik dan mental. Atau mengapa saya tidak mendapat keluarga angkat yang masih muda, yang dapat berbicara bahasa Inggris atau memiliki anak gadis yang bisa berkenalan? Sungguh saya bergulat dengan situasi ini.
Tibalah saatnya saya dijemput oleh Mama Cristina. Suster Isabel pun memanggil saya yang sedang duduk di halaman tengah Colegio untuk berjumpa dengan keluarga baru saya. Dengan perasaan enggan saya menemui mama tua ini. Namun diluar dugaan saya dia memeluk saya dan mengucapkan selamat datang. Bienvenido a mi corazón, bienvenido niño (selamat datang hatiku, selamat datang anakku). Panggilan mi corazón ini menjadi panggilannya kepada saya setiap hari selama saya tinggal bersamanya. Saya pun mengikuti mama tua dan anaknya ini ke rumahnya. Kami menggunakan metro atau kereta api bawah tanah.
Selama di dalam metro Mama Cristina selalu tersenyum dan mengajak saya berbicara namun dengan bahasa Spanyol. Apa boleh buat. Saya tidak ingin membuatnya tersinggung. Saya menanggapinya dengan bahasa Inggris, namun ada beberapa kata yang saya pahami sebab sebelum itu saya kursus singkat di teman saya yang bernama Bruno dari Polandia (sebab dia mahir sekali berbicara Spanyol dan enam bahasa asing lainnya). Selebihnya itu berbicara sambil menggerakan badan, mulut, dan tangan. Saya berpikir keadaan saya semakin sulit sebab anaknya itu selalu berbicara seperti meracau. Kami tiba di apatemennya di Avenida de Abrantes jam sepuluh malam. Antara lelah dan kecewa saya harus makan malam bersama keluarga ini dan tidak boleh menolak. Seperti Sabda Yesus, hendaklah kamu bertolak ke tempat yang dalam, saya pun mulai membangun pikiran positif. Jadi selama santap malam berlangsung kami berbicara, saling memperkenalkan diri dan keluarga. Mama Cristina ternyata telah menyiapkan wifi untuk saya gunakan selama tinggal dirumahnya. Menurut Mama Cristina wifi ini untuk dapat dipakai untuk berkomunikasi yakni dengan menggunakan Google Translate. Luar biasa. Allah ternyata tidak pernah meninggalkan umatNya.
Usai makan saya pun mandi air hangat. Sambil mandi saya berdoa supaya Tuhan memberikan jalan keluar dan membantu saya untuk dapat menikmati situasi selama menjadi anak Mama Cristina di Madrid ini. Setelah itu saya beristirahat. Ternyata Mama Cristina selalu memberikan Donald anaknya pelukan sebelum pergi tidur sambil mengucakan selamat tidur. Buenas noches … Vendrán los ángeles a dar un hermoso sueño (Selamat malam … para malaikat akan datang untuk memberikan mimpi yang indah). Hal ini pun dilakukan kepada saya dan Richard setiap akan pergi tidur. Pun saat bangun pagi setelah mandi dan duduk di ruang makan untuk sarapan pagi atau saat hendak pergi ke tempat seminar atau paroki untuk mengikuti kegiatan, Mama Cristina selalu memeluk kami seperti anak kesayangannya. Buenos días mi corazón … hoy te ruego que estés lleno de las bendiciones de Dios (selamat pagi buah hatiku.. saya berdoa hari ini kamu penuh berkat Tuhan.). Selama dua belas hari tinggal bersama Mama Cristina saya sungguh mengalami kasih Allah. Ketakutan dan kecemasan hilang dan berganti dengan kebahagiaan serta sukacita. Seperti seorang ibu kandung Mama Cristina mengurus saya.
Setiap pagi saya disiapkan sarapan sebelum pergi mengikuti kegiatan yang telah dijadwalkan selama live in. Setiap malam saya selalu tiba di rumah hampir jam sebelas malam dan Mama Cristina selalu menunggu sambil menonton televisi. Walaupun saya sudah makan dari tempat pertemuan, Mama Cristina menyiapkan makan malam dan kami menikmatinya bersama. Saat makan inilah kami selalu bercerita tentang kegiatan selama hari itu. tentu saja dengan menggunakan Google Translate. Kadang Mama Cristina ingin mengucapkan selamat makan atau salam lainnya dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, maka saya mengajarkannya. Demikian pun saya, Mama Cristina mengajarkan saya berbicara Bahasa Spanyol. Donald anak Mama Cristina yang diadopsinya dari Afrika mulai akrab dengan saya. Dia tidak akan tidur sebelum saya tiba di rumah dan mengajaknya bermain. Donald sangat dicintai oleh Mama Cristina. Donald dirawatnya dengan penuh kasih. Donald yang berbeda dari anak normal lainnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Donald sangat bersih dan ganteng. Tidak seperti di lingkungan saya. Anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental dibiarkan saja, tidak dirawat, atau diberi makan. Parahnya, ada orang tua yang tidak mau mengakui bahwa itu anak mereka lantaran malu. Bahkan saya jumpai ada orang tua mengaku menyesal melahirkan anak demikian dan mengutuk Tuhan.
Untuk tidak merepotkan dirinya membuka dan menutup pintu, Mama Cristina memberikan saya kunci rumah dan kunci pintu gerbang apartemen. Luar biasa, saya orang asing. Baru berkenalan namun saya diberikan kepercayaan oleh Mama Cristina. Untuk itu saya menyimpan kunci rumah tersebut dan saya diminta untuk merasa at home, merasa nyaman dan seperti di rumah sendiri. Oleh karena itu saya selalu bangun pagi dan menolong Mama Cristina menyiapkan sarapan pagi dan mencuci piring setiap selesai makan. Tanggal 29 Desember 2018 saya diajak Mama Cristina ke sebuah tempat bernama Mission Immanuel untuk merayakan natal bersama para pengungsi dari Afrika. Di tempat ini saya dikenalkan kepada seluruh teman-temannya sebagai anaknya yang berasal dari Indonesia.
Dari salah seorang sahabat Mama Cristina yang dapat berbicara Bahasa Inggris, saya disampaikan bahwa semua orang di Mission Immanuel sangat menyukai dan menerima kehadiran saya. Mission Immanuel adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didalamnya bergabung orang-orang Spanyol termasuk Mama Cristina untuk menolong para pengungsi dari Afrika dan mengurus anak-anak Afrika yang memiliki keterbelakangan mental. Mama Cristina bekerja di LSM ini. Ada hal yang sangat mengharukan saya ialah untuk membuka acara natal bersama ini, saya diminta menyanyikan sebuah lagu natal dalam Bahasa Indonesia. Saya pun memenuhi permintaan itu dengan menyanyikan lagu Kenangan Natal Di Dusun Yang Kecil. Setelah itu acara dibuka, dan mereka semua mendoakan Indonesia yang sedang mengalami bencana alam gempa bumi dan tsunami di beberapa wilayah. Saya meneteskan air mata. Tuhan selalu menunjukkan kasihNya.
Selama acara natal bersama berlangsung, ada sejumlah pengungsi dari Afrika bergabung bersama kami. Mereka semua diberikan hadiah natal, makan dan minum anggur bersama. Mereka yang tergabung dalam Mission Immanuel ini tidak memiliki sikap antipati terhadap orang lain. Mereka penuh cinta dan sangat menghargai kemanusiaan orang lain. Mereka penuh simpati dan empati. Mereka tidak munafik dalam memberi. Mereka sangat ramah serta murah hati. Tanggal 1 Januari 2019 setelah ikut merayakan Ekaristi di Paroki San Vicente De Paul, kami makan bersama di rumah keluarga Rafael dan Mama Maria. Rafael dan Maria memiliki anak bernama David yang berusia 24 tahun namun memiliki keterbelakangan mental. Di rumah ini ada 4 orang gadis dari Kroasia yang juga sedang live in selama mengikuti pertemuan Taize di Madri. Kami menikmati barbecue, makan udang, menikmati beberapa makanan Spanyol serta minum anggur bersama. Setelah makan kami masing-masing diberikan hadiah tahun baru dan kartu ucapan selamat. Mama Cristina dan Mama Maria sudah menyiapkan semuanya. Mama Maria juga sangat senang dan mengatakan bahwa saya juga adalah anaknya.
Setelah itu kami diajak berkeliling menikmati tempat wisata di Puerta del Angel. Mengetahui bahwa saya dan Richard pada tanggal 2 Januari 2019 adalah hari terakhir tinggal dirumahnya, Mama Cristina, Bapak Rafael, dan Mama Maria membelikan banyak baju, celana, serta kaos kaki untuk saya dan Richard. Alhasil tas kecil saya yang dibawa dari Perancis hanya berisi beberapa potong pakaian tidak dapat memuatnya. Tanggal 2 Januari 2019 usai mengunjungi Kota Avila, tepat jam delapan malam saya kembali ke rumah. Selama perjalanan di dalam metro pikiran saya sangat galau dan bingung. Galau karena akan berpisah dengan Mama Cristina dan bingung hendak ditaruh dimana pakaian saya yang sangat banyak itu. saya berpikir jalan satu-satunya adalah saya akan membeli plastik untuk sampah yang berukuran besar untuk menyimpan pakaian saya. Di luar dugaan saya, saat saya tiba dirumah, telah menunggu Mama Cristina dengan makanan yang sudah disajikan di atas meja. Mama Cristina meminta saya makan malam dengannya, dan Mama Cristina telah menyiapkan sebuah koper berukuran sangat besar untuk menyimpan pakaian saya. Saya tidak dapat menahan haru dan menangis sambil memeluk Mama Cristina dan Donald. Mama Cristina berkata, tu eres mi corazon . … para siempre eres mi hijo. Siempre rezaré por ti. Ya conoces esta casa. Si vienes a España otra vez, no olvides venir a visitarme, tu mamá. Espero que siempre me contacten. Recuerda, ahí está tu hogar en España. así que por favor ven cuando quieras (kamu adalah buah hati saya. kamu adalah putraku selamanya. Aku akan selalu berdoa untukmu. Kamu sudah tahu rumah ini. Jika kamu datang ke Spanyol lagi, jangan lupa datang mengunjungi saya, ibumu. Saya harap kamu selalu menghubungi saya. Ingat, ada rumahmu di Spanyol. jadi silakan datang kapan pun kamu mau).
Pagi hari tanggal 2 Januari 2019 jam delapan pagi, saatnya saya pamit untuk kembali ke Taize, Perancis. Mama Cristina menemani sarapan pagi saya tanpa kata-kata. Dan saat saat hendak berangkat kembali Mama Cristina mengucapkan kalimat yang sama seperti malam sebelumnya. Saya sangat terharu dan berat meninggalkan mama tua ini. Saya sangat mencintainya seperti mencinta mama saya. Saya juga mencintai Donald seperti mengasihi saudara saya. Dari pengalaman Madrid ini saya menemukan kasih Allah yang tidak berkesudahan. Allah sungguh ada dan hadir dalam diri orang asing dan yang tidak kita kenal. Cinta Allah ternyata melampaui batas.
Dari bukit kecil Taize mengalir pesona Kasih Ilahi yang terpancar ke seluruh dunia. Keramahan dan kemurahan hati mempersatukan. Keramahan kasih Allah selalu mempersatukan setiap insan. “Jangan lupakan keramahan”. Realmente encontré el amor de Dios allí, y no estaría cansado de dar gracias. Dios es real (Saya sungguh menemukan kasih Tuhan di sana, dan saya tidak akan lelah bersyukur. Tuhan itu nyata).
bersambung………..
Madrid, 2 Januari 2019
Oleh Frids WL dan Anastasia Novi Praptiningsih