Oleh Theresia Windy Antika Sukoco, Relawan Komkep KWI untuk Taizé, Perancis 2019
Paroki St. Yohanes Rasul Kedaton, Bandar Lampung
Terobosan yang sangat baik sekali dari Komisi Kepemudaan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) untuk melanjutkan pemilihan delegasi sukarelawan/volunteers yang berangkat ke Taizé, Perancis dengan cara seleksi yang terbuka. Romo Antonius Haryanto, Pr. sebagai penanggung jawab program kerjasama antara Komunitas Para Bruder di Taizé dengan gereja Katolik Indonesia dan para panitia di misi kepemudaan ini berpendapat bahwa kesempatan untuk menjadi delegasi orang muda Katolik dari Indonesia yang melakukan kegiatan kesukarelawanan di Taizé harus terbuka bagi semua anak muda Katolik Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jadilah aku, Tere, dari Paroki St. Yohanes Rasul Kedaton – Bandar Lampung, Lampung dan Rendy dari Keuskupan Agung Tomohon – Sulawesi yang terpilih mewakili anak muda Katolik Indonesia untuk berangkat ke Taizé, melaksanakan kegiatan sukarelawan bersama ratusan volunteers lain yang berasal dari berbagai negara di benua Asia, Afrika, Amerika Latin, dan tentunya Eropa.
Mengulang kembali apa yang menjadi dasar pemikiran proses seleksi terbuka dalam memilih delegasi orang muda Katolik Indonesia yang berangkat untuk misi kepemudaan di Taizé, bagiku merupakan bentuk apresiasi tertinggiku bagi Romo Harydan tim panitia seleksi volunteers Taizé 2019 (aku ingin sekali serukan nama mereka: Anastasia Novi, Kak Stacy Indrawan, Kak Laura, dan Mbak Lisa). Serta tidak terlupa Mas Yusuf, yang meski bukan menjadi panitia seleksi volunteers Taizé 2019, kecintaannya pada Taizé membuat dia memiliki kerelaan untuk membantu tim panitia seleksi volunteers Taizé 2019. Mulai dari membantu sharing situasi kehidupan sebagai volunteers di Taizé (setahun pengalaman Mas Yusuf menjadi volunteer di Taizé pada awal 2000-an memampukan dirinya untuk banyak berbagi pengalaman padaku dan Rendy), hingga memberikan hospitality (keramah – tamahan) yang berlimpah – limpah bagi kami berdua (yang saat itu belum aku pahami kenapa para pemerhati DNTZ – Doa dengan Nyanyian Taizé begitu terbuka satu sama lain, menolong kami seperti kami adalah keluarganya sendiri).
Hampir 3 bulan aku berada di Taizé dan seminggu sebelum tanggal kepulanganku, aku banyak menangis. Tempat yang dulu pertama kali aku tiba begitu terasa asing, saat ini seperti rumah. Para bruder dan suster yang penampilannya sungguh sederhana dan tampak seperti awam, sekarang layaknya seperti keluarga sendiri. Dan momen seminggu sebelum aku kembali ke Indonesia menjadi sangat berkesan karena aku memiliki kesempatan melakukan silence week. Silence week merupakan program hening selama seminggu yang difasilitasi oleh Komunitas Para Bruder di Taizé untuk dijalani oleh para peziarah yang datang ke Taizé. Kesempatan untuk merasakan silence week tersebut juga ditawarkan kepada kami para volunteers untuk kami jalani. Jadi program ini adalah program opsional, tidak wajib kami jalani. Namun, karena sebelum berangkat ke Taizé, aku sempat mendapat cerita dari Novi (salah satu panitia seleksi volunteers Taizé, sekaligus volunteer yang dulu berangkat 2018) bahwa silence week adalah program yang sangat baik dan setiap orang akan merasakan pengalaman personal spiritualnya masing –masing dalam masa hening tersebut, ada baiknya juga jika aku turut merasakan, ujar Novi dulu.
Melalui program silence week, suster pendamping masa heningku saat itu (untuk para volunteers laki – laki didampingi oleh bruder), yaitu Sister Lorela, sambil berkelakar ia menegaskan bahwa sikap hening yang kami sedang lakukan bukan karena dilandaskan keengganan kami untuk bicara dengan manusia lain dan ingin hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Melainkan karena kami berupaya menyediakan jeda dalam perjalanan hidup kami untuk eksklusif mendekatkan diri pada pencipta kita, pada Tuhan. Untuk membuka hati, lebih peka akan keberadaan-Nya di sisi kita dengan tujuan agar kami lebih sensitif untuk mendengar suara-Nya.
Hidup di dunia ini, di masa sekarang, banyak kebisingan yang terus memberondong kita (terus berdatangan dan mengikuti). Kita disibukkan untuk menunjukkan eksistensi kita melalui pemanfaatan teknologi (social media); kita disibukkan dengan pikiran untuk memenuhi tuntutan standar kesuksesan yang diciptakan oleh society; belum lagi pikiran kita seringkali dijejali berbagai keputusan yang harus kita segera ambil, mulai dari hal paling sederhana seperti dihadapkan pada perkara gak penting jadi konten golongan #TimBuburDiaduk atau #TimBuburTidakDiaduk hingga lebaran tahun depan kalau lagi kumpul keluarga, kira – kira harus siapin antisipasi jawaban apa lagi nih atas pertanyaan – pertanyaan typical kumpul keluarga besar yang bikin dahi super berkerut (niatnya basa – basi tapi bikin jengah). Haha, #JustKidding !! Kembali ke topik, intinya pikiran kita dipenuhi berbagai macam pemikiran yang ketika kita berada di titik terendah dalam hidup kita, kita lupa bahwa ada rupa yang selalu berada di sisi kita dalam suka dan duka.
Apa kamu pernah merasakan yang sama seperti aku? Merasa tidak pantas jadi anak Tuhan karena terlalu besar salah dan dosa yang telah diperbuat bahkan terus dilakukan berulangkali? Aku tidak katakan bahwa aku adalah orang yang sudah berhasil sempurna mengatasi perasaan rendah diri seperti itu, tetapi ada gejolak pengalaman yang kurasakan selama momen silence week, yang suster pendamping silence week-ku katakan (Sister Lorela) bahwa setiap pengalaman yang aku peroleh tersebut patut aku hargai, karena itu bukan halusinasi. Melainkan hasil dari upaya hatiku untuk membuka diri, mendengar suara Tuhan. Oleh sebab itu, itu menjadi landasan keberanianku untuk mengatakan seburuk – buruknya aku dan apa yang telah aku lakukan di masa lalu, I am the beloved of God. Aku adalah salah satu anak yang Ia kasihi dan Ia pasti mencariku jika aku hilang, tersesat, tidak tahu arah. Air mataku banyak tertumpah saat aku mendengar ini. Aku merasakan Tuhan mengatakan itu kepadaku secara langsung.
Matahari bersinar banyak saat itu. Angin awal musim gugur menyapa kami lembut. Pagi itu kami, para peserta program silence week, mengawali hari kedua masa silence week kami dengan duduk di kursi luar Silence House mengikuti Bible Introductionyang dibawakan oleh Sister Lorela. Beratapkan tenda berwarna putih dengan setiap sisi terbuka, kami duduk bersama di kursi panjang yang membentuk letter U. Di depan kami ada sebuah meja kayu panjang dan sebuah vas berisi bunga warna – warni di atasnya. Dari situ terlihat jelas banyaknya sinar matahari yang melepaskan sinarnya di halaman tengah Silence House, tepat lurus di hadapan kami. Melengkapi pandangan mata kami melihat rimbun dan tingginya pepohonan serta rumput tebal yang terhampar luas di area Silence House.
Masih jelas dalam ingatanku, Sister Lorela hari itu dengan penuh semangat membuka Bible Introduction dengan bersama – sama menyanyikan Aber du weibt den Weg fur mich, salah satu lagu Taizé yang berbahasa Jerman. Lagu ini bermakna God, gather my thoughts to You. With you is the light, you do not forget me; with you is help, with you is patience. I do not understand Your ways, but You know the way for me.
Silence week berlangsung selama satu minggu, dimulai pada Minggu sore hingga berakhir di Minggu pagi. Setiap pagi dalam momen Bible Introduction, Sister Lorela akan membekali aku dan peserta silence week lainnya dengan dua hingga tiga Bible Text sebagai pedoman renungan per harinya. Dan benang merah dari setiap Bible Text yang Sister Lorela bekalkan pada kami ada pada konteks terkait posisi perempuan dalam perjalanan hidup Yesus. Ini sangat istimewa.