Mendengar Panggilan Tuhan di Perancis

Sebuah Refleksi Relawan di Taizé

Rendy K. Senduk

Relawan Komkep KWI untuk Taizé, Perancis 2019

OMK Bunda Hati Kudus Yesus Woloan

Musim panas hampir berakhir dan seiring berakhirnya pula musim liburan jumlah peziarah yang datang ke Taizé berangsur-angsur mulai berkurang. Ini menjadi waktu yang pas bagi kami memulai pekan keheningan (silence week). Selama seminggu para relawan diberi kesempatan untuk lepas dari berbagai tugas dan tanggung jawabnya dan mulai mendalami spritual pribadinya. Akhirnya pekan ke-2 September menjadi giliran saya untuk menyepi sejenak dari hirup pikuk padatnya aktivitas di Taizé. Ternyata ini bukan hanya kesempatan untuk berada dalam ketenangan, juga mengisitirahatkan badan.

 

Baru saja akan memulai silent week di hari pertama, sayapun jatuh sakit. Dalam keadaan yang kurang prima saya berupaya menjalani pekan ini dengan merefleksikan perjalanan hidup saya sejauh ini. Dibimbing dengan beragam perikop bacaan yang berbeda setiap harinya beserta pendampingan “brother contact” saya. Sebelum memulai ini semua, Br. Xavier, “brother contact” saya, bertanya mengenai tema ataupun hal-hal yang mau direfleksikan. Lalu saya pun menanggapinya dengan menjawab saya mau melihat lagi perjalanan hidup saya dari aspek panggilan hidup. Mengapa demikian?

 

Kesan pertama kali saya terhadap Taizé adalah keadaan lingkungannya yang mengingatkan saya akan lingkungan hidup saya dulu sewaktu di seminari kecil. Kehidupan doa hariannya sangat khas dengan situasi yang saya alami dulu, walaupun konten doa berbeda dan sangat menjaga prinsip nilai ekumenis yang dijalankan para bruder Taizé. Dan tak lupa juga aktivitas hariannya seperti bekerja. Selain itu, selama di Taizé saya sering mengalami kejadian unik. Kebanyakan orang, yang saya temui saat bekerja bersama maupun sekedar menyapa, sering salah kaprah melihat saya. Ada yang bertanya apakah saya seorang rohaniwan seperti bruder/frater ataupun seorang pastor. Tak sedikit pula orang yang dengan spotanitasnya langsung memanggil “brother“. Tentu saya tahu makna konteks panggilan mereka bukanlah merujuk pada suatu panggilan gaul atau dekat kepada seseorang semata. Bahkan ada beberapa relawan yang benar-benar mengira bahwa saya seorang biarawan. Tapi memang ada juga beberapa relawan yang datang ke Taizé adalah biarawan yang mau menghabiskan waktu liburannya di sini. Saya sering meluruskan bahwa saya hanyalah seorang umat layaknya kaum awam lainnya. Tapi saya sangka mereka melihat hanya dari penampilan saja.

 

Dalam hati saya merasa tergelitik dengan kesan mereka dan entah mengapa pula, salah satu pengalaman unik ini mulai memunculkan rasa aneh dalam diri saya. Rasanya Taizé seperti mengajak saya untuk kembali melihat hal ini. Saya jadi teringat dengan perjalanan hidup panggilan saya di masa lalu. Dulu saya seorang seminaris. Saya jalani masa pembinaannya selama tiga tahun. Akhirnya saya diperhadapkan pada suatu keputusan untuk memilih jalan hidup yang terbaik, ketika saya harus memutuskan pilihan hidup saya. Tidak mudah memang untuk berkata “Ya, saya siap!”. Kata Ferguso sih tidak semudah itu. Dalam benak saya waktu itu, sayapun memutuskan tidak lanjut. Pikir saya waktu itu untuk lanjut dengan panggilan ini haruslah totalitas 100% untuk Tuhan dan pemberian diri tidak boleh hanya setengah-setengah. Dan bagi saya, saya belum siap untuk itu. Dengan meninggalkan pilihan tersebut, saya mengalihkannya ke arah yang lain sambil melanjutkan studi ke jenjang perkuliahan.

 

Dalam pekan keheningan saya kembali berproses dengan hal ini. Berproses dalam keheningan dan melihat kembali perjalanan hidup saya serta maksud Tuhan untuk saya di baliknya. Saya menyadari bahwa panggilan Tuhan itu unik dan khas. Ia datang ke setiap pribadi dalam wujud yang berbeda-beda. Segala proses dan pengalaman hidup panggilan yang dialami di masa lalu dapat disalurkan ke arah yang lain. Hal inilah yang masih saya yakini dan jalani. Saya lalu teringat salah satu pesan Paus Fransiskus yang menyatakan bahwa panggilan Tuhan itu tidak pernah jelas. Tidak sejelas yang kita dengar. Ia datang tanpa suara, namun tidak pernah memaksakan kebebasan kita. Toh kalaupun Tuhan membutuhkan saya untuk karya-karya khusus perutusannya dengan segala daya dan kuasanya pasti akan menuntun kita ke arah panggilan hidup yang mulia ini.

 

Melayani Tuhan tidak harus menjadi seorang rohaniwan/biarawan dulu untuk melayani sesama umat kaum beriman. Perjumpaan yang saya temui pula di Taizé dengan jelas menggambarkan itu. Ketika di Taizé para bruder memegang peran penting dalam membimbing aspek spritual para peziarah. Tapi mereka juga membutuhkan sosok awam (dalam hal ini para relawan) untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Sebagai seorang relawan, saya banyak terlibat dalam berbagai tugas dan pekerjaan yang melibatkan para bruder dan para peziarah/pengunjung. Bagi saya Tuhan sudah punya rencana baik dalam diri saya yang mulai dia persiapkan lewat pribadi saya untuk dibagikan dengan semua orang dalam berbagai wujud.

 

“Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Flp 1:6)

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *