TAIZÉ AND VOLUNTEERING

TAIZÉ DAN KESUKARELAWAN

 

Kepulangan kami dari Perancis memunculkan rasa ingin tahu banyak orang. Banyak yang penasaran dan bertanya-tanya, apa yang kami lakukan di sana? Liburankah? Kok tiba-tiba bisa ke Perancis? Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kami pergi ke salah satu negara di benua Eropa. Berawal dari informasi Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KOMKEP KWI) yang beredar di grup-grup media sosial OMK setempat, menggerakkan kami untuk mencoba mendaftar. Dan hasilnya, kamilah yang terpilih di antara ratusan OMK pendaftar. Suatu rahmat yang luar biasa bagi kami mendapatkan kesempatan ini. Awalnya kami bingung, karena kami belum punya gambaran jelas akan seperti apa nantinya pekerjaan di Taizé. Tapi, seiring waktu, kami mulai mendapatkan potongan demi potongan Taizé secara umum.

Komunitas Taizé (Communauté de Taizé) merupakan komunitas persaudaraan yang ingin mengungkapkan bahwa kehidupan komunitas adalah tanda rujuk kembali (rekonsiliasi) antara umat Kristiani serta bangsa-bangsa yang terpisah. Lokasinya terletak di  sebelah tenggara Perancis, dua jam berkendara dari kota Lyon (kota terbesar kedua sesudah Paris). Kami sempat bingung apa nama tarekat dari para bruder Taizé, karena kata Taizé sendiri merupakannama desa tempat komunitas ini berdiri. Dan benar saja, pendiri komunitas ini, Bruder Roger, mengadaptasi namadesa Taizé sebagai nama komunitas. Bagi kami, komunitas ini unik, karena merupakan komunitas ekumenis dengan bruder-bruder yang berasal dari berbagai denominasi Kristen. Ada yang Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan, Reformer dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, para bruder berasal dari tiga puluh negara yang tersebar di benua Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan ada juga 4 bruder dari Indonesia. Komunitas Taizé hidup dan berkembang dengan mengadaptasi tradisi Katolik beserta beragam tradisi Protestan, sehingga menjadi sebuah kesatuan ekumenikal yang inklusif bagi semua orang Kristen. Itulah mengapa komunitas ini tidak terikat dengan Tahta Suci (Vatikan) layaknya suatu kongregasi atau tarekat orang religius Katolik lainnya. Tetapi komunitas ekumenis ini tetap mendapat pengakuan dari Vatikan. Bahkan mereka punya agenda rutin istimewa untuk beraudiensi dengan Sri Paus. Kehidupan di dalam komunitas terpusat pada doa dan meditasi Kristen.

Datang ke Taizé serasa berada di persimpangan. Untuk pertama kalinya, kami bisa berjumpa dengan orang muda Kristen dari lintas benua. Di antara mereka yang datang sebagai peziarah, ada pula yang datang secara khusus untuk menjadi relawan baik terundang, maupun datang atas inisiatif sendiri. Daya tarik Taizé menjadi magnet bagi siapa saja yang mengetahuinya, terutama menarik lebih banyak orang muda dari berbagai negara di penjuru dunia. Tak hanya generasi milenial, tapi juga segala jenjang usia. Banyak di antara orang muda, yang kami tanya, datang ke Taizé tidak hanya sekali, dua kali saja. Ada yang sudah datang belasan kali sampai menjadikan Taizé tempat wajib dikunjungi tahunan saat liburan musim panas.

Mengapa lebih banyak orang muda yang menjadi relawan Taizé? Kami memandang bahwa orang muda dipilih mengingat banyak pula peziarah muda yang datang ke tempat ini. Melihat situasi di lapangan, mayoritas yang berziarah ke Taizé adalah orang muda. Maka menurut kami, komunitas punya alasan khusus melibatkan orang muda sebagai relawan dalam aktivitas perziarahan. Orang muda memiliki cara yang unik dalam hal pendekatan dan komunikasi. Meskipun begitu, masih terdapat juga beberapa relawan yang sudah berusia lanjut. Setiap relawan yang datang ke Taizé punya durasi dan status yang berbeda-beda. Ada yang datang kira-kira hanya untuk sebulan (biasanya saat musim panas), lebih dari dua sampai tiga bulan (seperti kami [Rendy & Tere]), di atas tiga bulan sampai satu tahun. Orang muda Kristen yang diundang secara khusus melalui kerjasama komunitas Taizé dengan komisi gerejaterkait, umumnya menjalankan program volunteering selama kurang lebih tiga bulan. Jika tertarik untuk menetap lebih lama, komunitas memperbolehkan relawan tersebut untuk memperpanjang durasi tinggalnya maksimal sampai setahun dengan memperhatikan ketentuan keimigrasian.

Para bruder Taizé tidak mampu mengakomodir peziarah yang terbilang sangat banyak tanpa bantuan relawan muda, sekalipun ada juga para suster dari beberapa kongregasi yang membantu. Bayangkan saja, jumlah para bruder yang tidak lebih dari 130 orang ini belum dikurangi beberapa bruder yang sedang bermisi di negara lain, harus menghadapi ribuan pengunjung/peziarah setiap pekan. Sebagai contoh, pada suatu pekan di musim panas (peak season) bulan Agustus, kami pernah menangani peziarah yang berjumlah tiga ribuan orang. Di saat para bruder fokusmemberikan bimbingan iman untuk peziarah, kami ditugaskan untuk membantu kelancaran kegiatan rohani para peziarah. Jenis-jenis pekerjaan yang kami lakukan mulai dari memasak, memfasilitasi pendalaman Kitab Suci, membersihkan gereja dan barak penginapan, menyanyi dalam kelompok koor, mendirikan tenda, menjaga keamanan selama aktivitas peribadatan dalam gereja berlangsung dan masih banyak lagi.

Masing-masing bruder punya peran mengawasi dan mengkoordinir setiap bidang pekerjaan. Tugas-tugas yang kami jalankan selama menjadi relawan terbilang unik, menantang, menyenangkan, dan tentunya melelahkan. Setiap tugasdan tanggungjawab kami berkaitan satu sama lain. Itulah sebabnya, kejadian yang keliru di satu bagian bisa punya dampak yang signifikan ke aktivitas lainnya. Pengalaman bekerja dengan relawan lintas benua menyadarkan kami bahwa tidak mudah untuk bisa berkoordinasi dan berkolaborasi secara efektif dalam satu bidang pekerjaan. Banyak hal yang bisa terjadi, seperti komunikasi (bahasa) dan preferensi cara mengeksekusi suatu pekerjaan. Para relawanakan mendapat tugas yang berbeda setiap minggunya. Jika sudah menemukan pola kerja dan terbiasa dengan ritmetugasnya akan sangat mudah untuk melakukannya. Beberapa bidang pekerjaan di Taizé sudah memiliki standard operation procedure, seperti pekerjaan di dapur saat memasak, mengolah bahan-bahan makanan, dll; di gereja saat menata posisi tempat duduk para bruder, relawan, peziarah serta cara membersihkan/mengatur segala properti peribadatan. Umumnya, semua tugas dapat terlaksana dengan baik, karena kebanyakan para relawan punya sifattoleransi dan saling pengertian satu sama lain apabila didapati ada teman yang kesulitan saat bekerja. Dari proses-proses inilah terpupuk rasa solidaritas yang akhirnya bermuara pada persahabatan tanpa batas SARA. Kuncinya adalah jangan pernah ragu dan malu untuk bertanya sedetil mungkin.

Komunitas Taizé sangat menekankan bahasa Inggris sebagai common language. Itulah mengapa komunitas menyarankan supaya para relawan yang datang telah mempelajari bahasa asing sekurang-kurangnya bahasa Inggris, demi memperlancar komunikasi satu sama lain. Kami mendapati bahwa tidak semua relawan yang datang ke Taizé mampu berbahasa Inggirs secara fasih. Namun seiring berjalannya proses, umumnya mereka dapat menyesuaikan dan tetap mampu berinteraksi dengan baik satu sama lain. Malahan kemampuan berbahasa mereka semakin terbantu dan meningkat.  Merupakan sebuah berkat bagi kami karena melalui program ini kami mendapat banyak kenalan, teman, sahabat dari berbagai penjuru dunia. Mendengarkan pengalaman hidup iman mereka serta memahami kearifan budaya mereka. Kami juga diberikan kesempatan untuk berbagi kekayaan budaya lewat seminar lintas benua. Seminar ini dilaksanakan setiap bulan sesuai yang dijadwalkan. Dalam setiap sesi, para relawan akan berbagi informasi terkaitNegara dan benua tempat mereka tinggal. Topik-topik yang dibahas, seperti gambaran negara secara umum, bagaimana perkembangan iman Kristen di sana, apa yang menjadi isu paling dibicarakan di negara asal dan pertunjukan budaya.

Selain itu, layaknya para peziarah mendapat bimbingan rohani selama di Taizé, demikian pula para relawannya. Setiap relawan akan mendapat seorang pembimbing rohani (bruder/suster). Dalam hal ini kami menyebutnya contact brother untuk relawan lelaki dan contact sister untuk relawan perempuan. Mereka punya peran strategis membimbing kami dalam pengembangan iman secara personal. Para relawan juga dapat memanfaatkan ini sebagai momen untuk berbagi pengalaman, keluh-kesah, pergumulan hidup serta pengetahuan iman. Kehadiran mereka sangatlah membantu para relawan. Mereka hadir sebagai orang tua kami tatkala kami harus terpisah dan merindukan sosok orang tua tercinta di negara asal. Pada akhirnya, harus kami akui bahwa perjalanan perziarahan sebagai relawan OMK di Taizé meninggalkan banyak kenangan indah. Terlebih kami pergi meninggalkan keluarga dan ketika kembali lagi ke Indonesia kami pun harus meninggalkan keluarga (baru) lainnya. Nilai-nilai kesederhanaan, sukacita, belas kasih senantiasa tinggal dalam hati kami sebagaimana cinta Tuhan dinyatakan kepada kami dalam Kristus Yesus melalui komunitas Taizé.

 

Artikel ini menceritakan perjalanan Rendy (Keuskupan Manado) dan Tere (Keuskupan Tanjung Karang) sebagai Youth Volunteer perwakilan OMK Indonesia beserta gambaran umumnya selama berada di Taizé.

 

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *