Teman Seperjalanan: Karena Manusianya, Maka Kita Betah

Teman seperjalanan.

Sesaat setelah menyelesaikan proses pembekalan materi terkait bagaimana kehidupan para relawan di Taizé akan berjalan, frasa “teman seperjalanan” kusadari menjadi frasa yang penting untuk aku hayati dalam lakuku sedari awal pengalaman ini akan dimulai.

“Teman seperjalanan? Dalam konteks menjadi relawan di Taizé ini maksud kamu seperti apa, Tere?

Ingatkan selama hampir tiga bulan, ada dua OMK terpilih dan kitalah yang pada akhirnya akan menjalani masa “volunteering” di Taizé? Tiga bulan bisa saja akan menjadi waktu yang singkat, tetapi mungkin juga akan terasa sangat lama. Mungkin saja akan banyak kenangan hangat, tetapi tidak menutup kemungkinan akan tercipta memori yang memancing air mata. Hingga akhirnya petualangan kami dimulai saat kami tiba di Geneva Airport (bandara transit kami yang ke-2, sebelum melanjutkan perjalanan darat ke Taizé).

“I really want to shout out to Rendy as my Taizé volunteering partner. He never left me behind and taught me a lot of kinds of stuff about the airport and many other things about going abroad. Yes, this was my first time going overseas. It makes me nervous. But then, that’s the essential thing that Rendy and I learn together. It’s all about TEAMWORK.

Teamwork.

Aku dan Rendy percaya ini adalah salah satu nilai penting yang harus kami (juga relawan selanjutnya) pegang erat dalam menjalani proses “volunteering” di Taizé. Terutama karena proses ini dilaksanakan di negara lain(Perancis) yang memiliki perbedaan kultur budaya dari negara benua Asia. Kami berdua, juga kalian selanjutnya, hanya memiliki satu sama lain di sana. Sehingga, penting sekali untuk saling percaya bahwa “we both (you both) have each other’s back”. Akan ada perasaan rindu keluarga, rasa jenuh saat bekerja dan/atau ada kalanya tanpa sengaja terjadi selisih paham dengan relawan lain. Kondisi-kondisi tersebut pasti akan dialami oleh siapa saja yang menjadi relawan diTaizé. Namun, ketika nilai “teamwork” ini benar-benar “works”, tanpa kita sadari situasi-situasi sulit pun dapat terlewati dan teratasi. Ingatlah bahwa kita punya “teman seperjalanan”, yaitu teman satu asal (Indonesia) yang tentunya bisa jadi tempat kita bercerita dan bertukar solusi (baca: rekan sebaya senasib sepenanggungan, hehehe); di samping pendamping rohani yang disediakan komunitas Taizé untuk membimbing kerohanian setiap relawan.

Setara.

Ini adalah nilai lain yang ingin aku “highlight” dari Rendy, teman seperjalananku sekaligus sekarang seperti “my own brother, hehehe. Setara? Bagaimana maksudnya? Singkat cerita, meskipun Rendy sudah punya lebih banyak pengalaman tentang “cross cultural understanding”:

“He really kept considering my opinion about a particular situation that involved some persons and would give impacts in-betweens.”

Ceritanya, dulu saat masa “volunteering”, kami sama-sama pernah mendapat kesempatan sebagai “Responsible Person bagi relawan yang bertugas mendampingi anak-anak seumuran anak sekolah minggu dan pra OMK (Olinda). Tetapi saat itu, aku lebih dulu menjalani pekerjaan itu dibanding Rendy. Suatu kali, Rendy juga mendapat tugas yang sama seperti yang dulu aku dapat dari Brother JeanPatrick. Bentuk tugas yang kami lakukan, yaitu memberikan “showcase” dari lagu dan tarian asal negara kami di hadapan orang tua dan anak-anak. Lirik lagu tersebut harus ditulis di karton berukuran besar. “I remembered at that time”, aku yakin Rendy bisa mengerjakan hal itu seorang diri. Tetapi sehari sebelum “showcase”, setelah doa malam, Rendy meminta pendapatku tentang tampilan alat peraga liriknya. Sesungguhnya dia sudah punya imajinasinya sendiri tentang bagaimana alat peraga lirik itu akan dia buat dan berapa banyak lirik yang akan dia tuliskan di dalamnya.

“But at that time, he trusted me to decide how long and which parts of the lyrics that would be perfect and also attractive to be sung together. Or maybe I’m just a great influencer?! LOL kidding. The most important thing was the showcase ran smoothly as well for Rendy.

Dua nilai di atas mengingatkanku pada obrolanku dengan Sister Wendy (Suster Pendamping). Beberapa hari sebelum aku dan Rendy kembali ke Indonesia. Kataku kepadanya: “Suster, Taizé sangat aneh. Pertama kali tiba, aku cukup banyak menangis karena ‘homesick’. Tapi sekarang, I really want to stay longer. I feel Taizé-sick.” Dari sekian banyak balasan kata yang Sister Wendy sampaikan padaku, ada pesan yang sangat membekas di ingatanku: “Manusia membuat suatu tempat menjadi indah. Taizé bukan apaapanya tanpa manusia (aku, kamu, kita). Manusialah yang berkeinginan untuk mewujudkan Taizé sebagai tempat bagi semua. Saat ini, kamu sedang punya kesempatan untuk kembali, merawat tempat (merawat manusia) darimana kamu berasal.

“There are no goodbyes for us, Tere. Wherever you are, you will always be in my heart. God knows when we shall meet again.

Here are my pieces of the story with Rendy (my very best of Teman Seperjalanan); together with one of memorable conversation that I had with one of the warm-hearted sisters in Taizé, Sister Wendy.

Tere

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *