Musim panas merupakan waktu menyibukan bagi Komunitas Taizé. Liburan di musim ini menjadi salah satu opsi terbaik para peziarah untuk berkunjung ke sana. Itulah sebabnya pada musim panas Komunitas Taizé sangat membutuhkan relawan muda. Sepanjang musim panas, kami menjumpai banyak relawan yang berasal dari berbagai negara lintas benua. Saat-saat itulah kami merasakan bahwa Taizé bagaikan sebuah persimpangan di mana kami berjumpa dengan orang-orang dari negara yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya.
Keragaman para relawan yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa & budaya, ternyata menjadi momentum spesial yang rutin bagi komunitas dalam memperkenalkan setiap representasi relawan lintas benua. Komunitas Taizé pun mengemasnya dalam bentuk lokakarya (workshop). Dalam lokakarya ini, secara singkat para relawan diminta untuk memperkenalkan negaranya masing-masing, bagaimana perkembangan Kekristenan di daerah asal mereka, tantangan-tantangan yang harus dihadapi umat Kristen dan yang tidak kalah penting penting adalah pertunjukan seni-budaya. Seingat saya sewaktu tiba di Taizé, South American Workshoptelah terlaksana.
Lokakarya untuk benua Asia kali ini terbagi menjadi dua yaitu, Middle East Workshop yang dilaksanakan terpisah dengan Asian Workshop. Dengan bimbingan dan pengawasan dari Bruder Jean-Patrick (salah satu koordinator relawan wilayah Asia), lokakarya yang dilaksanakan pada hari Sabtu sore kami persiapkan sejak hari Senin. Dalam sesi ini, masing-masing perwakilan negara diberi waktu presentasi dengan durasi maksimal 20 menit. Asian Workshop ini terdiri atas 8 negara: Indonesia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Cina, Taiwan, Hongkong.
Saya & Tere tidak sendiri mempersiapkan presentasi ini, kami bersama dengan dua teman relawan dari Indonesia yaitu, Simon & Particia. Saat kami tiba di Taizé, Simon & Patricia telah lebih dahulu tinggal di desa ini. Mereka merupakan relawan kaum muda Kristen Indonesia perwakilan dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Perlu diketahui, Komunitas Taizé telah menjalin kerjasama dengan beberapa institusi/lembaga yang menaungi orang-orang muda Kristen di Indonesia, yaitu: Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KOMKEP KWI) untuk Orang Muda Katolik (OMK) serta Sekolah Tinggi Teologi (STT) di Jakarta & Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta untuk orang muda Kristen.
Kami mulai merancang ide-ide apa saja yang akan dipresentasikan. Beruntunglah kami karena masih bisa memanfaatkan beberapa properti bertema Indonesia peninggalan relawan-relawan Indonesia sebelumnya. Tak ragu kami pun saling berbagi tugas, saya & Simon fokus pada materi presentasi, sedangkan Tere & Patricia fokus pada persiapan tarian. Dalam kesempatan tersebut, kami sepakat untuk menampilkan Tari Kreasi Maumere. Menurut kami tarian Maumere cukup populer di Indonesia dan gerekannya tergolong mudah untuk dipelajari dalam waktu singkat. Selain fokus dalam mempersiapkan materi yang akan dipresentasikan, kami berempat juga berusaha keras untuk latihan dan menguasai tarian ini.
Di samping mempersiapkan presentasi tentang Indonesia, secara kolektif kami juga mempersiapkan keseluruhan acara ini. Beberapa pertemuan kami laksanakan demi mematangkan konsep acara ini, mulai dari memaparkan ide-ide yang akan dipresentasikan setiap negara dan mempersiapkan properti serta lokasi lokakarya. Tak lupa, kami berdiskusi pula tentang pertunjukan penutup yang akan ditampilkan bersama-sama. Selain melihat secara khusus semua presentasi seni-budaya setiap negara, kami juga sepakat untuk membawakan lagu Here I am to Worship dari Hillsong Worship dan tarian Maumere sebagai pertunjukan penutup. Teman-teman punya penilaian yang hampir serupa, tarian ini relatif mudah untuk dipelajari. Saya, Simon, Tere dan Patricia pun punya tugas ekstra untuk memberi gambaran dan latihan kilat kepada teman-teman.
Waktunya pun tiba, Sabtu pukul tiga sore, Bruder Jean-Patrick membuka secara resmi Asian Workshop. Presentasi setiap negara pun silih berganti dan diakhiri dengan tepuk tangan meriah penonton. Pada saat tiba giliran bagi kami relawan dari Indonesia, saya & Simon secara bergantian berbicara tentang Indonesia. Bermodal peta, kami menunjukkan di mana lokasi Indonesia beserta penjelaskan singkat tentang kekayaan dan keragaman yang terdapat di negara berslogan: “Berbeda-Beda tetapi tetap Satu” ini.
Kami juga menyampaikan bagaimana Katolik serta denominasi Kristen lainnya masuk dan berkembang di tanah air beserta tantangan yang masih dihadapi di negara dan era yang menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat beragama ini. Kami juga berbagi cerita bagaimana segelintir kelompok radikal tertentu, yang intoleran, berusaha menyerang kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat dengan ujaran-ujaran kebencian. Ini pada akhirnya bermuara pada penistaan agama-agama tertentu dan justru malah dimanfaatkan oleh oknum atau golongan berkepentingan khusus sebagai senjata mencapai hal-hal tertentu yang tentunya hanya akan lebih merugikan dan memperburuk keadaan.
Asyik bercerita tentang hal-hal tersebut, kami lanjutkan dengan membahas keragaman alam & kebudayaan Indonesia. Di sini, kami menggambarkan betapa bersyukurnya kami dianugerahi dengan kekayaan alam flora dan fauna serta suku, ras, bahasa dan kekayaan-kekayaan lainnya yang belum tentu bisa ditemui di negara lain. Presentasi pun kami akhiri dengan menampilkan Tari Kreasi Maumere. Awalnya terasa canggung bagi saya, karena hanya kami berempat yang menari. Sehingga akhirnya, kami pun turut mengajak hadirin untuk ikut menari di tempat. Sambil mengikuti perintah “ke kiri” lalu “ke kanan”, semua orang ambil bagian mengikuti setiap gerakan kami. Terasa atmosfir waktu itu begitu penuh sukacita beriringan dengan tawa setiap orang. Sungguh pengalaman yang mengesankan.
Di penghujung lokakarya tersebut, kami, para relawan bersatu dalam satu barisan sejajar memanjang menyanyikan lagu Here I am to Worship. Setelahnya, dalam balutan pakaian khas/tradisional dari setiap negara, kami semua melanjutkan dengan foto bersama serta menari kembali Tari Kreasi Maumere. Semua orang kembali riuh saat lagunya diputar. Kami mengajak semua orang dalam aula untuk maju ke depan dan ikut menari. Terlihat semua orang larut dalam kegembiraan. Beberapa bruder juga terlihat hadir ikut memeriahkan akhir dari lokakarya itu, termasuk bruder dari Indonesia.
Setelah rangkaian lokakarya selesai, tak sedikit rekan-rekan relawan dari negara lain yang menyapa kami satu per satu untuk menyampaikan kekaguman mereka akan setiap presentasi dan penampilan kami. Ada juga beberapa peziarah, yang turut hadir dalam lokakarya tersebut, menyapa dan antusias mengekpresikan pengalaman mereka tentang Indonesia. Di antara para peziarah yang menyapa kami ternyata sudah pernah mengunjungi Indonesia dan beberapa negara lain di kawasan ASEAN, bahkan punya kerabat dan teman di Indonesia.
Kami bersyukur lokakarya ini bisa berjalan dengan lancar berkat kerjasama teman-teman sesama relawan. Saya kagum dengan penjabaran berbagai kisah rekan-rekan relawan tentang negaranya masing-masing. Terutama tentang bagaimana benih Kekristenan tumbuh dan berkembang dalam rupa-rupa tantangan masa kini. Bisa dibilang ini merupakan lokakarya pertama saya untuk skala internasional. Saya memiliki kebanggaan tersendiri bisa berbagi ini semua bersama dengan teman-teman relawan dan para peziarah. Saya sadari ada banyak cara untuk melayani Tuhan dan sesama. Salah satunya aksi nyata itu dapat diwujudkan dalam berbagi kisah dan pengalaman (iman) kita sendiri. Inilah yang saya dapati dan temui di Taizé, menjadi saksi bagaimana karya Tuhan berkembang dalam kekhasannya.
Rendy K. Senduk
1 thought on “Asian Workshop: Cerita Asia Menyapa di Taizé”
Gee
(Mei 12, 2020 - 10:08)Nice article! Terrnyata disana ada sesi workshop untuk sosialisasi neegara satu sama lain, yaa
Thanks for sharing^ ^