Solidaritas Orang Muda Katolik Indonesia

Covid 19 dan Solidaritas Orang Muda Katolik Indonesia

 

Covid 19 telah menggoyangkan sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak awal tahun 2020 hingga entah kapan. Indonesia berduka sekaligus hampir kebingungan menghadapi wabah yang bermula dari Wuhan, Negeri Tirai Bambu, dan sekarang menyebar hingga sudut-sudut negeri ini. Penyebaran yang begitu cepat dan masif itu memakan korban tanpa memandang bulu; yang kaya dan miskin; pejabat maupun orang biasa. Orang yang dua tiga hari berpapasan dengan kita, tiba-tiba dikabarkan sudah dirawat di ruang isolasi. Virus ini berwajah bak musuh yang tak dikenal yang entah dari sisi mana, dan kapan ia menyerang.  Ia seperti angin, yang menampar muka dan merenggut nyawa siapa pun yang ia mau.

Saban hari media memberitakan ribuan nyawa melayang. Keluarga, sahabat dan kenalan ditinggalkan dengan ratap tangis yang tak terkira. Dengan protokol kesehatan yang ketat, mereka dimakamkan, agar tak ada lagi yang terpapar oleh virus, yang hingga saat ini belum ditemukan vaksin  yang sanggup menangkalnya. Bukan saja kematian, Covid 19 menyebarkan virus ketakutan yang meraja-lela. Ketakutan yang serentak melahirkan kecemasan tingkat tinggi. Dan kecemasan itu melumpuhkan pikiran untuk sekedar berpikir jernih dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat berhadapan dengan wabah yang terus memakan korban.

Kita belum sanggup melumpuhkannya, maka tak ada jalan lain kecuali melakukan tindakan pencegahan yakni dengan social distancing, physical distancing, pembatasan sosial berskala besar  hingga karantina wilayah. Kebijakan tersebut menjadi sesuatu baru yang merontokkan normalitas kehidupan masyarakat. Penerapan kebijakan ini telah melumpuhkan roda perekonomian. Banyak sektor perekonomian macet. Jutaan tenaga kerja dirumahkan. Banyak yang coba bertahan, tapi tak sedikit pula yang memilih “mudik“ untuk melanjutkan kehidupan di kampung halaman. Mereka yang mendapat rejeki dari adanya kerumuman dan pergerakan dari satu wilayah ke wilayah lain seperti pedagang di pasar, pekerja di bidang jasa tranportasi dan parawisata, buruh harian, pun “mati kutu“ tak berdaya.

Pola kehidupan dan budaya “ketimuran“ kita yang selalu berkumpul, gotong royong, bertetangga, bersosialisasi pun mesti dihentikan. Orang harus tinggal di rumah. Semboyan “Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh“ untuk sementara tidak dianjurkan untuk dihidupi. Kita mesti “bercerai“ agar tidak terpapar virus yang kejam ini, dan serempak bersatu tekad untuk menaati protokol kesehatan: pakai masker, cuci tangan menggunakan sabun, jaga jarak, mengurangi aktivitas di luar rumah. Jika kita pun harus keluar rumah, maka kita mesti waspada dengan setiap orang yang kita jumpai. “Mencurigai“ orang lain seolah menjadi sikap baru yang harus dipraktikkan setiap hari: demi memutuskan rantai penyebaran Covid 19.

Aktivitas keagamaan pun terdampak. Tak ada lagi kerumuman di tempat ibadah. Bukannya meragukan kemahakuasaan Tuhan, tetapi bagaimana kita mesti menggunakan nalar yang telah dianugerahkan Pencipta berhadapan dengan virus yang mematikan ini. Orang harus meninggalkan ruang sosial keagamaan dan berbalik menuju ruang privat. Menemukan Tuhan di ruang keluarga, sekaligus merenungkan secara personal betapa rapuhnya hidup kita di dunia ini, seraya mendaraskan permohonan agar badai ini segera berlalu.

Lantas, apakah di tengah situasi itu kita pun angkat tangan dan menyerah? Apakah kita pun kemudian tidak berbuat apa-apa melihat banyak orang menangis dan meratap di tengah penderitaan, kelaparan, ketakpastian dan kehilangan harapan?

Siapa pun pasti prihatin dan simpati dengan mereka yang menderita, khususnya orang-orang yang terdampak langsung dari wabah yang tak tahu kapan selesainya. Namun prihatin dan simpati tak cukup. Hati kita tak cukup untuk tergerak oleh belaskasihan. Mesti ada sikap dari tergerak ke bergerak. Itulah solidaritas yang nyata. Bukan berhenti pada rasa kasihan, menyesal dan mengutuki virus ini, tetapi mesti melakukan tindakan nyata untuk menolong sesama saudara yang menderita.

Meskipun, saat ini sudah mulai masuk dengan era normal baru, namun tetap dengan ajakan mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Kemudian, sebagai Orang Muda Katolik dari berbagai wilayah di Indonesia tetap berjibaku menggalang solidaritas untuk membantu sesama. Kegiatan yang diadakan OMK di seluruh Indonesia dari sejak April 2020 ini terangkum dalam video ini: https://youtu.be/fJ41phkBLhs

Covid 19 telah meluluh-lantakan sendi kehidupan kita, tapi solidaritas dan sikap berbela rasa tak akan pernah runtuh. Satu tindakan lebih bermakna dari seribu kata-kata. Dan oleh karena itu “ Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang (Galatia 6:9-10a).

 

 

Catatan: semua foto aksi inspiratif OMK Indonesia ini merupakan bagian dari program ‘Angels Challenge‘ di Instagram @omknet oleh Komkep KWI.

 

Oleh RD Beben Gaguk, Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Ruteng, Nusa Tenggara Timur

 

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *