Seorang Uskup yang Berdoa

Siang itu, cuaca panas di pelabuhan Tarakan, Kalimantan Utara. Angin bertiup kencang. Ombak lautan agak bergejolak.  Serombongan orang hendak menyeberang ke kepulauan Derawan. Mgr. Pius Riana Prapdi adalah seorang di antaranya, bersama dua imam dan delapan awam. Speedboat adalah alat transportasi yang hendak digunakan.

 

Terjadilah perundingan menarik di antara para calon penumpang itu, tentang ‘siapa yang akan duduk di mana’. Maklum, terpal penutup kapal hanya separuh badan perahu. Yang dapat lokasi berterpal, akan terlindung dari angin dan cipratan ombak, namun tidak dapat melihat pemandangan.  Yang duduk di tempat tidak berterpal akan memperoleh pemandangan indah, namun juga terkena panas matahari, angin dan ombak.

 

Sedang seru-serunya berunding, bahkan setengah berdebat, seseorang tiba-tiba bertanya kepada Mgr. Riana yang selama itu hanya diam saja menyaksikan perundingan. “Monsinyur mau duduk di mana?” Jawaban Mgr. Riana sungguh di luar perkiraan. Beliau berkata, “Kalian duluan saja, saya belakangan.” Mendengar ucapan itu, semua orang yang tadinya ramai bersuara, jadi terdiam.

 

Kerendahan Hati sebagai Suatu Keutamaan

Mgr. Riana lahir di Paniai, Papua, 5 Mei 1967.Meskipun lahir di Kabupaten Paniai, hingga masa remajanya, beliau tumbuh besar di Nandan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

 

Mgr. Riana masuk Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan (Magelang) pada 1983 dan tamat pada 1987. Beliau menjalani pendidikan sebagai imam di Keuskupan Agung Semarang dan ditahbiskan sebagai imam pada 8 Juli 1995. Motto tahbisan beliau adalah ‘Serviens in Caritate’ (Pelayanan dalam Kasih).

 

Menjadi pastor rekan di Paroki Sragen – Gereja Maria dari Fatima hingga 1997, Mgr. Riana kemudian menjadi pastor kepala Paroki Sleman – Gereja St. Aloysius Gonzaga hingga 1999. Karya selanjutnya adalah menjadi Direktur Yayasan Dinamika Edukasi Dasar hingga 2001. Pada 2001-2003, Mgr. Riana menempuh studi Teologi Moral. Studi itulah yang mengantar beliau menjadi staf pengajar di Fakultas Wedabhakti; dan secara bersamaan, menjadi pastor rekan di Paroki Kidulloji (2003-2005).

 

Pada 2006-2009 Mgr. Riana menjadi Direktur  Caritas Keuskupan Agung Semarang, lalu pada 2008-2009 menjabat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang. Selama satu tahun kemudian, 2009-2010, Mgr. Riana menjadi Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Pada 2010-2012 beliau kembali menjadi Vikjen KAS. Pada 25 Juni 2012, beliau ditunjuk oleh Paus Benediktus XVI sebagai Uskup Ketapang, menggantikan Mgr. Blasius Pujaraharja yang pensiun.

 

Mgr. Riana ditahbiskan menjadi uskup di Katedral St. Gemma Galgani, Keuskupan Ketapang pada 9 September 2012. Penahbis utama adalah pendahulu beliau, Mgr. Blasius Pujaraharja, dan Uskup Ko-Konsekrator adalah uskup Agung Pontianak, Mgr. Hieronymus Herculanus Bumbun dan Uskup Agung Semarang, Mgr. Johannes Pujasumarta.

 

Dengan pengalaman karya pastoral yang begitu lama dan bernas, Mgr. Riana tampil sebagai seorang uskup yang rendah hati. Kerendah-hatian itu tampak, di antaranya, seperti kisah di lautan Tarakan yang diceritakan di awal tulisan.

 

Pernah ada suatu pengalaman menarik di Kapel Wisma Keuskupanj Manado. Suatu pagi, sebelum misa, dilaksanakan ibadat pagi (brevir). Sudah hadir di kapel itu: Mgr. Yos Suwatan (Uskup Manado), Pastor John Montolalu (Sekretaris Keuskupan Manado) dan Mgr. Riana sendiri. Seorang tamu perempuan, masuk ke dalam kapel itu dan duduk paling belakang, tanpa memegang buku brevir. Tak seberapa lama, Mgr. Riana menghampiri tamu perempuan itu dan memberinya buku brevir yang halamannya sudah disiapkan untuk beribadat harian pagi itu. Mgr. Riana, tampaknya tidak membiarkan seorang pun tertinggal.

 

Jika berkesempatan berjumpa dengan orang-orang muda, Mgr. Pius Riana Prapdi terbiasa untuk meminta orang-orang muda itu untuk menuliskan kegelisahan mereka di lembar-lembar kecil kertas yang dibagikan. Kertas-kertas itu kemudian dikumpulkan. Setelah kertas-kertas kecil itu dikumpulkan, Mgr. Riana akan memegangnya dan menunjukkan kepada orang-orang muda di hadapannya. “Saya akan mendoakan semua isi kertas ini di depan Sakramen Mahakudus. Dengan demikian, kalian tahu bahwa setidaknya ada satu orang yang berdoa untuk kalian.”

 

Menjadi sebuah keprihatinan tersendiri, ketika banyak tulisan di kertas itu mengungkapkan keinginan untuk bunuh diri. Orang muda, sebagai suatu tahapan usia, adalah mereka yang mempunyai peluang hidup lebih besar dibandingkan tahap usia lainnya: anak-anak, orang dewasa dan lansia. Sungguh suatu keprihatinan apabila orang-orang muda itu, yang punya peluang hidup besar, justru memiliki harapan hidup yang sangat kecil. Hati Mgr. Riana kepada orang muda, makin tampak jelas ketika beliau menjabat Ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Indonesia sejak 2015 hingga nanti berakhir pada 2021.

 

Tahun ini, 2020, Mgr. Riana merayakan 25 tahun tahbisan imamat. Banyak ucapan selamat dan doa disampaikan kepada beliau, terutama dari para Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan se-Indonesia. Dalam kesibukannya, bahkan di tengah medan karya pastoral yang berat di Ketapang karena mengharuskan beliau menaiki speedboat atau motor trail, Mgr. Riana selalu sempat membaca pesan demi pesan di grup WhatsApp dan memberikan respon.

 

Selamat ulang tahun imamat, Monsinyur. Sebagaimana pemahaman masyarakat umum, dua puluh lima tahun identik dengan perak; logam berwarna putih yang lunak dan lentuk sehingga mudah ditempa. Perak tidak semahal emas atau berlian; ia melambangkan kebaikan sejati karena memilih warna putih sebagai jubahnya. Meskipun warna putih berisiko menjadi kusam, perak seolah meyakini bahwa kebaikan sejati akan selalu diuji. Ia mudah dibentuk, suatu tanda kemampuan untuk menemukan cara terbaik beradaptasi dengan situasi. Perak adalah juga logam mulia terbaik dalam menghantarkan panas dan listrik; suatu harapan untuk menjadi sumberdaya dalam menjalani hidup dan karya.

 

Semoga Monsinyur mendapat rahmat dan pertolongan Allah dalam menghidupi panggilan imamat. Motto ‘Pelayanan dalam Kasih’ yang dihidupi dalam karya di dunia, nantinya akan mengantar kepada kehidupan abadi di surga sebagaimana dikatakan St. Yohanes dari Salib, “Pada ahirnya, kita akan dihakimi oleh cinta kasih.” (Helena D. Justicia)

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *