Katekese tentang Dosa

Pada Jumat, 18 September 2020 pkl. 18.00 WIB, berlangsung katekese dalam rangkaian acara pasca Virtual Youth Day 2020 tengan tema ‘Dosa’. Katekese disampaikan oleh RD Benediktus Gaguk, Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Ruteng, NTT. Bertindak sebagai moderator adalah Helena dari Komisi Kepemudaan KWI.

 

Acara dibuka dengan Doa Malaikat Tuhan yang didaraskan oleh Yacintha dari Keuskupan Agung Semarang, dilanjutkan dengan perkenalan pembicara & moderator, pemaparan materi dan tanya-jawab.

 

Manusia, Imago Dei

Pada awal pemaparannya, sebagai ilustrasi, Rm. Beben menunjukkan selembar kertas putih dengan setitik noktah hitam. “Apakah yang teman-teman lihat?” tanya Rm. Beben. Jawaban pun beragam. Ada yang mengatakan titik hitam di kertas putih. Yang lain berkata bahwa ada kertas yang bertitik hitam. Rm. Beben pun mengulas berbagai jawaban itu. “Ada yang fokusnya pada kertas putih, namun ada juga yang fokus pada noktah hitam. Seperti itulah sikap kita terhadap dosa. Ada orang-orang yang sangat memperhatikan dosa sehingga mengabaikan kertas putih yang lebih besar.

 

 

Rm. Beben menyampaikan bahwa manusia adalah ‘imago Dei’, yang artinya citraan Allah. Karena itulah, manusia juga dianugerahi hati nurani untuk dapat membedakan hal-hal yang baik dan tidak baik, yang benar maupun yang salah. Karena kelemahan manusia, seringkali manusia jatuh ke dalam dosa.

 

 

Padahal, ajaran Katolik tentang sikap terhadap dosa sudah jelas. Rm. Beben bertanya kepada peserta, “Siapa yang masih ingat sepuluh perintah Allah?” Selain sepuluh perintah Allah, Rm. Beben juga menyebutkan tentang tujuh dosa pokok, yakni kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan dan kemalasan. “Melanggar itu semua sudah merupakan dosa,” tegas Rm. Beben.

 

Apakah Sebenarnya Arti Dosa?

Rm. Beben, menggunakan Katekismus Gereja Katolik, menjelaskan bahwa dosa adalah kata, perbuatan, atau sifat yang dengannya manusia bebas dan sengaja membangkang atau melawan kebenaran oleh penyelenggaraan Ilahi yang penuh kasih. Berbuat dosa lebih daripada sekadar melanggar sejumlah aturan yang telah disepakati oleh manusia.

 

Dosa berarti secara bebas dan sengaja, berbalik dari kasih Allah dan mengabaikan Dia. Dosa adalah ‘cinta diri bahkan menghina Allah’ (Santo Agustinus), dan dalam kasus ekstrem, ciptaan yang berdosa berkata ‘aku ingin menjadi seperti Allah’ (lih. Kejadian 3:5).

 

Sama seperti dosa membebani dengan rasa bersalah, melukai dan mengakibatkan kehancuran, demikian juga ia meracuni dan merusak dunia seluruhnya. Kita mampu mengenali dosa dan buah-buah dosa dengan mendekat kepada Allah. (lih. KGK 67, 224-239).

 

Dosa Berat dan Dosa Ringan

Dosa berat menghancurkan kekuatan cinta kasih Ilahi dalam hati setiap orang. Tanpa kekuatan kasih Ilahi, tidak akan ada kebahagiaan kekal. Oleh karena itu, dosa berat disebut juga dosa yang mematikan. Dosa berat memisahkan manusia dari Allah, sedangkan dosa ringan hanya mengganggu hubungannya dengan Dia. (lih. KGK 1852-1861, 1974)

 

Dosa berat memisahkan seseorang dari Allah. Dosa berat selalu berlawanan dengan nilai yang penting, diarahkan untuk melawan kehidupan atau melawan Allah (misalnya pembunuhan, penghujatan, perzinahan) dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.

 

Dosa-dosa ringan menentang nilai-nilai sekunder (misalnya kehormatan, kebenaran, kepemilikan) atau jika dilakukan tanpa kesadaran penuh akan seriusnya dosa itu, atau jika tanpa kemauan yang penuh dalam kehendak. Dosa-dosa tersebut mengganggu hubungan dengan Allah, tetapi tidak memutuskannya.

 

Bagaimana Seseorang dapat Dibebaskan dari Dosa dan Bersatu Kembali dengan Allah?

Untuk memulihkan keterputusan hubungan dengan Allah akibat dosa berat, seorang Kristen Katolik harus diselamatkan kembali dengan Allah melalui Sakramen Rekonsiliasi (lih. KGK 1856). Ditegaskan Rm. Beben, “Rekonsiliasi bukan penghakiman.”

 

Rm. Beben mengibaratkan pengakuan dosa seperti aktivias mandi. “Jika tubuhnya kotor, orang perlu mandi. Jika mandi itu untuk membersihkan tubuh, pengakuan dosa membersihkan jiwa.”

 

Dari Soal Ritual Adat Hingga Teologi Penderitaan dan Pengakuan Dosa Virtual

Sesi tanya-jawab dalam acara, menjadi sesi yang sangat menarik karena pertanyaan kawan-kawan OMK yang beragam. Satu pertanyaan yang menarik adalah yang terkait dengan ritual adat. Valencia dari Semarang menyampaikan, “Ada orang yang suka menabur bunga pas malam Jumat di semua ruangan di rumahnya. Nah itu termasuk dosa kan, Romo” Menjawab pertanyaan itu, Rm. Beben mempertanyakan dulu motivasi orang tersebut. “Jika tujuannya untuk mengusir arwah atau setan, mungkin perlu dipertanyakan apakah ia tak percaya kepada Allah? Jika tindakannya melanggar perintah Allah, hal itu sudah termasuk dosa.”

 

Pertanyaan lain menyangkut situasi hidup yang sulit, penuh penderitaan, sehingga orang mudah menyalahkan Allah. “Apakah itu dosa?” Rm. Beben menyampaikan bahwa penderitaan manusia merupakan bahasan tersendiri dalam teologi, yakni teodice atau teologi penderitaan. “Mengapa ia menyalahkan Allah? Jika kita mau merefleksikan pengalaman hidup kita, hal-hal yang perlu disyukuri itu, saya yakin, jauh lebih banyak daripada penderitaan kita,” ujar Rm. Beben.

 

Denny dari Keuskupan Palembang menanyakan, “Jika sudah mengaku dosa namun masih merasa takut dan teringat pada masa lalu serta dosa tersebut, apakah kita perlu mengaku doa lagi? Rm.Beben balik bertanya, “Mengapa masih merasa takut” Bagi Rm. Beben, ada sejumlah kemungkinan. “Barangkali, belum semua disampaikan pada saat sesi pengakuan dosa tersebut. Bisa juga, orang itu belum percaya bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Pengampun, sehingga ia masih merasa berdosa.” Rm. Beben bahkan juga melihat kemungkinan ada rasa kurang percaya kepada Bapa Pengakuan. “Maka para imam diharapkan dapat menampilkan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dan diandalkan, terutama dalam hal pengakuan dosa. Itulah yang disebut dengan ‘Pastor Bonus’.

 

Masih terkait pengakuan dosa, ternyata banyak OMK yang merasa gelisah karena dalam masa pandemi ini, belum ada pelayanan pengakuan dosa. “Saya takut berdosa terus, Romo.” Rm. Hary, Sekretaris Eksekutif Komkep KWI,memberikan tanggapan. “Teman-teman semua, saat ini kita dipanggil untuk membela kehidupan. Itu yang paling penting. Di keuskupan-keuskupan, biasanya akan diselenggarakan abolusi umum seperti saat Paskah 2020. Paus memberikan absolusi umum, demikian juga uskup. Coba teman-teman mencari informasi itu di keuskupan masing-masing.”

 

Menjelang akhir acara, Rm. Beben menyatakan, “Acara ini di luar ekspektasi saya. Saya mengira topiknya kurang menarik bagi OMK. Ternyata, justru banyak pengalaman dan sharing yang menarik.” Rm. Beben lantas menutup acara katekese dengan doa dan berkat. (Helena D. Justicia)

 

Post Author: admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *