OMK Indonesia dan Fenomena Ghosting

OMK Indonesia dan Fenomena Ghosting

Opini oleh: Helena Dewi Justicia

Awalnya, di grup whatsapp Duta Youth Camp 2018, diposting berita dan foto serah-terima jabatan Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan (Komkep) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berlangsung pada 8 Maret 2021. Dari situlah timbul ide untuk mengadakan temu-kangen via Zoom. Duta Youth Camp sendiri adalah program Komkep KWI untuk OMK Indonesia sebagai tindak lanjut acara Indonesian Youth Day 2016.

Temu-kangen pun diadakan pada 10 Maret 2021 pkl. 18.00 WIB. Sejumlah belasan peserta pun mulai bertukar kabar, bercanda, menyampaikan aktivitas masing-masing termasuk rencana-rencana yang akan datang. Saat bercanda, topik ‘ghosting’ pun jadi bahan candaan. Menariknya, dalam pembicaraan selanjutnya, seorang OMK menyampaikan akan bertunangan pada bulan April 2021. Sungguh berbeda dengan kisah-kisah soal ‘ghosting’ yang bersliweran di media massa.

Formasi OMK Indonesia

Orang Muda Katolik (OMK) berada di rentang usia 15-35 tahun. Rentang usia tersebut dikategorikan remaja dan dewasa awal. Dalam pendampingan remaja maupun dewasa awal, tentu kita mempunya target; di antaranya adalah kehidupan beriman yang mengakar dan kedewasaan yang matang. Perkembangan manusia pada usia remaja dan dewasa awal sangat penting untuk diperhatikan karena pada usia inilah individu menentukan arah hidup serta berkarya dan berkreasi. Pada usia ini juga, orang muda mengalami tantangan karena perubahan biologis dalam dirinya, tuntutan hidup, berbagai tawaran di sekelilingnya, dan sebagainya.

OMK di jenjang SMA termasuk kategori adolescence atau remaja. Nilai-nilai dasar seperti cinta, spirit, keadilan, kehidupan bersama dalam keragaman perlu ditanamkan agar menjadi pegangan dalam membuat keputusan-keputusan. Penghargaan atas kehidupan dan niat untuk menjaga kehidupan menjadi nilai yang penting sebagaimana amanat yang disabdakan Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22: 39).

Menurut Kohlberg, -seorang psikolog, perkembangan moral pada masa remaja SMA dicirikan dengan mulai tumbuhnya kesadaran untuk wajib mempertahankan pranata yang ada karena dianggap sebagai sesuatu yang bernilai walau belum mampu mempertanggungjawabkannya secara pribadi. Melalui pengalaman dan interaksi sosial dengan orangtua, guru, teman sebaya dan orang dewasa lain, remaja SMA sudah lebih mengenal nilai-nilai moral atau konsep-konsep tentang moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pengalaman itulah yang menuntun orang dewasa muda untuk melakukan evaluasi kembali mengenai kriteria tentang yang baik dan adil. Pada sejumlah orang dewasa, pengalaman personal mereka menjadi rujukan spontan bagi dilema moral yang dialami.

Adanya remaja SMA yang berada dalam tahap pra-konvensional atau konvensional menampilkan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai, seperti tawuran, tindak kriminal, minuman keras dan narkoba serta seks di luar nikah. Sebagai catatan, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dan tingkat moral orangtua. Pada masa remaja SMA, tingkat kecepatan karakteristik emosional menjadi drastis. Gejala-gejala emosional seperti perasaan sayang, marah, takut, bangga dan malu, cinta dan benci, harapan dan putus asa perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Perasaan takut dan marah dapat mengakibatkan gangguan emosi. Frustrasi dapat mengakibatkan perilaku agresif. Pada masa remaja SMA, ‘social cognition’ berkembang, yakni kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik dalam hal sifat, minat, nilai-nilai maupun perasaan. Pada masa ini juga berkembang sikap ‘conformity’, yakni kecenderungan untuk takluk atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang lain, khususnya teman sebaya atau kelompok/komunitasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial remaja SMA adalah keluarga, kedewasaan pribadi, status sosial-ekonomi, pendidikan, serta kapasitas mental, emosi, dan intelegensi.

Sebagai individu dewasa, peran dan tanggung jawab semakin bertambah besar. Mereka tertantang untuk membuktikan diri sebagai pribadi dewasa yang mandiri. Berbagai pengalaman berhasil atau gagal dalam menghadapi suatu masalah akan dapat dijadikan pelajaran berharga guna membentuk sesosok pribadi yang matang, tangguh dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. Kisah orang muda kaya yang mau mengikuti Yesus (Matius 19: 16-26) menjadi kisah menarik untuk berdiskresi dan membuat keputusan sesuai dengan tuntutan sebagai murid Yesus. Orang muda harus berani membuat keputusan. “Kalian bukanlah parkiran otomatis; biarkan mimpi-mimpimu berkembang dan ambilah keputusan. Ambilah risiko meskipun kamu akan melakukan kesalahan. Janganlah kamu hidup dengan jiwa yang dibius dan janganlah melihat dunia ini layaknya seorang turis. Rasakanlah! Usirlah ketakutan yang membuatmu lumpuh, supaya tidak menjadi orang muda yang seperti mumi. Hiduplah! Berikanlah yang terbaik dalam hidup! Bukalah pintu-pintu kandang dan terbanglah! Tolong, janganlah kamu pensiun sebelum waktunya” (Christus Vivit 143). Tahap perkembangan dewasa merupakan masa transisi, baik transisi secara fisik, intelektual maupun peran sosial.

 Beberapa peneliti mengemukakan bahwa tahap dewasa ditandai oleh kognisi yang melampaui operasi formal, atau yang disebut pemikiran postformal. Umumnya pemikiran tersebut diterapkan dalam situasi sosial, melibatkan intuisi, emosi serta logika. Jika pemikiran immature memandang persoalan sebagai hitam-putih, pemikiran postformal dapat melihat nuansa abu-abu dari persoalan tersebut. Pengalaman menuntun orang dewasa untuk melakukan evaluasi kembali mengenai kriteria tentang yang baik dan adil. Pada sejumlah orang dewasa, pengalaman personal mereka menjadi rujukan spontan bagi dilema moral yang dialami. Masa dewasa awal seringkali dianggap sebagai masa untuk berprestasi yang setinggi-tingginya, sehingga tidak tertutup kemungkinan mereka untuk mengekspresikan segala potensinya dalam menciptakan karya-karya yang baru, inovatif dan kreatif. Masa ini juga merupakan periode perubahan dramatis dalam hal relasi personal. Orang dewasa muda membutuhkan keintiman fisik dan emosional dalam relasi mereka dengan orang lain, khususnya dengan teman-teman sebaya atau pasangan mereka. Keterbukaan diri dan rasa memiliki merupakan aspek penting dalam intimitas. Selain itu, intimitas juga berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental. Pada masa sekarang, ketika internet menyediakan banyak kesempatan untuk berkomunikasi, peluang tersebut justru memperlemah intimitas dan merupakan kemunduran dalam hal kesejahteraan psikologis. Kebanyakan orang dewasa awal mempunyai banyak kawan, tetapi hanya sedikit waktu yang dapat diluangkan bagi mereka. Persahabatan di antara perempuan cenderung lebih intim dibandingkan persahabatan di antara laki-laki. Sementara itu, dalam memilih pasangan, ada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang mirip dengan diri mereka sendiri.

Triangular of Love

Mengacu pada teori Sternberg yang dikenal dengan istilah ‘triangular of love’, cinta mempunyai tiga aspek: intimitas (intimacy), hasrat (passion), dan komitmen (commitment). Tiga aspek tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas relasi pasangan dewasa muda, terutama jika relasi tersebut juga melibatkan aktivitas hubungan seks pranikah. Idealnya, cinta yang sejati pada masa dewasa mengandung tiga aspek ini, yaitu, intimasi, hasrat, dan komitmen. Jika cinta hanya intimasi, tanpa passion dan commitment, cinta itu tak ubahnya adalah sebuah persahabatan. Jika cinta hanya passion, tanpa intimacy dan commitment, cinta itu hanyalah cinta yang menggebu-gebu tanpa arah. Jika cinta hanya commitment; cinta tersebut akan menjadi kering dan hampa karena tidak ada kedekatan intimacy dan passion.

Golongan dewasa awal lebih kompleks dibandingkan dengan remaja. Selain bekerja, mereka akan memasuki kehidupan perkawinan, membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak sementara tetap harus memperhatikan orangtua yang semakin tua. Pencapaian yang diharapkan dalam masa dewasa awal meliputi aspek-aspek spiritual, kepribadian, intelektual dan sosial yang terarah pada (khususnya OMK yang memutuskan untuk menikah): mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga serta menjadi warga negara yang bertanggungjawab.

Orang Muda Pemeran Utama

Fenomena relasi interpersonal pada masa sekarang yang bukan hanya ghosting saja, karena ada juga ‘hubungan tanpa status’ atau biasa disebut HTS, bahkan juga ‘toxic relationship. Di tengah fenomena ini, OMK dipanggil untuk menampilkan kesejatian relasi, khususnya dengan lawan jenis yang akan menjadi pendamping hidupnya. OMK adalah pemeran utama dalam hidupnya dan hidup sesamanya, termasuk menjadi role model tentang relasi yang sehat. Salam semangat muda! ***

 

 

 

Post Author: komkep kwi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *