Berjalan Bersama dalam Keberagaman
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang pluralistik, yang membuat perbedaan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Indonesia juga kaya akan keberagaman budaya, memiliki enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, serta banyak sekali suku dan bahasa daerah. Maka, pelaksanaan dialog antar agama menjadi hal yang sangat penting untuk merawat perdamaian dan harmoni dalam masyarakat.
Seiring dengan momentum pelaksanaan Sinode di Gereja partikular dan dalam merayakan Hari Persaudaraan Manusia Internasional, Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) Keuskupan Bogor menyelenggarakan Sinode Toleransi pada 4 Februari 2022.
Sinode Toleransi memberikan ruang bagi Gereja Katolik untuk mendengarkan dan berjalan bersama dengan saudara dan saudari dari berbagai agama dan kepercayaan. Selain itu, Sinode ini menjadi wadah bagi Gereja Katolik untuk berdialog dengan para pemuka agama, perwakilan kelompok sosial dan hubungan antar agama, pemerintah daerah serta perwakilan orang muda. Dalam dialog ini, para peserta diajak untuk merefleksikan dan berbagi pandangan mereka terhadap Gereja Katolik, hubungan yang sedang terjalin, serta tantangan dan peluang untuk memperkuat solidaritas antar umat beragama. Beberapa tantangan yang dibagikan antara lain terkait meningkatnya ekstrimisme, intoleransi, ujaran kebencian dan hoaks di media digital.

Sebuah Perjumpaan yang Menumbuhkan Rasa Toleransi
Sinode Toleransi ini bertema “Indonesia Maju, Indonesia Kuat”. Tema ini sejalan dengan pandangan masyarakat Indonesia yang melihat keberagaman bukan sebagai kelemahan, melainkan kekuatan, yang memerlukan upaya bersama secara terus menerus dalam mempererat toleransi dan solidaritas di masyarakat. Melalui berbagai sharing pengalaman dan dialog, hubungan yang lebih dalam terasa di antara para peserta. Beberapa peserta pun menyampaikan bahwa perjumpaan antar individu yang berasal dari agama, kepercayaan dan budaya yang berbeda turut menumbuhkan benih-benih toleransi. Pengalaman dibenturkan dengan perbedaan membuat seseorang mendapatkan kesempatan untuk memahami orang lain secara lebih dalam dan menjadi lebih toleran. Maka, perjumpaan dan dialog yang bermakna perlu untuk terus dilakukan dalam upaya memperkuat ketahanan nasional dan harmoni dalam masyarakat.

Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM, selaku Uskup Keuskupan Bogor, menyampaikan bahwa walaupun ada perbedaan diantara kita, namun kita harus terus berjalan bersama dan bersatu dengan seluruh bagian dari masyarakat. Proses berjalan bersama ini juga perlu dilengkapi dengan tindakan konkrit, sebagai contoh melalui berbagai program sosial. Dalam Sinode Toleransi ini, Walikota Bogor, Bapak Bima Arya Sugiarto, turut berjalan bersama dan berpartisipasi dalam dialog. Beliau menyampaikan bahwa Gereja Katolik selalu mendukung program-program pemerintah Kota Bogor dan berkolaborasi dengan berbagai elemen dalam masyarakat untuk mempererat toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

Dalam rangkaian Sinode Toleransi, panitia juga melaksanakan sebuah program sosial untuk membagikan sembako kepada masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi dan terdampak oleh pandemi Covid-19. Program ini merupakan kesempatan baik untuk melengkapi sesi sharing dengan memberikan uluran tangan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Buah Sinode: Keterlibatan Orang Muda yang Bermakna
Satu hal lagi yang menarik dari Sinode Toleransi adalah mengenai keterlibatan orang muda dari tahap persiapan hingga implementasi. Saya mendapatkan kehormatan untuk menjadi moderator bersama dengan seorang imam muda, Romo Dion Manopo. Bersama dengan tim yang beranggotakan orang muda, kami merancang dan mendiskusikan pelaksanaan Sinode, mulai dari aspek substansi dan teknis. Kami berupaya agar seluruh tahap persiapan dan implementasi menekankan pada dialog antaragama dan perjumpaan yang bermakna untuk mempererat hubungan dan solidaritas. Tentu saja kami mengalami beberapa tantangan dalam persiapan dan pelaksanaan, namun hal itu tidak menghentikan langkah kami, karena kami yakin bahwa kami dapat mengatasinya bersama-sama. Hal ini hanyalah sebuah contoh kecil bagaimana keterlibatan orang muda yang bermakna terjadi dalam Gereja yang sinodal. Saya berharap, keterlibatan orang muda akan terus meningkat di berbagai kesempatan lainnya.
Satu hal lagi yang menarik dari Sinode Toleransi adalah mengenai keterlibatan orang muda dari tahap persiapan hingga implementasi.

Dalam pelaksanaan Sinode Toleransi, kami sangat tersentuh dengan pengalaman yang dibagikan oleh para peserta, terutama mereka yang sebelumnya mendapatkan pengalaman pahit (sebagai contoh menjadi korban diskriminasi dan terpinggirkan) hanya karena agama dan etnis mereka. Namun, mereka dapat mentransformasikan pengalaman pahit tersebut menjadi dorongan untuk terlibat aktif dalam mempromosikan toleransi dan merawat kerukunan melalui komunitas antar agama.
Mereka dapat mentransformasikan pengalaman pahit tersebut menjadi dorongan untuk terlibat aktif dalam mempromosikan toleransi dan merawat kerukunan melalui komunitas antar agama.
Keterlibatan orang muda dalam Sinode Toleransi juga merupakan buah Sinode tentang Orang Muda (2018) dan implementasi Christus Vivit, bagaimana orang muda diberikan kesempatan untuk terlibat secara bermakna, bukan hanya dilibatkan untuk formalitas atau simbolis belaka. Dalam Sinode ini, orang muda diberdayakan untuk mengambil peran utama, termasuk dalam hal kepemimpinan dan tanggung jawab yang lebih besar, dengan pendampingan kaum tertahbis dalam Gereja. Melalui sesi sharing, keterlibatan generasi muda dalam mempererat kerukunan antar umat beragama juga ditekankan oleh banyak peserta.

Kini saatnya orang muda dilibatkan, bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai pemeran utama mulai dari tahap persiapan, implementasi dan evaluasi. Kini saatnya untuk mempercayai dan melibatkan orang muda untuk memberdayakan orang muda lainnya.
Agatha Lydia Natania
Keuskupan Bogor, Indonesia.
Anggota Badan Penasihat Orang Muda Internasional, Vatikan (International Youth Advisory Body)